Thursday, November 25, 2010

Kumis dan Puff




Puff namanya. Di hadapan perempuan yang mengenakan daster ukuran ekstra besar dengan rambut dijepit itu, terdapat kotak transparan yang berisi teh dengan bongkahan-bongkahan es sehingga kotak itu tampak seperti berkeringat. Teh itu ia aduk menggunakan pengaduknya: gagang panjang dengan ujung seperti gelas kecil, untuk menuangkan teh itu ke dalam plastik.
Setiap bel istirahat, Puff tak henti-hentinya mengurus anak-anak sekolah yang kehausan. Tak hanya teh, ia juga menyediakan beragam jenis minuman saset siap seduh rasa lemon, jeruk, apel, anggur, melon, dan minuman soda saset imitasi peniru merek raksasa. Ia juga menyediakan aneka cemilan garing yang dapat diberi bumbu pedas, manis, atau asin, tergantung selera.
Di kantin, Puff berbagi lapak satu atap bersama penjual mie ayam yaitu Mbak Dawan. Anak-anak lebih sering membeli Indomie rebus atau Indomie goreng—yang sebetulnya juga direbus—ketimbang mie ayam konvensional yang Mbak Dawan tawarkan.
Ini merupakan strategi yang bagus antara Puff dan Mbak Dawan, karena biaya sewa lapak per bulan ditanggung bersama dan tentu mereka jadi bayar lebih sedikit.
Di luar kantin, tetapi masih di sekitaran sekolah, Kumis yang berpostur kurus, kecil, dan sesuai namanya, berkumis lebat, sibuk melayani anak-anak yang ingin mengganjal perut. Kumis adalah suami Puff yang berjualan mie goreng—yang sebetulnya direbus—mie dan makaroni garing berbumbu, dan aneka minuman saset. Dagangannya hampir sama seperti Puff, bedanya Kumis menggunakan gerobak.  
Aku mengamati, Puff dan Kumis adalah keluarga pedagang paling sukses dan paling dikenal di sekitar sekolah. Mereka tinggal di Kampung Pulo, sebuah kampung kecil dekat sekolah, dan memang kebanyakan dari pemukimnya pedagang. Manajemen dan strategi dagang Puff dan Kumis, apik. Mereka lincah dan pandai melihat peluang. Pernah suatu waktu, salah satu keluarga di Kampung Pulo mengadakan tahlilan yang dihadiri cukup banyak orang. Selesai acara, tiba-tiba hujan turun dengan amat deras dan para tamu tentu tak bisa pulang karena tak membawa payung sementara mereka tak ingin basah kuyup. Tahu apa yang dilakukan Kumis? Dalam sekejap ia sudah berada di samping tenda para tamu, membawa dua payung, menawarkan jasanya.

Anak mereka yang paling besar sudah selesai berkuliah, sudah menikah, dan sekarang sudah bekerja. Semua pedagang di sini iri dan takjub pada kesuksesan dan keharmonisan mereka.

***

Ketika bel istirahat meraung-raung, tak ada yang lebih dinanti. Bayangkan, sekolah kami terdiri dari SD dan SMP yang mempunyai ribuan murid. Dan setiap selesai istirahat, hampir pasti kotak es teh yang dijual seribu rupiah saja per plastik oleh Puff, kandas, dan ia segera membuat racikan es teh yang baru. Begitu pula dengan cemilan garing yang habis diborong murid-murid. Itu belum istirahat kedua.
            Sebetulnya, cemilan garing yang dijual Puff begitu mengkhawatirkan, terutama bumbunya yang sangat tidak sehat dan tentu berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Namun Puff dan para murid memang mempersetankan itu. Bagi para murid “yang penting enak”.  Dan bagi Puff tentulah pundi-pundi. Banyak murid berkelakar ihwal camilan garing berbumbu yang dijajakan Puff. “Kalo mau masuk ITB, tambahin yang banyak bumbunya!”
Ditemani kicauan burung-burung gereja dan ayam-ayam kampung yang sibuk mematuki sisa-sisa nasi di jalan, setiap hari Puff dan Kumis terus menimbun keuntungan dari hasil berjualan. Mereka tak pernah berhenti mengucap syukur kepada Tuhan sang pencipta segala.  Mereka selalu berdoa, dan berterima kasih karena masih diberi kesempatan untuk mengais rezeki yang halal.
Tetapi, setan tetaplah setan, mengganggu manusia. Pada satu malam, terjadi pertengkaran yang sungguh dahsyat antara Puff dan Kumis. Teriakan dan suara pecahan benda pecah belah terdengar dari rumah mereka.
“HEH APA-APAAN KAMU! ITU PIRING PADA PECAH SEMUA!!”
“MAKANYA KALO BELI PIRING TUH PIRING KALENG!!”
Ayam-ayam tetangga kaget dan gaduh mengepak-ngepakkan sayapnya. Warga yang sedang ronda pun menghentikan permainan catur mereka. Pak RT jelas tak mau berurusan dengan hal seperti itu. Beberapa ibu-ibu keluar dari rumah dan saling melongo, bercakap-cakap sambil berbisik, bertanya satu sama lain dan segera dibalas jawaban tak tahu oleh yang lain. Tetapi ada dari mereka yang menduga, pertengkaran itu terjadi karena Kumis ketahuan bermain gila dengan janda genit beranak tiga di Kampung Dua. Yang lainnya mengatakan justru Puff yang bermain gila dengan bandot tua penjahit jas di Kayuringin. Tapi semua itu cuma desas-desus dan tak ada yang tahu sebab pasti pertengkaran mereka. Malam terasa begitu ganjil. Suara teriakan dan benda-benda pecah belah yang pastinya hancur berkeping-keping masih terus terdengar.

***

“Kau sudah baikkan?” kata Kumis
“Saya tak apa-apa,” Puff membalas.
“Tak apa-apa bagaimana? Bibirmu masih biru. Maafkan aku. Sungguh, aku betul-betul seperti dirasuki setan malam itu. Dan aku menyesal telah melakukannya padamu.”
“Yang sudah terjadi biarlah terjadi, sayang. Tugas kita saat ini adalah tetap berusaha untuk menjaga keluarga ini agar tetap utuh.”
Tiba-tiba seorang suster masuk ke dalam ruangan, mendorong meja berjalan yang di atasnya terdapat sebuah nampan dan mangkuk mengepul.
“Pak Kumis, ini sup ayam. Dihabiskan, ya.”



Bekasi, Jakapermai.

2006

No comments: