I hope you never think about anything as much as I think about you.
hopelandic
Saturday, June 16, 2012
Dinamika Dunia Lawak di Indonesia
Ayah
saya adalah penggemar berat Srimulat. Mungkin juga hanya menyukainya secara
biasa saja atau hanya sekadar menonton di televisi tanpa ada keterikaatan
perasaan yang lebih dalam. Tetapi saya asumsikan ia adalah penggemar berat grup
lawak legendaris tersebut, karena hampir tiap malam ketika saya masih kecil, ia
pasti menyempatkan diri untuk menonton Srimulat yang tayang di televisi. Saya
pun tak pernah menanyakan seberapa “nge-fans” ia dengan grup lawak tersebut.
Tetapi yang pasti, ruang tengah keluarga saya selalu “ger-geran” karena acara
komedi itu. Kebetulan ayah saya pun berteman baik dengan Kadir, salah satu
personel Srimulat, karena rumah kami yang berada satu komplek. Otomatis karena
seringnya aktivitas menonton tadi, saya pun kadang ikut “ger-geran” melihat candaan
yang dibawakan oleh Srimulat.
Tentu
saja saya—atau mungkin ayah saya—hanya melihat karier mereka melalui kotak kaca
tersebut setelah Srimulat ngetop, tidak pada awal perjuangan saat bagaimana
mereka harus berkeliling dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya seperti
pada awal-awal mentas. Itu pun saya tonton setelah ketika Srimulat sempat bubar
pada tahun 1989, sebelum akhirnya mereka reuni lagi dan tampil di Indosiar.
Tetapi yang saya yakin tak berubah ditambah melihat video-video lawasnya,
dagelan yang mereka bawakan tetap beraroma Jawa Tengah pada saat mereka masih
berkeliling—mungkin karena faktor itu pula yang membuat keluarga saya begitu
menyukainya. Bahkan ketika keluarga kami pada saat lebaran dan pulang kampung
ke Yogyakarta misalnya, keluarga besar kami malah nonton bareng acara tersebut
di rumah almarhum kakek saya.
Ketika
saya yang sudah tumbuh besar ini mencoba mengingat-ingat lagi dan mencoba
membuka beberapa literatur tentang grup lawak legendaris itu, saya langsung
setuju dengan feel yang muncul, yang
dulu sempat saya rasakan pada dagelan Srimulat. Dalam guyonan yang mereka
bawakan terdapat corak khas, seperti sifat ketradisionalan mereka yang kental,
seperti perwujudan sebuah subkultur jawa dengan patron yang antik.
Yang
saya ingat lagi, Srimulat pasti menggunakan set ruang tengah keluarga, yang
juga pembahasan atau dagelan yang mereka bawakan kebanyakan berpusar pada
masalah keluarga. Selalu ada seseorang yang membawa serbet di bahu, yang
berarti ia tengah memerankan peran sebagai pembantu rumah tangga. Selalu ada
seseorang yang membaca koran dengan serius di ruangan itu, yang berarti ia
tengah memerankan peran sebagai ayah di dalam keluarga.
Lewat
televisi atau media lainnya, mereka—juga dengan grup lawak lainnya—berusaha
membuat penonton ha-ha-hi-hi, di tengah pemerintahan orde baru yang kuat dengan
warna kepemimpinan yang kadang membuat gelisah. Pada keadaan yang tak bebas dan
tertekan itu masyarakat dibuat senyum. Tetapi Srimulat dapat lebih bernapas
lega—beda dengan Warkop misalnya—karena selain guyonan mereka yang hampir tak
pernah menyerempet dengan masalah politik, mereka sendiri pun dekat dengan
kalangan militer Indonesia. Di web resmi Srimulat disebutkan bahwa Almarhum
Triman pernah bertugas sebagai Sersan Mayor di Kodam V Brawijaya Surabaya.
Tessy juga pernah menjadi seorang Marinir KKO yang ikut dalam pembebasan Irian
Barat di era 60-an, dan Pak Bendot pernah menjadi seorang tentara. Apalagi
Srimulat sering diundang untuk Presiden Soeharto saat itu untuk bermain di
Cendana.
Lawak Zaman Dahulu
Frans
Sartono dalam buku Main-main Jadi Bukan
Main mengelompokkan Srimulat sebagai grup lawak golongan lama yang sering
melontarkan lawakan yang berangkat dari kegagapan sosial. Ia beranggapan,
lawakan yang berangkat dari kegagapan sosial itu masih banyak dilontarkan
pelawak dan masih banyak yang tertawa. Masalahnya, sampai kapan tawa itu
terdengar di tengah kondisi masyarakat yang berubah cepat.
