Wednesday, November 24, 2010

Beku




Sipit-sipit kubuka mataku dari pejam. Matahari menyelinap masuk melalui celah jendela dan gorden yang setengah terbuka. Dengan pandangan yang sedikit tertutup tahi mata, aku melihat jam dinding. Jarum pendeknya menunjuk angka sembilan. Aku sedikit tersentak. Apa aku telat? Apakah mama tidak membangunkanku untuk sekolah? Tidak, tidak. Justru ini saat-saat yang aku tunggu. Sekarang Sabtu, libur. Hariku.
Harus kukumpulkan seluruh tenagaku untuk hanya bisa beranjak duduk bangun dari tempat tidur. Kubunyikan seluruh tulang tubuhku, mulai dari kepala, tangan, pinggul dan kaki.  Rasa nikmatnya tak terbahasakan. Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, mewariskan liur untuk bantal dan meninggalkan pemandangan berantakan. Aku sudah benar-benar bangun.

***

Kubuka keran wastafel dengan cermin di hadapanku. Terasa begitu dingin ketika aliran air menyentuh kulit tanganku. Kupandang cermin. Sinting. Kubasuh wajah dekil ini. Mungkin bila aku keluar rumah dan langsung menuju lampu merah, aku bisa meraup banyak receh dengan keadaan kumal seperti ini. 
Keluar dari kamar mandi kulihat adikku Rangga sedang asyik memirsa Crayon Sinchan. Ia geli melihat perilaku tak lazim Sinchan. Sabtu memang hari di mana semua orang perlu berbahagia. Sejenak meneduhkan diri dari penat adalah hal yang mesti. Sejenak menjauhi tempat bernama sekolah adalah surga, meski PR yang menumpuk ingin kumasukkan saja ke dalam lubang kakus. Aku tak mau memikirkan itu semua. Di Sabtu yang cerah ini, aku ingin segalanya tampak memesona. 
Apalagi kini aku telah memiliki dara yang telah lama aku idam-idamkan. Aku tak sendirian lagi. Namanya Sarah. Baru beberapa hari ini kujalani hubungan istimewa itu dengannya yang tentu masih sedikit kaku. Ini memang kelemahanku sejak mempunyai sindrom ‘tiga detik lari’ jika meihat geng wanita. Kuambil ponsel di atas meja kamar untuk mengecek apakah ada pesan masuk.  Benar saja, satu pesan masuk dari Sarah

From: Sarah
“Pagi syg, udah bangun blm??”

Ah betapa hatiku berbunga-bunga. Mendadak panas tubuku. Tetapi memang dasar sial, pulsaku habis untuk membalas pesan dari Sarah. Tai. Sabtu yang seharusnya menjadi hari romantis untuk dua sejoli seperti kami, sedikit ternoda pagi ini. Semoga ia menduga-duga bahwa aku kehabisan pulsa, karena memang itulah yang tejadi.

“Bi! Bikinin makan!”
“Mas Kiting mau makan apa?”
“Mi kuah aja, bi! Pake telor!”
“Iya, mas.”

Teriakanku dari lantai dua rumah ini sanggup terdengar ke dapur bawah. Bajingan, aku sangat lapar. Hari ini juga sudah pasti rumahku akan terlihat seperti tempat pengungsian. Sabtu dan Minggu, bahkan saat sepulang sekolah, rumahku menjadi basecamp teman-temanku berkumpul. Entah untuk bermain playstation, komputer, atau sekadar menonton Smack Down dari DVD bajakan yang kami beli di emperan ruko atau DVD asli yang biasanya kami beli di Disc Tarra.
Tak meleset sedikitpun. Baru saja mie rebusku datang, satu temanku sudah memanggil-manggil namaku dari luar rumah. Winning Eleven adalah candu. Dari balkon aku berteriak kepadanya agar langsung masuk saja.
“Buruan.”
“Tunggu, gua abisin mie dulu, lo nyalain dulu aja PS-nya.”

Winning Eleven adalah game playstation sepakbola produksi Jepang yang menurutku amat bikin lupa waktu. Kemampuan temanku yang baru aja memasukkan CD ke dalam mesin game berwarna abu-abu itu, lebih mahir dariku. Aku sering kalah, tapi setidaknya bisa mengimbangi. Pada lain waktu sebaliknya. Namun semakin aku kalah, semakin itu menjadi pelecut semangat untuk membuatku lebih mahir. Oleh karenanya aku selalu bersemangat bila ada seseorang menantangku dalam Winning Eleven.
Kuhabiskan mie rebus dan segera meletakkan mangkok kosongnya di dapur.  Aku segera berlari ke lantai dua untuk segera menengglamkan Sabtuku pada Winning Eleven. Tiba di kamar, Arsenal sudah dipilih dan berarti aku harus memilih tim dengan skuat yang lebih baik atau setidaknya seimbang. Mungkin Real Madrid atau AC Milan, atau Thierry Henry akan menghancurkanku. Tetapi kulihat, temanku sedang memegang telepon ponsel milikku dan mengeceknya.

“Ting, ini SMS dari Sarah enggak lo bales?”
“Enggak ada pulsa gua.”
“Apa lo beli pulsa dulu, terus bales?”
“Entar siangan aja deh, males gua belinya.”

Ia meletakkan ponselku di lantai dan segera kupilih AC Milan. Tanpa banyak omong kami langsung menyusun tim dengan gegas, mulai dari mengatur formasi, memilih starting eleven, menentukan taktik spesifik untuk tiap pemain, hingga memilih penendang pinalti. Kuharap Andriy Shevchenko kali ini banyak merepotkan Sol Campbell dan menu mulai bermain segera dipilih.

***

Tiba-tiba ponselku bergetar. Panggilan masuk.
            “Ting, Sarah itu!”
“Entar ajalah. Tanggung!”
Bukannya tak mau mengangkat, tetapi jika aku mengangkatnya sekarang, pasti pembicaraan akan terjadi lama sekali sementara Winning Eleven tak mungkin ditunda. Lagi pula setelah bermain, aku bisa menelponnya dan justru memiliki waktu lebih banyak dan lebih lepas untuk ngobrol tentang apa saja.
Aku larut dalam permainan. Di saat yang bersamaan ponselku tak berhenti bergetar. Tanggung, tanggung, tanggung. Aku harus menang. Tai! AC Milan kalah, Real Madrid seri, Manchester United dibantai, dan jelas Inter Milan tak bisa diharapkan. Telepon genggamku masih bergetar.

***

Setelah bergetar berkepanjangan, benda itu akhirnya diam dan tak lama disusul getaran satu kali, yang berarti pesan masuk. Untunglah kalau Sarah paham. Aku tahu dia pengertian. Dan setelah banyak sekali pertandingan, sejenak kulemaskan jari-jariku dan sepertinya sekarang aku akan membeli pulsa di ujung komplek dan menikmati Sabtu romantisku dengan Sarah. Mungkin aku akan mengajaknya jalan-jalan sementara teman tandingku itu bersiap pulang.
Kuraih ponsel dengan degup familiar yang kurasakan seperti beberapa waktu belakangan. Kutekan menu pesan masuk, dari Sarah. Kutekan keypad dan berarti masuk ke pesan Sarah.
        
            From: Sarah

            “I HATE YOU”


                                                                                                                                    Bekasi, Jakapermai
                                                                                                                                                           2003

No comments: