Friday, December 31, 2010

Ce Crépuscule





Yogyakarta, 1996.

Aku masih digenggam kepedihan.
Sejak dari beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, aku masih dipatuki ketraumaan untuk menjalani suatu hubungan. 
Masih berkelebatan di kepalaku tentang sakitnya dikecewakan. Jujur, aku sudah mencoba berkali-kali untuk mengeleteki perih dan menyulam semangat baru dalam tiap-tiap langkah. Tetapi tetap saja aku belum terlalu kuat dan berjiwa ksatria untuk menendang kekelabuan. Aku masih terlalu lemah. Daya gedorku untuk menyelamatkan jiwa yang tenggelam masih sangat rapuh. 
Aku berpura-pura tegar ketika ia mengucapkan selamat tinggal di Cengkareng. Aku masih ingat, beberapa hari sebelum ia berangkat, kami berdua dengan angkuh bersumpah akan melawan jarak yang terlihat seperti pencuri kecil. Sumpah dalam hal apa pun. Aku berani bertaruh, tiba-tiba ketika itu baju di sekitaran leherku basah. 
Saat itu kami harus berpisah. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Bordeaux, menemani kakaknya yang menerima beasiswa S2 di Université Montesquieu. Ayahnya khawatir bila kakak perempuannya itu tinggal sendirian di negara asing. Oleh karena itu, ia ditugasi menemani, setidaknya kakaknya itu tak sendirian di sana. 
Aku tahu, aku tak bisa menentang keputusan ayahnya. Itu urusan keluarganya. Tetapi yang pasti, aku lebih senang bila ia tetap di sini saja dan orang lainlah yang menggantikan tugas menemaninya kakaknya itu. Hubungan kami sudah terjalin sekitar lima tahun. Seperti ada dinding tebal yang perlahan coba dibangun ketika aku mendengar kabar itu darinya.

***

Walau dengan tertatih-tatih, dan dengan kegetiran yang setiap saat menghinggapi, perlahan, akhirnya aku berhasil membuang jauh segala kekelaman tentangnya. 
Aku masih sering bertemu dengannya, walau tak pernah lagi bertegur sapa. Aku mengajar sastra Indonesia di Universitas Gajah Mada, sedangkan ia mengajar filsafat. Ia kembali pulang ke Yogyakarta, setelah sebelumnya tinggal di Paris dan bercerai dengan suaminya. Aku pun sudah memperjelas keberhasilanku mengubur kekecewaan dengan menikahi seorang perempuan dan dikaruniai seorang anak. 
Aku bersumpah, setiap kali ketika kami berpapasan dan saling tatap, aku melihat kekelabuan paling pekat yang belum pernah aku lihat di dalam matanya.

Saturday, December 25, 2010

Angsa Boys Unjuk Gigi

Group Disco yang menamakan dirinya Angsa Boys ini, kemarin bertolak ke Las Vegas dalam rangka unjuk kebolehan sekaligus menghibur para penduduk setempat. Tour Disco Christmas mereka keliling Amerika ini, sudah digelar mulai tanggal 25 Desember dini hari tadi.

Personalize funny videos and birthday eCards at JibJab!

Monday, December 13, 2010

Bulan Belum Terlalu Tinggi





"Sudah mau pergi lagi, mbak?"
"Sudah, ndak usah ngurusi mbak. Kamu teraweh saja sana, sudah adzan isya. Habis itu belajar jangan lupa."
Mbak Norma memang selalu begitu. Setiap kutanya ke mana akan pergi atau jam berapa akan pulang, pasti akan selalu balik berujar.
Ia memang giat mencari uang. Selain untuk membiayai kontrakan sederhana yang hanya kami tempati berdua ini, ia juga membiayaiku sekolah. 
Kami sudah tak tinggal dengan orangtua. Ayah kami menghilang entah ke mana sejak kami kecil; sedangkan ibu sudah tidak ada. Aku hidup bersama kakakku satu-satunya itu.
"Ini lipstik mu, mbak? Tadi aku nemu di samping lemari."
"Wah pantes, mbak cari-cari daritadi kok ndak ada. Lipstik siapa lagi kalau bukan punyaku, toh?"
"Yowes ini, ayo mbak buru-buru. Orang-orang sudah pada berangkat, nanti aku telat teraweh."
"Yowes, nanti kalo kamu sudah pulang teraweh, langsung kunci pintunya."
Kami memang punya kunci rumah masing-masing. Kadang, ketika aku sudah tidur malam hari, ia baru pulang. Atau ketika ia tidur siang, aku baru pulang sekolah. Karena itulah, kami menduplikat kunci rumah untuk memudahkan satu sama lain masuk rumah ketika pintu terkunci.
Aku dan mbak Norma kemudian melangkahkahkan kaki, berjalan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, kami berpisah.

Aku melenggang ke masjid dengan tenang, sementara ia sudah menghilang di depan gang.


Sunday, December 12, 2010

Tampak Seperti Apa?





“Emang cukup, pak, penghasilannya buat sehari-sehari?”
“Yaa dicukup-cukupin aja, mas..”
“Hoo..”
Pemuda itu terus merapikan rambutnya. Sesekali ia mengisap rokoknya dalam-dalam sambil melihat wajahnya di cermin, yang mulai tampak berminyak dan mengumal akibat polusi ibu kota yang jahanam.
“Mas sendiri mau ke mana? Nggak kesiangan jam segini baru mau ngantor?”
“Ya maunya sih gitu pak, ngantor.  Saya udah lulus sarjana dari enam bulan yang lalu, tapi masih luntang-lantung gini, belum dapet-dapet kerjaan.”
“Hoo..”
Bapak itu masih memperhatikan gelagat pemuda tersebut. Dalam hatinya ia bergumam, yang sarjana saja susah dapat kerja, apalagi dirinya yang hanya tamatan SMP.
“Terus, kenapa bapak milih jualan cermin di depan gedung DPR gini?”

“Yaa, biar beliau-beliau itu pada mampir, paling tidak untuk sekadar ngaca.”




Thursday, December 2, 2010

Keletik Impian



BULAN semakin mengembang, Dodo pun belum juga pulang. Jam dinding berdentang.  Sudah jam sepuluh tepat. Ibunda Dodo daritadi tak bisa diam karena terus memikirkan anaknya.  Ia daritadi mondar-mandir dan selalu menggonta-ganti channel televisinya dengan gamang.  Sebenarnya ia tahu dimana Dodo berada sekarang, tetapi tetap saja, sifat naluriahnya sebagai seorang ibu selalu merangsang otaknya untuk panik jika anaknya sudah larut malam belum pulang.
Saat masih dalam bimbang yang mengambang, terdengar suara mesin motor disertai klakson, yang berarti menyuruh untuk siapa saja membukakan pagar.
“Do! Kamu kok mama telfon, sms, semua gak bisa-bisa sih!”
“Hape aku ‘kan selalu aku matiin kalo lagi masuk kelas.. Tadi aku juga ada tambahan..”
“Iya, mau ada tambahan, kek, tapi kabarin mama dulu, dong..  Seenggaknya curi-curi kesempatan nyalain hape di kelas, kek.. Mama panik tau!”
“Iya-iya..”

***

Sentoran air hangat yang mengucur deras dari shower itu tampak sangat merilekskan.  Ia benar-benar dimanjakan air hangat dari segala aktivitas yang sungguh melelahkan. Ia memijat-mijat lembut keningnya, seperti berusaha melumat sekelumit penat dari keseharian yang menikam.  
Dibawah guyuran pancuran ia berusaha memutar ulang memorinya kembali. Tadi pagi, ia bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap sekolah, mandi kilat, lalu segera bersijingkat untuk sarapan roti yang hanya dioles dengan selai kacang. 
Belum ia menelan semua roti di mulutnya, ia melesat ke sekolah mengendarai motor dengan ngebut karena takut terlambat. Sejauh ini, ia sudah mengantongi dua surat peringatan telat. Bila ia sampai telat untuk ketiga kalinya, ia akan dipulangkan ke rumah. Ketika pulang sekolah, ia pun tak sempat lagi bermain-main dengan teman-temannya seperti dulu. Ia harus buru-buru pergi ke tempat bimbingan pelajar dengan alasan yang sama. Takut telat. 

***

Di awal-awal tahun ajaran, Dodo les hanya sampai jam tujuh malam, seminggu dua kali.  Tetapi, karena sebentar lagi sudah akan banyak dibuka jalur pendaftaran untuk memasuki perguruan tinggi negeri, kadang ia sekarang pulang sampai jam sepuluh malam, dan menjadi tiga kali sehari. Tak ada waktu untuk menggelepar liar sebelum pulang ke rumah.  Setiap hari selalu begitu, berulang-ulang. 
Pernah suatu ketika temannya berujar, “Do, sekali-sekali mainlah.. jangan belajar terus, nanti malah bisa stres lho..”
“Ah nanti deeh, biar gue bisa masuk perguruan tinggi negeri nih..” Jawabnya beralibi.  Maka dari itu ia rela sedikit tidak menikmati hidup untuk beberapa bulan ini.  Alasannya sederhana, agar biaya kuliahnya murah. Apalagi ayahnya sudah pensiun, dan adiknya masih kelas 4 SD.  
Dan oleh karenanya, air hangat yang menyentor seluruh tubuh Dodo, terutama bagian sekitaran wajah, sangat ia nikmati dan resapi dan terasa sangat menenteramkan.

***

Ia membuka lipatan halaman buku geografi yang tadi ia lipat di tempat les.  Halaman itu belum sempat dibahas di kelas. Ia akan sedikit mencuri baca untuk lebih dulu paham dari teman-temannya saat nanti diterangkan di kelas dan untuk membuat dirinya sendiri ngantuk di ranjangnya saat ini.
Benar saja, baru dua menit menyisir halaman, ia sudah lelap dengan keadaan buku-buku yang bergeletakan terbuka, stabilo kuning yang nyaris mengering, dan dengan piyama berbahan lembut.

Sudah setengah dua belas.




Bekasi, 2010

Wednesday, December 1, 2010

Sodieq






“Oper, setan!”
Suara kesal salah satu temanku yang tak mendapatkan bola itu menambah ramai suasana lapangan sekolah kami. Aroma sore mengambang begitu kental, membuat kami tak ingin cepat-cepat pulang. Ada hal-hal yang lebih mengasyikkan ketimbang tidur siang atau menonton kartun sore.
Ia kemudian datang. Dengan potongan rambut nyaris gundul, berbadan tegap, tak terlalu tinggi, memakai kaos berwarna hijau tentara, dengan bawahan celana training panjang dan mengenakan sepatu Specs.  
“Yak kumpul,” Perintahnya untuk segera memulai ekstrakurikuler sepakbola sore ini.
Ia adalah Pak Odik, guru Penjaskes di sekolah yang juga ditunjuk sebagai pelatih ekstrakulikuler sepakbola. Ia tak sendirian melatih kami. Ada juga pelatih honorer yang ditunjuk sekolah untuk membantu pekerjaannya bernama Pak Herman yang berkumis.
Biasanya sebelum Pak Odik datang ke lapangan, kami menyempatkan diri untuk bermain gol ganti: hanya menggunakan satu gawang, satu kiper, dan beberapa orang akan berusaha memasukkan bola ke dalam gawang berebutan. Orang yang mencetak gol akan menjadi kiper.
Kami bermain dengan cara seperti itu karena kami memang harus berbagi lapangan dengan para anak-anak yang gemar bermain basket. Satu sisi lapangan kami gunakan untuk gol ganti, sisi yang lainnya mereka gunakan untuk bermain basket, meski sebetulnya gawang dan ring basket memang sepasang. Kecuali ekstrakulikuler sudah dimulai, anak-anak yang bermain basket satu persatu menyingkir, sebagaimana anak-anak bola menyingkir jika ekstrakulikuler basket dimulai.
 “Adit sama Dede bantuin bapak, ambil peralatan.”
Aku dan Dede saling menatap. Anak-anak memang suka malas bila diperintah Pak Odik mengangkut peralatan ektrakulikuler sepakbola karena selain berat dan banyak, gudang penyimpanannya pun jauh, letaknya berada di dekat kelas lima di lantai atas, tepat di sebelah kelasku. Kali ini aku dan Dede tentu harus segera menurutinya karena selain tak mungkin menolak, terlaksananya ekstrakulikuler sepakbola sore itu kini ada di pundak kami.
Tetapi sebetulnya ada hal lain yang membuat kami sedikit bersemangat. Bila sudah sore, suasana sekolah kami, apalagi di sekitaran wilayah kelas lima dan kelas enam, menjadi tampak sedikit menyeramkan. Aura mistis mengapung di udara. Karena itulah kami jadi ingin sekaligus melihat-lihat suasana sekolah sore hari. Kami sering mendengar cerita horor dari janitor atau supir jemputan yang memang sudah lama tinggal di daerah sekitaran sekolah. Maklum, dulu sekolah kami bekas rumah sakit yang dikelilingi rawa-rawa dan belukar. Tak heran bila Pak Odik pernah suatu saat bertutur pada kami, “Kalo mau main di sini baca doa dulu, biar nggak kenapa-kenapa.”
Benar saja, sudah dua orang teman kami cedera parah. Entah karena memang ada apa-apa atau hanya terlalu beringas bermain. Apalagi di sekitaran sekolah kami banyak rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Pernah satu warga bercerita ketika dulu sekolah kami belum dibangun dan masih banyak ditumbuhi pepohonan, ada seseorang yang malam-malam coba mengambil duren. Ketika duren telah berada di tangannya, duren itu berubah menjadi kepala manusia.