Pada
generasi saya (sering disebut milenials) mungkin hanya sedikit yang mengenal
Basiyo, Kwartet Jaya, Bagyo, dan Srimulat. Saya termasuk di dalamnya. Saya
hanya mengenal Srimulat di era yang bisa dibilang era terakhir bagi mereka, dan
untuk grup lainnya, saya hanya tahu nama dan foto—tak lagi melihat mereka aktif
manggung. Tetapi memang belakangan saya coba mengunduh rekaman suara Basiyo
yang diupload para penggemarnya lewat dunia maya.
Mengenai
pola pembawaan dagelan, Mamiek Prakoso dalam suatu wawancara yang saya lihat di
televisi pernah mengatakan, Srimulat mau tak mau harus bertransformasi
mengikuti perkembangan zaman agar tak tergilas dengan roda zaman itu sendiri.
Pada
Main-main Jadi Bukan Main, Tarzan,
yang juga salah satu anggota Srimulat, mengaku harus banyak belajar mengenal
segmen penonton baru. Pelawak yang berangkat dari kultur tobong-bedeng yang
digunakan untuk pertunjukan tradisional harus berhadapan dengan panggung yang
lebih besar bernama televisi yang berskala nasional. Masalah sosial ekonomi dan
kultural dari masyarakat agraris yang biasa menjadi bahan guyonan di pentas
lawak tradisional kini hanya menjadi bagian lawakan. Mereka harus melakukan
transformasi materi lawakan agraris untuk masyarakat industri modern yang lebih
kompleks. Ia menyadari keterbatasan pendidikan formalnya, dan untuk itu dia
terbuka terhadap hal baru. Misalnya dengan banyak membaca berita tentang
berbagai aspek kehidupan. Membaca berita masalah hukum atau kedokteran, baginya
akan berguna sebagai pengetahuan pribadi, selain bisa juga menjadi amunisi di
pentas lawak. “Kami memang dituntut untuk belajar dari keadaan ini. Tapi, pada
akhirnya yang bisa menghasilkan tawa itu adalah mereka yang tanggap dengan
situasi. Kami yang berasal dari pelawak tradisional ini menang di jam terbang
yang terlatih untuk tanggap. Saya misalnya, sering berlagak sok pinter tapi
keliru dan gerr..,” kata Tarzan. Jam terbang dan bakat diperlukan. Akan tetapi
menurut Us Us, untuk menghadapi industri hiburan yang terus berkembang, pelawak
harus mau banyak belajar soal ilmu pemanggungan. Spontanitas, kata pelawak dari
grup D’Bodor itu, tetap diperlukan karena tanpa kemampuan tersebut pelawak akan
terlihat kaku, tidak responsif dengan reaksi audiens. “Pelawak juga perlu
naskah, agar tidak stagnan dan terhindar dari pengulangan materi. Kita
gabungkan naskah dengan kemampuan improvisasi.” (Sartono, 2010: 246)
Setelah
sempat mati suri, kini memang Srimulat kembali bisa kita saksikan di Indosiar.
Tetapi yang saya rasakan—walaupun kadang saya tetap ngakak—atmosfer khas dari
Srimulat yang dulu saya tonton amat jauh berkurang. Seperti ada nuansa yang
banyak hilang dalam guyonan-guyonan mereka. Beberapa personil Srimulat pun
banyak kita temui berkarir secara personal. Contonya Tukul Arwana yang beberapa
tahun terakhir menjadi host fenomenal
acara Empat Mata yang kemudian
berubah nama menjadi Bukan Empat Mata.
Nunung Srimulat juga kini aktif bermain dalam Opera van Java yang hampir tiap malang tayang di Trans 7 prime time. Mungkin juga nuansa-nuansa
yang hilang yang saya rasakan itu timbul lebih karena saya tak menyaksikannya
lagi dengan orang tua, karena situasi yang berubah cepat. Saya sudah tumbuh
besar dan menuntut ilmu di negeri orang, orangtua saya juga sibuk dengan
pekerjaannya. Zaman melangkah cepat.
Pelawak-pelawak “Intelek”
Kemudian
muncul grup lawak legendaris yang disebut Arswendo Atmowiloto pelawak dari “generasi
cakep”, Warkop DKI. Berbeda dengan Srimulat, saya mengamati Warkop bahkan
setelah Warkop menyelesaikan film layar lebar terakhirnya di tahun 1994. Saat
saya masih kecil, saya dan teman-teman menyebut film-film Warkop dengan sebutan
“film Dono” dan mengganggap anggotanya (Dono, Kasino, Indro) adalah pemain film
dan bukan grup lawak. Tetapi jauh dari sebelum hari ini, saya telah mengoleksi
hampir semua rekaman panggungnya entah itu ketika mereka tampil di radio
Prambors—dulu disebut Warkop Prambors—atau rekaman saat mereka tampil di
panggung. Sebutan pelawak “generasi cakep” oleh Arswendo itu lebih karena sisi
penampilan. Akan tetapi, materi lawakan sebagian masih menyisakan bau agraris
warisan generasi Srimulat.
