Wednesday, October 27, 2010

Kilah




Kiting mengencangkan tali sepatunya yang longgar di tangga dekat kelasnya. Ia malas ketika sedang bermain berlarian bersama temannya, talinya lepas dan ia terjatuh akibat menginjak tali sepatunya sendiri. Ia baru menginjak kelas empat SD. Nilai rapotnya bisa dikatakan biasa-biasa saja, hancur malah. Ia termasuk anak paling semerawut di kelas 4A, bersama Gilang, dan Utha.
Bel sekolah yang meraung pertanda jam istirahat telah selesai dan anak-anak harus masuk kelas. Beruntung bagi Kiting dan komplotannya Ini adalah saat-saat yang ia dambakan. Pak Totong yang seharusnya kini mengajar di kelas, hanya memberi tugas lalu pergi karena ada suatu urusan. Anak-anak di barisan depan dengan sigap mengeluarkan alat tulisnya dan segera mengerjakan tugas yang diberikan. Sementara anak-anak yang berada di barisan belakang seperti Kiting, Utha dan Gilang, menganggap ini adalah waktu ekstra untuk rusuh. Soal tugas? Persetan akan itu.
Perpindahan kelas tiga ke kelas empat adalah masa transisi yang kritis. Anak-anak semakin membuka diri terhadap dunia luar dan semakin banyak menyerap informasi baik yang positif maupun yang negatif. Mereka semakin ingin tahu dengan hal-hal yang belum mereka ketahui. Inilah yang tengah dialami Kiting dan teman-temannya saat ini. Mereka adalah anak-anak badung dan cukup membuka diri akan hal-hal negatif.

***

Matahari semakin menyilaukan, merambat masuk sebagian ruangan kelas melalui jendela. Itang dan teman-temannya terus cekikikan di barisan belakang kelas tanpa memedulikan anak-anak yang sedang mengerjakan tugas. Jelas saja anak-anak itu terganggu dengan suara canda tawa Kiting CS, namun anak-anak itu tak berani menegur atau malas menegur karena komplotan Kiting juga tak akan menghentikan kegaduhan.

***

Jarum jam semakin jauh berputar. Anak-anak yang tengah mengerjakan tugas yang diberikan Pak Totong semakin keki menghadapi situasi tak kondusif ini. Kiting dan komplotannya pun bukannya diam, malah semakin memperkeras suara tawanya akibat kelucuan-kelucuan dari candaan mereka. Sonia, salah satu murid perempuan yang terganggu dengan kebisingan ini ingin sekali memasukan komplotan Kiting ke dalam keranjang sampah. Tentu saja itu tak mungkin. Sonia kemudian penasaran dengan apa yang komplotan Kiting bahas sampai-sampai suara tawa mereka begitu riuh. Sonia tak tahan dan sejenak meninggalkan tugasnya untuk mengamati komplotan Kiting. Sonia mengamati, terdapat secarik kertas yang terus dioper komplotan Kiting. Ketika Kiting menerima kertas tersebut dari Gilang dan membacanya, tawa Kiting membuncah di udara. Kiting kemudian balas menulis sesuatu di kertas itu dan diserahkannya pada Gilang. Ketika Gilang dan Utha membacanya, giliran gelak mereka yang memenuhi ruangan. Begitu terus berulang-ulang.
Ketika jam pelajaran telah habis dan bel istirahat kedua bebunyi, Kiting meremas kertas tersebut hingga lecek dan membuangnya ke jendela sehingga kertas tersebut jatuh ke bawah, dan kemudian bergegas ke lapangan bersama komplotannya. Tak dinyana, Sonia yang daritadi memerhatikan gerak-gerik dan perilaku mereka, melihat secarik kertas itu dibuang. Penasaran dengan isi kertas tersebut, Sonia buru-buru menuruni tangga dan mencari di mana kertas itu berada. Akhirnya ia menemukan kertas tersebut. Setelah melihat isinya, Sonia mengernyitkan dahi. Ia kemudian menyerahkan kertas tersebut kepada Pak Totong!

***

Pak Totong geleng-geleng kepala melihat isi kertas itu. Bangsat, ucapnya dalam hati. Bersama Bu Eva yang guru Bimbingan dan Penyuluhan, Pak Totong memangil Kiting, Utha dan Gilang ke ruang BP.

***

Kiting lemas bukan main. Utha terihat biasa saja dan Gilang masih cengar-cengir. Sekarang mereka sudah tahu penyebab mengapa mereka berada di ruangan itu dari secarik kertas yang dipegang Pak Totong. Anjing tanah!
Pak Totong kemudian menjabarkan kertas tersebut dan membaca dengan lantang apa yang tertulis di sana. “BAPAKLO NGENTOT”.
            Tanpa banyak cincong Pak Totong segera menjewer beringas telinga mereka bertiga. Kemudian Pak Totong membacakan tulisan lain yang tertera di situ dan lagi-lagi menjewer Komplotan Kiting, begitu terus.        

***

Kini kertas itu berada di tangan Bu Eva. Ia geleng-geleng kepala melihat tulisan-tulisan di kertas tersebut. Ia masih membacanya. Ekor mata Bu Eva kemudian menangkap sebuah tulisan yang ia tak terlalu mengerti.
            “Se..po..ngg. Sepong? Kiting, apa ini sepong??” tanya Bu Eva
            Babi hutan. Aku harus menjawab apa? Tai. Akan kujawab sekenanya
            “I..Itu, bu, kue semprong,” kata Kiting sambil memonyongkan mulutnya dan membuat gerakan tangan maju mundur seolah membentuk kue semprong
            Kiting selamat dari jeweran.

***

Setelah selesai diinterogasi di ruang BP, Bu Evi segera menelpon ketiga orang tua anak-anak itu. Hanya mama Kiting yang tak hadir karena sedang ada keperluan. Sebagai gantinya, Bu Eva membuat surat panggilan untuk orangtua Kiting dan menyerahkannya kepada bocah itu agar Kiting menyerahkanya kepada orangtuanya.
Melihat Gilang dan Utha dimarahi mama mereka, Kiting jelas tak bisa membayangkan hal itu tejadi. Apalagi jika ketahuan ayahnya.
           
***

Kiting pulang ke rumah dan mamanya belum pulang. Yang kemudian dilakukannya adalah membuang segera surat panggilan yang ada di tasnya itu ke tempat sampah.
            Tak lama kemudian terdengar suara pagar terbuka dan deru mesin mobil. Mama Kiting pulang. Bocah itu panik. Mama Kiting yang masih mencangklong tas itu segera menuju kamar Kiting yang ada di lantai dua dan tanpa basa-basi langsung menanyai bocah itu.
            “Kiting! Tadi mama ditelpon Bu Eva, katanya kamu masuk BP, ya! Kenapa??”
            Mampus. Dalam tempo sepersekian detik itu Kiting harus mencari jawaban. Saat ini mamanya tak membutuhkan apapun di dunia ini kecuali jawaban. Ah!
“Iya itu jadi saksi, ma. Utha nakal.”