***

Aku membawa dua kantung panjang yang setiap kantungnya berisi lima buah bola. Dede membawa piringan plastik halang rintang dan Pak Odik membawa pemberat kaki serta peralatan lainnya. Anak-anak di lapangan yang menunggu kami bertiga, terlihat sedang mendengarkan instruksi Pak Herman.
Menurutku, sebetulnya pihak sekolah tak usah menggunakan jasa Pak Herman karena aku merasa, dilatih oleh Pak Odik seorang saja sudah lebih dari cukup. Skill, kharisma, taktik dan strategi serta dan semangat Pak Odik jauh di atas Pak Herman yang terlihat biasa saja di mataku. Pak Odik juga menjadi wasit resmi PSSI yang tengah merintis karier untuk menembus liga utama. Tak heran bila para murid mengelu-elukannya.
Tetapi ada satu kebiasaan tak lumrah Pak Odik yang cukup menyita perhatian dan membedakan ia dengan guru lainnya: Ia sangat suka menjahili perempuan. Pernah suatu ketika temanku bernama Ira digangguinya sampai menangis di kelas. Dengan menatap mantap, tepat di depan wajah Ira, dengan gaya layaknya seorang penyair yang sedang membacakan puisi, Pak Odik berucap lantang, “Bagaimana bila bapak adalah seorang pencuri! Perampok! Garong! Pendosa! Pemerkaos!” 
Aku tahu Pak Odik hanya bercanda, tetapi air mata Ira perlahan menetes. Gurat wajah Pak Odik yang sebelumnya cengangas-cengenges, berubah menjadi panik luar biasa dan langsung berusaha coba menenangkan Ira. Aku juga tak terlalu paham mengapa Ira menangis. Entah tersayat dengan kata-kata lantang pria itu atau memang mengira Pak Odik adalah seseorang yang sungguh-sungguh berprofesi sebagai yang diucapkan tadi. Aku tak tahu. Aku cuma tertawa geli melihat kejadian itu. 
Tetapi kadangkala ia juga bisa beringas bukan main. Pernah suatu ketika ia sedang mengajar Penjaskes kelas 5A di lapangan. Aku dan teman-temanku yang bukan murid 5A melihat mereka dari gedung lantai dua, bersiap turun karena memang sudah waktunya jam istirahat. Temanku bernama Giri berujar pelan padaku, Gilang, dan Anggit, “Tuh, botak kontol.”
Tanpa otak Anggit langsung berteriak ke bawah sambil menunjuk-nunjuk Giri, “Paaak!! Dikatain Giri BOTAK KONTOOLL!!”
Tak ada bapak-bapak lain di situ kecuali Pak Odik dan tentu saja ia merasa teriakan Anggit itu ditujukan olehnya.
Pak Odik sontak menengok ke atas dengan tatapan ingin menghancurkan. Dan demi Tuhan, yang terjadi selanjutnya adalah ia segera berlari meninggalkan anak-anak 5A dengan kecepatan yang gila, menaiki tangga ke arah kami yang ada di lantai dua!
Dalam sekejap Pak Odik sudah berada di depan kami. Aku panik tentu saja. Yang dilakukan Pak Odik selanjutnya adalah menampar keras pipi Giri, melayangkan tendangan membabi buta, beringas dan brutal. Dan ketika Pak Odik selesai melancarkan aksinya itu, hanya sepersekian detik saja ia langsung menyodorkan tangan kanannya agar disambut oleh tangan kanan Giri seraya mengucapkan, “Bapak minta maaf.”
Hanya berselang satu detik, lagi-lagi Anggit berceletuk, “Gilang juga, pak!” Pak Odik segera memutar badannya ke kiri dan tak dinyana menampar jahanam Gilang. Gilang yang amat kaget ditampar itu tak dapat menahan kekagetannya dengan segera mengeluarkan kata “anjing” setelah tangan Pak Odik bergerak begitu cepat ke pipinya. Lagi-lagi Pak Odik langsung menyodorkan tangan kanannya agar disambut oleh tangan kanan Gilang seraya mengucapkan, “Bapak minta maaf.” Ia tahu, ia harus minta maaf. Ia tentu memikirkan akibat yang sangat buruk jika telah menghajar anak murid tetapi tidak minta maaf.
Yang mencekam adalah, aku tak ingat Gilang memaki Pak Odik dan jika Anggit tiba-tiba berkata “Adit juga, pak,” maka aku berada dalam masalah sangat besar dan aku besumpah akan menyumpal mulut Anggit dengan sandal. Untungnya hal itu tak terjadi. Anggit kemudian bertanya kepada Giri akan kondisinya apakah baik-baik saja, sambil tertawa tentunya, yang segera dibalas Giri dengan acungan jari tengah sambil mengusap-usap pipinya dengan menangis bercampur tawa. Tai. Itu betul-betul menit paling surreal selama aku bersekolah.