Warkop
sering disebut sebagai grup lawak intelek. Bisa jadi karena mereka adalah
kelompok yang terbentuk di kampus elit Universitas Indonesia, barangkali juga
karena hanya pengaruh wibawa kampusnya. Wahjoe Sardono alias Dono adalah
asisten Selo Soemardjan, guru besar yang amat dihormati. Nanu dan Kasino pun
mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI, sedangkan Rudi Badil anak Antropologi
FS UI. Berbeda dengan rekan-rekan lainnya, Indro adalah mahasiswa Universitas
Pancasila.
Tetapi
jauh sebelum Warkop menikmati ketenaran, grup ini sebetulnya hanya grup yang
doyan genjrang-genjreng di kampus UI ketika ada acara-acara seperti naik
gunung, perpeloncoan, atau acara-acara kampus lainnya. Dari musiklah mereka
mengembangkan segala aspek kekreativitasan melawak. Memang dari koleksi saya
yaitu lagu-lagu parodi yang mereka bawakan, mereka mengemasnya dengan lucu
dengan memelesetkan lirik lagu aslinya menjadi lirik buatan mereka yang ngawur
namun mengocok perut. Tidak heran jika akhirnya band-band masa kini seperti
Teamlo, Sastromunie dan lain-lain mencomot formula yang sama dalam menghibur masyarakat.
Berbeda
dengan Srimulat yang muncul jauh sebelumnya, Warkop saat itu terbentuk di ibu
kota yang tengah bergolak setelah masa peralihan politik yang amat penting dari
Orde Lama ke Orde Baru. Menurut saya, ketika mereka yang masih mahasiswa itu
dan sedang lincah-lincahnya berkreasi lalu mendapatkan keadaan yang penuh tekanan
dari pemerintah, hal itu justru akan menimbulkan kekreativitasan yang muncul
dari sempitnya ruang, dan ternyata dahsyat. Mereka seperti melawan langsung
pemerintah yang beringas dengan menggunakan satir politik bukan untuk
berhadapan langsung, tetapi untuk menyindir halus, dengan cara yang tak
langsung.
Seperti
yang dikatakan Budiarto Shambazy (2010: xxiv) satir politik berbeda dengan
protes politik, karena tidak harus mempunyai agenda-agenda tertentu untuk
mempengaruhi proses politik. Tujuannya semata-mata hanya menghibur, sekalipun
terkadang satir yang ditawarkan sesungguhnya memiliki makna yang sejatinya
dapat mempengaruhi proses politik tersebut. Penguasa yang dikritik biasanya
tidak gerah dengan satir politik, temasuk Orde Baru yang sering menjadi obyek
satir-satir politik Warkop ketika mulai merambah ke media elektronik.
Dalam
Main-main Jadi Bukan Main, disebutkan
satir-satir politik yang sering dibawakan Warkop seperti contohnya memelesetkan
makna ucapan-ucapan Presiden Soeharto atau Jendral Ali Murtopo dengan bahasa
Jawa yang amat kental alias supermedhok. Atau juga mengguyonkan pengumuman
pemerintah tentang “penyesuaian” (makna sebenarnya kenaikan) harga BBM atau
sembilan bahan pokok. Disebutkan, Warkop juga meniru gaya Menteri Pertambangan
Subroto yang memang bergaya unik (antara lain selalu memakai dasi kupu-kupu)
karena mengumumkan kenaikan harga BBM sembari tertawa-tawa di layar TVRI.
Orisinalitas satir Warkop yang lain contohnya mempopulerkan kalimat khas Pak
Harto “jika rakyat menghendaki” menjadi metafora politik yang dipakai untuk menyindir
kekuasaan Orde Baru yang sesungguhnya justru kerap tidak mengikuti kehendak
rakyat.
Tetapi
tetap bagi saya, ajang paling efektif Warkop dalam menyampaikan satir politik
adalah melalui musik. Hal tersebut jugalah tonggak awal mereka yang tadinya hanya
kumpul-kumpul menjadi terkenal. Bahkan lagu yang bisa dikatakan lagu wajib bagi
Mapala, Siborong-borong, adalah
ciptaan Nanu. Bakat bernyanyi Kasino yang sanggup meniru gaya bernyanyi etnis
tionghoa, jawa, sunda, dan lain-lain, amat apik dan mengocok perut.