***

“Yak cukup latihannya, sekarang bagi tim lima-lima.”
Ah, inilah saat-saat yang kami nanti. Sebetulnya alasan kami mengikuti ekstrakurikuler sepakbola ini hanyalah untuk bermain sepakbolanya saja, bukan untuk mempelajari teknik-teknik sepakbola. Pak Odik pun juga sepertinya tahu alasan kami mengikuti ekstrakulikuler.
“Langsung main aja, pak. Enggak usah latian!”
“Enggak. Kalian gimana mau menang di kejuaraan kalo ngoper aja belom becus.”
   

***

Tim yang berisi banyak kakak kelas pun dengan gagah bisa kami kalahkan. Ya, tim kami yang banyak berisi kelas 5 lebih kuat dari mereka yang kelas 6. Saat kami bermain, Pak Odik mewasiti kami.
Tapi bila kebiasaan menjahili perempuannya sudah keluar, akan tampak menjadi pemandangan yang sedikit berbeda. Teman perempuanku, Mayang, yang memang pulang agak sore, berjalan melewati pinggir lapangan, menuju ke pagar sekolah karena sudah dijemput ibunya yang mengendarai Peugeot 206 berwarna merah. Saat masih dalam langkah Mayang yang hati-hati, Pak Odik berteriak dengan manja dan penuh harap,
“Mayang mau pulang?? Bapak anterin yaa??”
Mayang mempercepat langkahnya. Kami pun hanya tertawa dan Pak Odik kembali meniup peluit.

***

Peluit panjang ditiup. Suara yang dihasilkan peluit tiupannya betul-betul nyaring dan amat mirip atau mungkin sama dengan suara peluit wasit yang biasa kami lihat dan dengar di televisi. Padahal sore itu ia cuma memimpin pertandingan anak didiknya sendiri. Ia memang selalu total.
Pedagang-pedagang makanan dan minuman di luar pagar sekolah satu persatu mulai membereskan dagangannya dan pulang. Anak-anak kampung yang memang setiap sore menggunakan lapangan sekolah kami untuk bermain bola, sudah berdatangan. Baru saja ada dua anak kampung yang dimasukkan Pak Odik ke dalam tong sampah besar di dekat pohon kelapa karena mereka tak sabar ingin bermain dan masuk ke sekitaran lapangan. Selain tak suka dihina, ia tak menyukai ketidakdisiplinan.

***

Senja mulai menguasai hari. Sebelum menyudahi acara ekstrakurikuler hari ini, Pak Odik memberikan masukan dan wejangan atau apa saja, agar semakin hari kemampuan kami bermain semakin mengkilap. Ia duduk di kursi yang terbuat dari beton di pinggir lapangan, sementara kami duduk bersila di tanah. Sambil mengulum satu buah jeruk yang telah dikupas yang dimasukkan langsung satu buah ke dalam mulutnya, Pak Odik terlihat berwibawa di depan anak-anak ekstrakulikuler di bawah cakrawala menyemburat oranye yang menambah syahdu kekhidmatan. Sebuah kharisma yang hanya sanggup dikalahkan oleh Bung Karno.
Belum sempat ia menyudahi wejangannya, ekor matanya melihat sesuatu di ujung koridor dekat lapangan di bawah aula. Dua orang berjalan, bergandengan tangan. Itu Bu Fitri, guru mata pelajaran Al-Quran beserta anak perempuannya yang masih kecil. Ah, suasananya sudah sangat takzim, amat disayangkan jika Pak Odik tiba-tiba kumat karena ada perempuan muncul. Bu Fitri memang cantik.
Tetapi mungkin kali ini Pak Odik berpikiran sama denganku. Ia tak ingin momen penuh wibawa pada senja ini luntur dan pudar hanya karena menggoda wanita. Sekelebat berdesir rasa banggaku pada Pak Odik karena bisa sejenak menahan egonya, yang sebenarnya aku tahu, ia menahannya sekuat tenaga karena sangat hafal dengannya.
Lalu dengan mata yang mengarah ke Bu Fitri dan anaknya itu, Pak Odik berujar dengan suara pelan kepada kami,
“Anaknya lucu, ya.”
“Iya, pak, lucu."
“Apalagi ibunya.”




Bekasi, Jakapermai.
2003

Thursday, November 25, 2010

Kumis dan Puff




Puff namanya. Di hadapan perempuan yang mengenakan daster ukuran ekstra besar dengan rambut dijepit itu, terdapat kotak transparan yang berisi teh dengan bongkahan-bongkahan es sehingga kotak itu tampak seperti berkeringat. Teh itu ia aduk menggunakan pengaduknya: gagang panjang dengan ujung seperti gelas kecil, untuk menuangkan teh itu ke dalam plastik.
Setiap bel istirahat, Puff tak henti-hentinya mengurus anak-anak sekolah yang kehausan. Tak hanya teh, ia juga menyediakan beragam jenis minuman saset siap seduh rasa lemon, jeruk, apel, anggur, melon, dan minuman soda saset imitasi peniru merek raksasa. Ia juga menyediakan aneka cemilan garing yang dapat diberi bumbu pedas, manis, atau asin, tergantung selera.
Di kantin, Puff berbagi lapak satu atap bersama penjual mie ayam yaitu Mbak Dawan. Anak-anak lebih sering membeli Indomie rebus atau Indomie goreng—yang sebetulnya juga direbus—ketimbang mie ayam konvensional yang Mbak Dawan tawarkan.
Ini merupakan strategi yang bagus antara Puff dan Mbak Dawan, karena biaya sewa lapak per bulan ditanggung bersama dan tentu mereka jadi bayar lebih sedikit.
Di luar kantin, tetapi masih di sekitaran sekolah, Kumis yang berpostur kurus, kecil, dan sesuai namanya, berkumis lebat, sibuk melayani anak-anak yang ingin mengganjal perut. Kumis adalah suami Puff yang berjualan mie goreng—yang sebetulnya direbus—mie dan makaroni garing berbumbu, dan aneka minuman saset. Dagangannya hampir sama seperti Puff, bedanya Kumis menggunakan gerobak.  
Aku mengamati, Puff dan Kumis adalah keluarga pedagang paling sukses dan paling dikenal di sekitar sekolah. Mereka tinggal di Kampung Pulo, sebuah kampung kecil dekat sekolah, dan memang kebanyakan dari pemukimnya pedagang. Manajemen dan strategi dagang Puff dan Kumis, apik. Mereka lincah dan pandai melihat peluang. Pernah suatu waktu, salah satu keluarga di Kampung Pulo mengadakan tahlilan yang dihadiri cukup banyak orang. Selesai acara, tiba-tiba hujan turun dengan amat deras dan para tamu tentu tak bisa pulang karena tak membawa payung sementara mereka tak ingin basah kuyup. Tahu apa yang dilakukan Kumis? Dalam sekejap ia sudah berada di samping tenda para tamu, membawa dua payung, menawarkan jasanya.

Anak mereka yang paling besar sudah selesai berkuliah, sudah menikah, dan sekarang sudah bekerja. Semua pedagang di sini iri dan takjub pada kesuksesan dan keharmonisan mereka.

***

Ketika bel istirahat meraung-raung, tak ada yang lebih dinanti. Bayangkan, sekolah kami terdiri dari SD dan SMP yang mempunyai ribuan murid. Dan setiap selesai istirahat, hampir pasti kotak es teh yang dijual seribu rupiah saja per plastik oleh Puff, kandas, dan ia segera membuat racikan es teh yang baru. Begitu pula dengan cemilan garing yang habis diborong murid-murid. Itu belum istirahat kedua.
            Sebetulnya, cemilan garing yang dijual Puff begitu mengkhawatirkan, terutama bumbunya yang sangat tidak sehat dan tentu berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Namun Puff dan para murid memang mempersetankan itu. Bagi para murid “yang penting enak”.  Dan bagi Puff tentulah pundi-pundi. Banyak murid berkelakar ihwal camilan garing berbumbu yang dijajakan Puff. “Kalo mau masuk ITB, tambahin yang banyak bumbunya!”
Ditemani kicauan burung-burung gereja dan ayam-ayam kampung yang sibuk mematuki sisa-sisa nasi di jalan, setiap hari Puff dan Kumis terus menimbun keuntungan dari hasil berjualan. Mereka tak pernah berhenti mengucap syukur kepada Tuhan sang pencipta segala.  Mereka selalu berdoa, dan berterima kasih karena masih diberi kesempatan untuk mengais rezeki yang halal.
Tetapi, setan tetaplah setan, mengganggu manusia. Pada satu malam, terjadi pertengkaran yang sungguh dahsyat antara Puff dan Kumis. Teriakan dan suara pecahan benda pecah belah terdengar dari rumah mereka.
“HEH APA-APAAN KAMU! ITU PIRING PADA PECAH SEMUA!!”
“MAKANYA KALO BELI PIRING TUH PIRING KALENG!!”
Ayam-ayam tetangga kaget dan gaduh mengepak-ngepakkan sayapnya. Warga yang sedang ronda pun menghentikan permainan catur mereka. Pak RT jelas tak mau berurusan dengan hal seperti itu. Beberapa ibu-ibu keluar dari rumah dan saling melongo, bercakap-cakap sambil berbisik, bertanya satu sama lain dan segera dibalas jawaban tak tahu oleh yang lain. Tetapi ada dari mereka yang menduga, pertengkaran itu terjadi karena Kumis ketahuan bermain gila dengan janda genit beranak tiga di Kampung Dua. Yang lainnya mengatakan justru Puff yang bermain gila dengan bandot tua penjahit jas di Kayuringin. Tapi semua itu cuma desas-desus dan tak ada yang tahu sebab pasti pertengkaran mereka. Malam terasa begitu ganjil. Suara teriakan dan benda-benda pecah belah yang pastinya hancur berkeping-keping masih terus terdengar.

***

“Kau sudah baikkan?” kata Kumis
“Saya tak apa-apa,” Puff membalas.
“Tak apa-apa bagaimana? Bibirmu masih biru. Maafkan aku. Sungguh, aku betul-betul seperti dirasuki setan malam itu. Dan aku menyesal telah melakukannya padamu.”
“Yang sudah terjadi biarlah terjadi, sayang. Tugas kita saat ini adalah tetap berusaha untuk menjaga keluarga ini agar tetap utuh.”
Tiba-tiba seorang suster masuk ke dalam ruangan, mendorong meja berjalan yang di atasnya terdapat sebuah nampan dan mangkuk mengepul.
“Pak Kumis, ini sup ayam. Dihabiskan, ya.”



Bekasi, Jakapermai.

2006

Wednesday, November 24, 2010

Beku




Sipit-sipit kubuka mataku dari pejam. Matahari menyelinap masuk melalui celah jendela dan gorden yang setengah terbuka. Dengan pandangan yang sedikit tertutup tahi mata, aku melihat jam dinding. Jarum pendeknya menunjuk angka sembilan. Aku sedikit tersentak. Apa aku telat? Apakah mama tidak membangunkanku untuk sekolah? Tidak, tidak. Justru ini saat-saat yang aku tunggu. Sekarang Sabtu, libur. Hariku.
Harus kukumpulkan seluruh tenagaku untuk hanya bisa beranjak duduk bangun dari tempat tidur. Kubunyikan seluruh tulang tubuhku, mulai dari kepala, tangan, pinggul dan kaki.  Rasa nikmatnya tak terbahasakan. Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, mewariskan liur untuk bantal dan meninggalkan pemandangan berantakan. Aku sudah benar-benar bangun.