Saya
jadi berusaha mengingat-ingat, grup mana yang sanggup mengalahkan ketenaran
Warkop karena mangkal di radio, ngobrol dengan luwes dan ceplas-ceplos namun
tetap dengan dialog-dialog intelektual bergaya kampus, lalu terkenal. Saya
sulit mengingatnya. Jangan lupakan film-film Warkop yang masih diputar hingga
kini, apalagi ketika lebaran tiba dan layar kaca kita pasti dinostalgiakan
dengan film-film mereka. Budiarto Shambazy dalam Main-Main Jadi Bukan Main mengatakan jika dibandingkan dengan
Srimulat yang sudah lebih dulu mapan, model Warkop relatif lebih “modern”,
sebab bahan-bahan lawakan Warkop lebih beragam: kehidupan anak muda, musik,
politik, hiburan, seks, gender, ras, dan seterusnya. Sedangkan lawakan Srimulat
lebih terfokus pada “melucu gaya Jawa”. Maka tidak mengherankan bila
diasumsikan bahwa Warkop sesungguhnya telah mengukuhkan diri sebagai pelopor
komedi intelektual seperti yang dimaksudkan di atas.
Batu Lompatan dan Hiburan Masa Kini
Pada
tahun 90-an di Jabodetabek, Radio Suara Kejayaan sangat happening karena radio ini berkecenderungan sebagai radio komedi
yang amat digemari banyak masyarakat. Radio ini memang sekitar sudah ada tahun 60-an,
namun baru pada sekitar 90-an suaranya nyaring terdengar. Warkop yang sudah
mentereng namanya itu pun pernah ikut siaran di Radio ini. Bahkan Radio SK
sendiri sering diplesetkan namanya menjadi Radio Senyum dan Ketawa.
Radio
SK adalah batu lompatan nyata bagi beberapa pelawak yang masih eksis bahkan
setelah radio itu bubar karena kondisi keuangan negara amat buruk tahun 1999.
Radio SK mempopulerkan banyak nama pelawak dan musisi seperti Bagito, Patrio,
Kiwil, Mucle, Yadi, Ulfa Dwiyanti, Tukul Arwana, Temon, Abdel, Taufik Savalas,
Harry De Pretes, Nugie, Ridho Slank, Denada, bahkan hingga Ricky Jo dan Alfito
Deanova yang kini masih eksis namun jauh dari hingar bingar komedi.
Setelah
Radio SK bubar dan peralihan manajemennnya diberikan pada Hard Rock FM,
lulusan-lulusan Radio SK ini tercium bakatnya oleh banyak stasiun televisi.
Pelawak yang ketika masih menjadi penyiar Radio SK namun juga sudah sering
tampil di televisi nasional mungkin barangkali tak pusing-pusing amat dengan
bubarnya Radio SK. Contohnya seperti Patrio yang digawangi oleh Parto, Akri,
dan Eko. Kita saksikan sendiri bagaimana acara Ngelaba saat itu sangat ngetop, dan saya pun selalu menantikan acara
itu tiap pekan. Bahkan Ngelaba
mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena sanggup tetap
eksis sebagai program top komedi selama 13 tahun. Komeng juga setelah keluar
dari Diamor makin tenar dengan program usilnya yaitu Spontan, bersama Kiwil,
Yadi, Ulfa Dwiyanti, dan Septian Dwi Cahyo.
Tukul
Arwana yang juga penggawa Srimulat pun kini menjadi presenter program Bukan Empat Mata yang sudah beribu-ribu
episode, dan menjadikannya sebagai host
dengan bayaran yang tinggi. Abdel dan Temon juga punya acara komedi situasi di
Global TV bernama Abdel Temon Bukan
Superstar, dan keduanya kini sering tampil menjadi comic di acara-acara stand up
comedy. Denada memilih untuk melanjutkan karirnya sebagai penyanyi dan
Ridho Slank kini menjadi gitaris salah satu band rock papan atas Indonesia,
Slank. Ricky Jo memilih menjadi host
acara olahraga dan Alfito Deanova kini sering kita lihat menjadi presenter
berita di Tv One.
Di
luar Radio SK, kontes-kontes hiburan juga menjadi salah satu pencarian bibit
yang menghasilkan pelawak-pelawak mumpuni. Audisi Pelawak TPI misalnya
menghasilkan Sule dari grup SOS yang kini mentereng dengan program Opera Van Java-nya. Cagur yang
personilnya terdiri dari Denny, Narji, dan Wendy kini juga ngetop lantaran
mengikuti kontes yang dinilai oleh Komeng dan Ulfa Dwiyanti. Cagur pertama kali
eksis di televisi lewat program Chatting:
Canda Itu Penting di TPI yang mempunyai konsep mirip dengan Ngelaba.
Dengan
menyabet sebagai program komedi terbaik selama dua tahun terakhir di Panasonic
Gobel Awards, tentu program Opera van Java (OVJ) yang tayang di Trans 7 tak
bisa disangkal lagi sebagai program komedi yang paling digandrungi saat ini.