***

Kubuka keran wastafel dengan cermin di hadapanku. Terasa begitu dingin ketika aliran air menyentuh kulit tanganku. Kupandang cermin. Sinting. Kubasuh wajah dekil ini. Mungkin bila aku keluar rumah dan langsung menuju lampu merah, aku bisa meraup banyak receh dengan keadaan kumal seperti ini. 
Keluar dari kamar mandi kulihat adikku Rangga sedang asyik memirsa Crayon Sinchan. Ia geli melihat perilaku tak lazim Sinchan. Sabtu memang hari di mana semua orang perlu berbahagia. Sejenak meneduhkan diri dari penat adalah hal yang mesti. Sejenak menjauhi tempat bernama sekolah adalah surga, meski PR yang menumpuk ingin kumasukkan saja ke dalam lubang kakus. Aku tak mau memikirkan itu semua. Di Sabtu yang cerah ini, aku ingin segalanya tampak memesona. 
Apalagi kini aku telah memiliki dara yang telah lama aku idam-idamkan. Aku tak sendirian lagi. Namanya Sarah. Baru beberapa hari ini kujalani hubungan istimewa itu dengannya yang tentu masih sedikit kaku. Ini memang kelemahanku sejak mempunyai sindrom ‘tiga detik lari’ jika meihat geng wanita. Kuambil ponsel di atas meja kamar untuk mengecek apakah ada pesan masuk.  Benar saja, satu pesan masuk dari Sarah

From: Sarah
“Pagi syg, udah bangun blm??”

Ah betapa hatiku berbunga-bunga. Mendadak panas tubuku. Tetapi memang dasar sial, pulsaku habis untuk membalas pesan dari Sarah. Tai. Sabtu yang seharusnya menjadi hari romantis untuk dua sejoli seperti kami, sedikit ternoda pagi ini. Semoga ia menduga-duga bahwa aku kehabisan pulsa, karena memang itulah yang tejadi.

“Bi! Bikinin makan!”
“Mas Kiting mau makan apa?”
“Mi kuah aja, bi! Pake telor!”
“Iya, mas.”

Teriakanku dari lantai dua rumah ini sanggup terdengar ke dapur bawah. Bajingan, aku sangat lapar. Hari ini juga sudah pasti rumahku akan terlihat seperti tempat pengungsian. Sabtu dan Minggu, bahkan saat sepulang sekolah, rumahku menjadi basecamp teman-temanku berkumpul. Entah untuk bermain playstation, komputer, atau sekadar menonton Smack Down dari DVD bajakan yang kami beli di emperan ruko atau DVD asli yang biasanya kami beli di Disc Tarra.
Tak meleset sedikitpun. Baru saja mie rebusku datang, satu temanku sudah memanggil-manggil namaku dari luar rumah. Winning Eleven adalah candu. Dari balkon aku berteriak kepadanya agar langsung masuk saja.
“Buruan.”
“Tunggu, gua abisin mie dulu, lo nyalain dulu aja PS-nya.”

Winning Eleven adalah game playstation sepakbola produksi Jepang yang menurutku amat bikin lupa waktu. Kemampuan temanku yang baru aja memasukkan CD ke dalam mesin game berwarna abu-abu itu, lebih mahir dariku. Aku sering kalah, tapi setidaknya bisa mengimbangi. Pada lain waktu sebaliknya. Namun semakin aku kalah, semakin itu menjadi pelecut semangat untuk membuatku lebih mahir. Oleh karenanya aku selalu bersemangat bila ada seseorang menantangku dalam Winning Eleven.
Kuhabiskan mie rebus dan segera meletakkan mangkok kosongnya di dapur.  Aku segera berlari ke lantai dua untuk segera menengglamkan Sabtuku pada Winning Eleven. Tiba di kamar, Arsenal sudah dipilih dan berarti aku harus memilih tim dengan skuat yang lebih baik atau setidaknya seimbang. Mungkin Real Madrid atau AC Milan, atau Thierry Henry akan menghancurkanku. Tetapi kulihat, temanku sedang memegang telepon ponsel milikku dan mengeceknya.

“Ting, ini SMS dari Sarah enggak lo bales?”
“Enggak ada pulsa gua.”
“Apa lo beli pulsa dulu, terus bales?”
“Entar siangan aja deh, males gua belinya.”

Ia meletakkan ponselku di lantai dan segera kupilih AC Milan. Tanpa banyak omong kami langsung menyusun tim dengan gegas, mulai dari mengatur formasi, memilih starting eleven, menentukan taktik spesifik untuk tiap pemain, hingga memilih penendang pinalti. Kuharap Andriy Shevchenko kali ini banyak merepotkan Sol Campbell dan menu mulai bermain segera dipilih.

***

Tiba-tiba ponselku bergetar. Panggilan masuk.
            “Ting, Sarah itu!”
“Entar ajalah. Tanggung!”
Bukannya tak mau mengangkat, tetapi jika aku mengangkatnya sekarang, pasti pembicaraan akan terjadi lama sekali sementara Winning Eleven tak mungkin ditunda. Lagi pula setelah bermain, aku bisa menelponnya dan justru memiliki waktu lebih banyak dan lebih lepas untuk ngobrol tentang apa saja.
Aku larut dalam permainan. Di saat yang bersamaan ponselku tak berhenti bergetar. Tanggung, tanggung, tanggung. Aku harus menang. Tai! AC Milan kalah, Real Madrid seri, Manchester United dibantai, dan jelas Inter Milan tak bisa diharapkan. Telepon genggamku masih bergetar.

***

Setelah bergetar berkepanjangan, benda itu akhirnya diam dan tak lama disusul getaran satu kali, yang berarti pesan masuk. Untunglah kalau Sarah paham. Aku tahu dia pengertian. Dan setelah banyak sekali pertandingan, sejenak kulemaskan jari-jariku dan sepertinya sekarang aku akan membeli pulsa di ujung komplek dan menikmati Sabtu romantisku dengan Sarah. Mungkin aku akan mengajaknya jalan-jalan sementara teman tandingku itu bersiap pulang.
Kuraih ponsel dengan degup familiar yang kurasakan seperti beberapa waktu belakangan. Kutekan menu pesan masuk, dari Sarah. Kutekan keypad dan berarti masuk ke pesan Sarah.
        