Saya ingat ketika pertama kali menyaksikan acara Opera van Java (OvJ) diawal-awal
program itu berjalan, OvJ hanya
tayang satu hari dalam seminggu. Namun secara perlahan-lahan, OvJ kini tampil enam hari dalam
seminggu, seiring dengan ratingnya yang terus naik dan makin disesaki iklan.
Bahkan Trans 7 pada hari minggu menampilkan acara Pas Mantab, yang tiga presenternya adalah pemain Opera van Java.
Opera van Java
sendiri dapat dikatakan sebagai pioneer
acara program hiburan saat ini yang teknik mengisi acaranya menggunakan
improvisasi tanpa menghafal naskah sebelumnya. Program hiburan tanpa naskah ini
kemudian diikuti oleh Pesbukers di
Antv dan Comedy Project di Trans Tv.
Bedanya, Opera van Java tetap
mempertahankan ciri khasnya menggunakan dalang yang diperankan oleh Parto,
sebagai pemandu cerita, dan para sinden yang biasanya menyanyikan lagu-lagu pop
yang “dijawakan”. Para wayang-wayangnya tersebut diisi oleh Sule, Nunung
Srimulat, Andre Taulani (mantan vokalis grup band Stinky) dan Aziz Gagap. Ciri
khas lainnya adalah—ini yang paling saya suka di awal-awal OVJ tayang—Opera van
Java mengangkat cerita-cerita legenda yang sangat populer di masyarakat
Indonesia.
Kepada
Kompas edisi Minggu, 7 Desember 2008, kepala Departemen produksi Trans 7, Andi
Chairil, mengatakan, “Konsepnya memang pewanyangan. Ada dalang, sinden,
gamelan, dan wayang orangnya yang diperankan dengan pemain tetap dan
bintang-bintang tamu. Tapi ceritanya enggak harus cerita rakyat dari Jawa. Yang
menarik dalam acara ini adalah setiap cerita yang akan dimainkan hanya
diketahui Parto, sang Dalang. Setiap cerita yang dimainkan akan kami kemas
dengan cara kekinian. Jadi tidak menafikkan kalau cerita luar seperti Pinokio
akan ada pada salah satu episode.”
Tetapi
terlepas dari kegemerlapan hiburan masa kini yang amat menjanjikan dan
mempunyai banyak segmen-segmen yang dapat dimanfaatkan, saya malah merasa dunia
hiburan jalur lawak di Indonesia berubah menjadi bising, gaduh, dan membuat
saya agak risih. Satu dua kali saya tertawa, tetapi kemudian—mungkin juga
karena faktor frekuensinya yang liar dan tak menimbulkan rasa kangen—saya
merasa lawakan terkini memang kualitasnya kurang dibanding pada tahun 90-an
atau 2000-an awal. Dulu kita kerap disuguhi tema-tema kritik sosial yang tajam,
masalah keluarga, atau ideologinya yang jelas. Tetapi yang saya lihat kini
dunia lawak negeri ini hampir kehilangan jati dirinya. OvJ kini mulai membosankan karena dipenuhi dengan “jatuh-jatuhan”,
“pukul-pukulan” dengan styrofoam,
atau jokes-jokes garing dan sarkas yang mengganggu. Ini juga didukung dengan
rating OvJ yang walaupun masih dalam
jajaran kelas atas, sudah jarang menempati rating nomer satu menurut survei
yang dibuat oleh vivanews.com sampai maret 2012. Rating OvJ kerap tergeser oleh
Tendangan Si Madun, Fathiyah, Putih Abu-abu, Karunia, Cintaku Full Enggak ½
Setengah, atau Shaun The Sheep.
Saya
angkat topi dengan kelompok-kelompok yang sekarang tengah menyemarakkan
acara-acara stand up comedy atau
komedi tunggal yang memunculkan pembaruan di tengah era lawak yang garing di
negeri ini. Stand up comedy juga
seperti mengajarkan kepada masyarakat untuk menjadi masyarakat yang tidak cepat
sensi. Stand up comedy juga mengangkat
dan menyadarkan bahwa di sekeliling kita banyak hal aneh, rahasia umum yang kerap
membuat kita menganggukkan kepala setuju. Bahkan kini sudah dua televisi yaitu
Metro TV dan Kompas TV yang rutin menanyangkan acara yang bisa dibilang hiburan
alternatif bagi kita yang merasa risih dengan jalur lawak mainstream. Semoga dunia hiburan khususnya dunia lawak di Indonesia
ini sanggup makin berkualitas seiring dengan cepatnya zaman bergerak.
Labels:
API,
Bagito,
Lawak,
Main-main Jadi Bukan Main,
Mamiek,
Ngelaba,
Nunung,
Opera van Java,
Srimulat,
stand up comedy,
Suara Kejayaan,
Sule,
Tarzan,
Tukul,
TVRI,
Us Us,
Warkop
Program Anak Bawang yang Digandrungi
Ketika
dunia pertelevisian—dalam jalur reality
show—di Amerika Serikat tengah berada pada kejenuhan yang mengambang,
beberapa tim yang terdiri dari produser gendut kaya, Mr. Whitaker (Rob Reiner),
broadcast director bervisi jeli
Cynthia Topping (Ellen DeGeneres), dan beberapa orang lainnya, berusaha
melakukan sesuatu untuk menggairahkan jalur itu lagi. Langkahnya adalah,
membuat reality show dengan merekam kehidupan seseorang dengan jujur, dengan
apa adanya, tanpa naskah, tanpa intervensi, tanpa privasi—kecuali ke kamar
mandi—dari orang itu bangun tidur hingga ia tidur lagi.
Di
proses pencarian sang pemeran, dengan mata penuh kagum, Chynthia mendengarkan
Ed Pekurny bercerita tentang kepemudaannya, berjoget dengan gaya ayam yang
mengepakkan sayapnya, dan berbagai hal lain yang membuat Chynthia merasa pemuda
ini akan disukai oleh penonton. Semula tentu saja Mr. Whitaker, bosnya,
mengerenyitkan dahi melihat kelakuan Ed dari video yang diperlihatkan Chynthia.
Tetapi akhirnya Mr. Whitaker manut.
Ed
Pekurny (Matthew McConaughey), karyawan sebuah toko kaset, pemuda biasa dari
San Francisco itu tiba-tiba saja kecebur dalam ketakjuban: semua orang di
sekitarnya meneriaki namanya, mamanya (Sally Kirkland) jadi sering dandan, juga
kakaknya yang nyeleneh, Ray (Woody Harrelson) jadi sering numpang tampang di
kamera, atau bahkan ia akhirnya dapat bertemu dengan ayah kandungnya yang telah
lama berpisah sejak kecil.
Bagaimana
Ed Pekurny bisa seberuntung itu, hanya Tuhan dan cahaya lampu San Francisco
yang bisa menjawab. Peristiwa sinting itu semula mengguncangnya. Dia ingin
membaginya dengan Shari (Jenna Elfman), kekasihnya yang sederhana, kaku,
perempuan yang ingin dikejar-kejar itu. Tetapi Shari lebih terpesona pada Ed
yang dulu, lantaran kehidupan Shari dahulu tak terekspos media. Ia malas ketika
ia tengah menjalankan profesinya sebagai pengantar barang ke suatu rumah
tiba-tiba diceramahi ibu-ibu cerewet yang mengatakan bagaimana seharusnya
menjadi pacar Ed yang baik. Sejak awal kita tahu hubungan mereka akan sulit,
bahkan menjemukan—dengan sikap Shari yang tak luwes.
Ed,
seperti juga para pemuda San Francisco lainnya, adalah lelaki yang apa adanya,
slengean tapi menyenangkan, yang sikap dan perilakunya mengalir begitu saja
seperti air. Mendapatkan bayaran yang besar, dielu-elukan namanya di sebuah
pertandingan hockey, adalah mimpi yang tak terpikirkan sebelumnya. Bahkan
bertemu dengan seorang model cantik bernama Jill (Elizabeth Hurley) yang selalu
membuka pintu apartemennya kapan saja ketika Ed ingin berkunjung. Hubungan
asmara Ed dan Shari terseok-seok menuju jurang.
Ed
percaya ia adalah pria yang baik. Tetapi dengan sedikit saran dari Chynthia,
ada baiknya bila ia sejenak melupakan Shari dan menikmati hubungan tak
seriusnya dengan Jill. Jill memanfaatkan Ed dengan menjadikan ia sebagai alat
pendongkrak karir, Ed dan para sebagian penonton pun tak keberatan dengan sosok
Jill yang kita sama-sama tahu tadi, dan juga karena ia cantik dan tak
neko-neko. Bagi penonton, kehidupan Ed adalah kehidupan yang menyenangkan dan
tentu saja kocak.
Bagi
Ed, tak pernah ada yang klise tentang menjadi terkenal. Semula ia tak ingin
pergi dari sana. Kakinya terus bergerak seperti para penggemar yang
mengejarnya. Tetapi lama-kelamaan akhirnya Ed pening juga. Bukan karena capek karena
selalu harus diikuti oleh sepasukan kameramen, tetapi karena kerisihan
orang-orang yang disayanginya, yang berbeda dengan jalan pikirnya, berbeda
kadar kenyamanannya. Shari, ibunya, ayah tirinya, dan kakaknya, lewat sebuah
kontrak dari True TV yang tak begitu dipahami Ed, kini terusik.
Ed
tak bisa meninggalkan begitu saja pekerjaanya karena sudah terikat kontrak.