            From: Sarah

            “I HATE YOU”


                                                                                                                                    Bekasi, Jakapermai
                                                                                                                                                           2003

Friday, November 12, 2010

Celah





Koakan burung-burung sementara hilang dari pendengaran. Langit menghitam kelam seperti mengisyaraktan sesuatu akan menerjang. Sekejap saja tak kenal ampun langit menghujamkan rinainya begitu liar. Petir berdesing seperti pembunuh yang tanpa ampun mengeksekusi korban. Kucari pemantik di laci meja yang penuh abu berserakan. Asbak yang tak lagi berguna karena hembusan angin begitu kencang. Kuseduh kopi untuk menghangatkan dingin sore yang menusuk tulangku dan tentu kemudian aku harus beranjak untuk merapatkan pintu dan jendela. Aku sejenak berbaring menghadap ke langit-langit sambil sesekali kuhisap dalam-dalam kretekku.
Keparat, sore ini betul-betul dingin.


Bekasi - 2007
Pelor


Mataku memerah pedih. Aku tak peduli. Aku terus menghisap kalap kretek ketenganku dengan liar asalkan dapat menghilangkan stres yang menyerangku sore ini. Nikmat rasa kretek ini jelas saja berkurang karena tak bisa terlalu konsentrasi menikmati hisapan demi hisapannya. Kami membisu di tongkrongan yang sudah seperti rumah kedua ini setelah capek menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti dan apa yang harus dilakukan sekarang. Hanya ada panik. Sekali lagi kutarik kretek ini melalui mulut hingga asapnya masuk ke tenggorokan, lalu kuembuskan dengan pasrah.

***

Kejadiannya tadi siang setelah pulang sekolah. Jenuh mengurung dan menghantam pikiranku begitu dahsyat. Matahari yang masih membumbung tinggi seperti ditempelkan begitu saja ke ubun-ubunku. Keringat yang bercucuran kuseka dengan lengan baju seragam dan segera meninggalkan noda cokelat.
“Lor cepetan! Gua udah asem!”
Aku dan teman-temanku baru menginjak kelas satu SMA saat ini. Kata orang, masa-masa SMA adalah masa yang paling indah. Kata orang, masa SMA adalah masa di mana kita benar-benar menikmati masa muda dan berbagai dinamikanya. Kau bisa pacaran di saat libidomu sedang di puncak. Adrenalinmu sebagai anak muda juga sedang bagus kata orang. Kau bisa berbuat seenaknya dan orang akan berkata, anak muda memang. Babi hutan dengan itu semua. Siang ini panas sekali.

***

Kuselah motor Kiting. Setelan gasnya tak pas sehingga harus sedikit repot sebelum berhasil menyala. Aku yang disuruh membawa, karena memang motor milikku kutaruh di rumah Kiting, dan aku berangkat ke sekolah berdua menaiki Kawasaki Ninja miliknya tiap pagi.
Setelah berhasil menyala, Aku dan Kiting segera menuju ke sebuah ruko tak jauh sekolah untuk sejenak melepas penat. Di sana tak hanya kami berdua, banyak juga anak-anak sekolah yang juga kawan-kawan kami, menuju ke sana atau sudah berada di sana. Ada yang memesan es campur, berharap panas siang hari itu sedikit teratasi. Ada yang memesan gado-gado, karedok, ayam goreng. Ada yang bermain gitar. Ada yang sekadar nongkrong saja. Dan ada yang hanya merokok dan terus merokok. Prinsipku sendiri, lebih baik tak makan daripada tak merokok.
“Woi, Lor! Enggak makan lo?”
“Beliin, ya?”
“Yee..,” 
Kawanku Rayi kembali memasukkan sendok berisi nasi dan potongan mie ke dalam mulutnya.

“Bang, Super dua ribu, dong.”
Kukeluarkan dari kantong seragamku dua lembar seribuan kumal yang di permukaannya tertulis nomor-nomor telepon untuk mengambil tiga batang Djarum Super yang disodorkan abang warung. Kusulut segera satu dengan korek yang tergantung diikat tali rafia menjuntai di warung. Aku segera bergabung dengan teman-teman yang sudah lebih dahulu duduk-duduk di situ dan segera menginstal ulang otak dengan asap-asap nikmat. Bajingan, nikmat sekali.

***

Siang terkendali dengan baik, kurasa. Di lorong ujung, anak-anak masih bercanda dan tertawa. Ada suara genjrengan gitar kopong yang dimainkan Reza Badak yang aku tak tahu sedang memainkan lagu apa. Koridor ruko penuh asap. Kami memenuhi koridor-koridor itu sehingga akan sulit jika ada orang yang ingin berjalan melewatinya agar tak menginjak kami.
Jika aku menjadi pemilik dari salah satu ruko di situ, jelas aku terganggu dan mungkin mengusir anak-anak ini. Atau aku akan memberi tahu pihak sekolah bahwa murid-murid sekolah mengganggu aktivitas ruko dan sekitar. Ruko yang menjual makanan atau minuman lebih beruntung karena pasti para murid biasanya akan memesan apapun. Ah, peduli setan dengan itu semua. Aku hanya ingin bersandar sebentar sambil memejamkan mata.