Namun lewat sebuah cara yang cerdik, akhirnya ia menemukan cara yang akhirnya
membuat si bos gendut Mr. Whitaker terpaksa membubarkan acara itu.
Menyaksikan
film ini, tentu saja kita akan langsung teringat dengan film serupa—yang jauh
lebih fenomenal—yang setahun lebih dulu ada sebelum Edtv diproduksi, berjudul Truman Show, yang peran utamanya
dilakoni oleh Jim Carrey. Bedanya, Truman (Jim Carrey) tidak mengetahui bahwa
sejak lahir sampai dewasa, ia adalah pemeran sebuah acara tersebut. Orang-orang
di sekitarnya, istrinya, bahkan kota tempat ia tinggal adalah palsu dan Truman
tak tahu bila seluruh orang di dunia ini menyaksikan dirinya.
Dalam
tim yang terdiri dari Mr. Whitaker dan Chyntia serta para awak lainnya, program
merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kegiatan manajemen produksi
televisi. Reality Show adalah salah
satu program di televisi yang menarik minat masyarakat. Maraknya penayangan
program reality show di televisi
menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat. Di beberapa bagian scene Edtv, ditampilkan adegan talkshow
yang membahas reality show yang
dilakukan True TV. Seorang narasumber mengatakan bahwa program itu tidak baik,
kurang pantas, dan kalimat-kalimat negatif lain semacamnya.
Menurut
saya, berdasarkan dari beberapa literatur yang saya pahami, jika dihubungkan
dengan teori kultivasi dan teori pembelajaran sosial, akan terdapat tiga dampak
pada pesan media massa, yaitu dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak
behavioral. Dalam dampak kognitif, pesan pada program Edtv dalam Edtv menggambarkan realitas pemuda San
Francisco kebanyakan saat itu, yaitu mendapatkan gaji yang pas-pasan, slengean,
masih hidup bersama orangtua, dan lain-lain.
Dalam
dampak afektif, pesan yang disampaikan pada program Edtv dalam Edtv berpengaruh pada perasaan emosional
mereka. Seperti kubu yang selalu mendukung kesederhanaan Shari, dan bagaimana
Ed selalu berusaha untuk mengejarnya. Lalu kubu yang selalu gembira ketika
melihat Ed bersama Jill si model cantik, karena tak tahan dengan Shari yang
menurut mereka memuakkan. Bagaimana perselisihan Ed dengan Ray kakaknya yang
merasa dikhianati lantaran diambil pacarnya—sampai-sampai Ray mengeuarkan
sebuah buku berjudul My Brother Pissed On
Me. Belum lagi perasaan emosional penonton ketika mengikuti prahara ibunda
Ed, ayah kandung, dan ayah tirinya yang memilukan. Perjalanan cinta dan
pengkhianatan yang panjang, yang akhirnya terungkap dan terjawab dan bagaimana
Ed sendiri menyikapi itu. Bahkan Chyntia dan kawan-kawan pun sampai menitikkan
air mata. Tanpa sadar khalayak ikut merasa sedih, terharu, dan iba melihat
kehidupan Ed. Tetapi juga amat senang ketika Ed tengah melakukan
kekonyolan-kekonyolan khas yang sering ia lakukan.
Dalam
dampak behavioral, pesan pada program
Edtv dalam Edtv tidak langsung
berpengaruh pada perilaku penonton di kehidupan sehari-hari. Melalui program
ini mereka bisa belajar dari pengalaman hidup Ed yang berasal dari kalangan
yang biasa-biasa saja. Secara umum, dampak pesan media pada program Edtv dalam Edtv yang paling berpengaruh pada
penonton adalah dampak kognitif. Karena melalui program Edtv dalam Edtv, mereka mengetahui keadaan
masyarakat Amerika, khususnya San Frascisco sekitar yang di dalam diri
pemudanya yang kerap ceria namun slengean, terdapat juga hal-hal berat yang
harus ia hadapi.
Coba
kita lihat stasiun televisi kita yang amat banyak menyuguhkan program-program reality show. Saya merasakan dan juga
berdasarkan pengalaman beberapa teman yang terjun langsung dalam bidang itu,
acara reality show kebanyakan jauh
dari nyata dan penuh kepalsuan. Saya mempunyai teman yang pernah dibayar untuk
menjadi pemeran sebuah acara reality show.
Acara tersebut premisnya adalah penginvestigasian diam-diam seseorang, karena
seseorang tersebut ditengarai kerap berbohong/tak transparan dalam perjalanan
kisah kasihnya dengan si pelapor. Alhasil lewat permintaan pelapor itulah, tim
kemudian melakukan penginvestigasiannya, yang mana berarti acarapun dimulai.