***

Pada saat kami masih asyik nongkrong, aku melihat seorang bapak-bapak memakai helm, berjalan di lorong ujung mendekati kumpulan kami. Ah, kurasa ia hanya orang yang mungkin ingin membeli sesuatu atau yang lain di salah satu ruko, walaupun agak sedikit ganjil karena helm masih terpasang di kepalanya dan tidak diletakkan di motor atau ditenteng jika ia khawatir helmnya raib. Kulanjutkan hisapanku.
Bapak itu berjalan semakin dekat dan akhirnya ia berada betul-betul di tengah-tengah kami. Semua pandangan tertuju padanya. Ia tak melanjutkan langkahnya. Aneh. Ia hanya melihat-lihat kami, menyapu mata-mata kami seperti berusaha mencari seseorang. Tiba-tiba ia melepaskan helmnya. Bangsat! Itu Pak Hasyim! Ia adalah guru Kewarganegaraan di sekolah sekaligus pentolan Pertahanan Sekolah atau sering disebut Tanse. Ia adalah guru yang ditakuti dan cukup beringas menghukum anak-anak bermasalah. Biji mataku hampir keluar. Dadaku berdesir kencang. Kusentil Djarum Super yang tinggal beberapa sentimeter itu ke tanah. Celaka, sepertinya dia sempat menghafal wajahku! Murid-murid berhamburan seperti tawon yang sarangnya diusik. Aku segera menuju motor dan coba menyalakannya. Anjing! Motornya macet!
“CEPETAN, LOR!” Kiting panik setengah mati. Kutiup tali gas bangsat bermasalah itu dan kemudian menyelahnya. Menyala. Secepat-cepatnya kupacu motor itu, kabur menjauhi ruko agar tak tertangkap atau setidaknya wajahku tak diingat oleh Pak Hasyim, karena hukuman bagi murid yang ketahuan merokok, cukup berat. Aku, Kiting, dan kawan-kawan kelompokku menuju tongkrongan utama kami.

***

Kejadian tadi membawa kami kabur sampai ke Jalan Angsa. Ini adalah tongkrongan kami sejak SMP dan memang gedung SMP kami hanya berjarak selemparan kancut dari Jalan Angsa. Nama Jalan Angsa diberikan oleh Bokir, salah satu warga di pemukiman, karena di situ terdapat banyak sekali unggas yang ia pelihara seperti burung, ayam, entog dan lain-lain. Kenapa bokir memilih untuk menamakan jalan itu bernama Jalan Angsa dan bukan Jalan Ayam atau Jalan Burung, cuma dia dan cahaya lampu Kampung Pulo yang tahu.
Anak-anak kecil berlarian. Ibu-ibu duduk di bale sambil menunggu pesanan bakso cuankinya datang. Sedangkan kami, murung menekuk wajah diterpa ketakutan. Kami cuma bisa menebak-nebak apa yang nanti akan terjadi. Kami belum punya pengalaman untuk menghadapi pasukan bapak ibu guru Bimbingan Pelajar karena aturan di SMA kami memang ketat, berbeda dengan aturan serta hukuman yang diberikan ketika kami SMP. SMA kami tak segan mengeluarkan murid yang bermasalah, dan memang sudah banyak murid yang dikeluarkan.
“Ke rumah Koko aja kita sekarang.” Aku menyarankan Kiting ke rumah Koko, tongkrongan kami yang satu lagi. Di sana ada sosok sepuh yang biasa memberikan kami nasehat-nasehat yang mungkin bisa melegakan. Teman-teman kami yang lain pulang. Aku dan Kiting pergi ke sana.

***

Rumah Koko sederhana. Suasananya tak beda jauh dengan suasana Jalan Angsa. Aku dan Kiting masuk, disambut dengan senyuman lelaki tua itu. Kukeluarkan Zippo imitasiku, kubakar satu persatu Djarum Super sambil mendengarkan Koko berbicara. Detik menjadi menit, dan menit menjadi jam. Hampir maghrib. Setelah beberapa saat kami diberi nasehat dan ditenangkan, aku dan Kiting undur diri pamit pulang. Sial. Baru saja ingin menyalakan motor, rintik-rintik gerimis mengetuk-ngetuk kepala kami.
“Buruan, Lor! Keburu ujan gede!”
Binatang jalang. Seperti biasa, harus kuselah dengan susah payah dulu, baru Kawasaki Ninja sialan ini menyala. Benar saja. Di tengah perjalanan, rintikan gerimis berubah menjadi hujan badai yang sangat deras. Petir-petir menyalak tanpa ampun. Dan kami tak membawa jas hujan. Aku memacu motor lebih cepat.

***

“Anjing! Dingin banget, Lor! Sakit banget ujannya!”
Rinai hujan dahsyat yang menghunjam kulit tubuh ditambah laju motor terpacu cepat membuat Kiting merengek kesakitan. Sedangkan aku? Terus berkelebatan dalam kepala tentang peristiwa Pak Hasyim menggerebek kami tadi siang dan aku cukup yakin ia melihat wajahku. Mampuslah jika Pak Hasyim ingat wajahku. Pikiranku yang terus mengawang ke sana membuat hujan ini terasa seperti sentuhan anak bayi. Demi Tuhan, aku tak ingin dikeluarkan dari sekolah.
“Anjing! Sakit banget! Pelan-pelan napa!”
Rengek’an Kiting membuat kepalaku ingin pecah. Aku menepikan motor ke kiri jalan dan kuberikan saja kaos yang kukenakan kepadanya.
“Pake kaos gua nih!”
Kini aku memacu motor bertelanjang dada. Tak peduli aku dikira orang sinting oleh orang-orang, lagipula pandangan mereka juga pasti terhalangi oleh derasnya hujan.

***

Sampailah kami di depan rumah Kiting. Aku mengambil motorku di garasi rumahnya. Aku meminjam kaos kering milik Kiting yang diambilkan pembantunya setelah Kiting menyuruhnya.
“Duh, ntar gue ngaji lagi, males banget!”
Ini hari Kamis. Kiting memang sejak kecil hingga kini punya kebiasaan mengaji. Lebih tepatnya diperintah ibunya. Guru ngajinya datang setiap Kamis magrib. Kata-kata Kiting tentang ngaji barusan menyulut otakku. Inikah kesempatan itu? Kukeluarkan motor trondolku dari garasi. Sama, harus aku selah terlebih dahulu. Aku memang akrab sekali dengan kick starter motor bajingan. Kukeluarkan motor dari pagar. Dan sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, dari luar pagar aku menyampaikan pesan ke Kiting,
“Ting, gua minta tolong dong. Bilangin ke guru ngaji lo, bikin Pak Hasyim lupa sama muka gua.”