Teman saya mengatakan, acara tersebut dilakukan dengan penuh naskah dan
kemampuan akting belaka, tetapi dibuat dengan gaya yang seperti nyata. Acara
reality show jadi tak lagi mengsyikkan karena disusupi kepalsuan, script, dan jauh dari realita itu
sendiri.
Full Effect Theory
adalah teori di mana audiences
(penerima pesan) tidak bisa menghindari peluru yang ditembakan secara tepat
sasaran oleh pengelola media. Teori ini bisa jadi menyimpulkan seolah-olah
pengelola media lebih pintar dari audiences,
sehingga ketika audiences ditembak,
mereka tidak mampu menghindarinya. Contoh teori ini berkembang pada perang
dunia 1-2 (efek propaganda), dan opini media mampu membangun opini publik
secara keseluruhan. Khalayak dianggap pasif dan efek media langsung dan
maksimal.
Limited Effect Theory
menjelaskan, media menghasilkan efek yang terbatas, karena media bukan faktor
tunggal. Audiences bersifat selektif
dalam menerima informasi yang diterimanya, antara menerima atau
mempertimbangkan bahkan menolaknya. Penonton juga memutuskan melalui media mana
ia akan menjalin komunikasinya. Hal ini karena tidak semua orang sama dalam
pemanfaatan media. Cooper dan Jahada mengatakan, “Perspektif selektiflah yang
jauh lebih menentukan dari pengaruh media massa.”
Di
antara dua teori besar di atas, manakah yang akan dipakai dalam melihat reality show? Mungkin dalam beberapa hal
keduanya bisa dipakai sekaligus. Trian H.A mengatakan, “Reality show telah menunjukkan kepada kita segala yang sebelumnya
kita tidak terlalu mau tahu, yaitu perasaan orang (secara nyata) jika diberikan
sesuatu. Kesadaran akhir ini bagi audiences
akan mempengaruhi persepsi tentang situasi orang dalam keadaan tersebut. Dari
persepsi ini, mereka akan melakukan hal seperti menelan mentah-mentah atau
bersikap selektif. Tapi setidaknya, audiences
tidak bisa lari atau menghindar dari peluru jika ia menonton reality show. Saat kemudian ia
melakukannya, maka akan terjadi benturan antara apa yang benar, apa yang kita
anggap benar dan apa yang sedang bekerja.”
Dari
program Edtv dalam Edtv dan
program-program reality show yang ada
di negara kita—terlepas dari palsu atau tidaknya—sebetulnya di situ tersirat
bahwa terjadi perefleksian kejadian sehari-hari di sekitar kita. Yang bahaya
adalah jika pengelola televisi tidak bertanggung jawab atas program yang kurang
baik, yang dapat memperparah kondisi budaya bangsa saat ini. Garin Nugroho
mengemukakan, “Televisi telah menjadi dunia multikanal dalam hidup manusia.
Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih
gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton
televisi dengan motivasi dan perencanaan.” Bahkan program Edtv dalam Edtv, diceritakan sang pemeran Ed
Pekurny mengalami hal yang merugikan dirinya sendiri karena terlalu
dimanfaatkan si bos Mr. Whitaker yang sudah terlanjur makin kaya dan tak peduli
dengan saran baik anak buahnya.
Terlepas
dari teori yang telah dikaitkan di atas, reality
show jelas banyak berkaitan dengan teori lainnya pula, seperti entertainment, yang amat jelas dan gamblang
fungsinya. Lalu social utility, jika
program tersebut amat terkenal dan banyak digunjingkan oleh khalayak, tepatnya
di conversational utility. Lalu hegemonic theory, sebagai dominasi
ideologi palsu atas realitas yang sebenarnya terjadi secara tersamar dan sangat
halus. Atau commercialization, untuk
mengarahkan kawan-kawan media ke ‘jalur aman’.
Reality show..
Inilah program yang berhasil meringkus banyak perhatian dunia, bukan saja
karena peminatnya yang sungguh banyak, tetapi memang kadangkala—terlepas dari
kebenaran atau kepalsuannya—memang cukup asyik, ringan, dan segar untuk
diikuti. Tentu saja penggemar reality
show yang punya cukup kapasitas untuk menerima, dapat memilah dan merasakan
apa dampak yang mereka terima. Edtv, sesungguhnya
menurut saya adalah campuran antara sindiran dan parodi. Mr. Whitaker yang tak
mau mendengarkan kritik orang lain karena terlalu fokus pada keuntungan itu
sungguh persis seperti apa yang kita bayangkan dalam benak kita. Demikian juga
Ed yang bersemangat, kenes dan Chyntia yang cerdas dan baik hati.
Penggemar
berat reality show mesti hati-hati
tentang kenikmatan atau kesedihan yang ada dalam dunia yang bisa jadi rekaan
atau benar-benar nyata itu, karena bisa jadi hilang kontrol dan tak lagi sibuk
memikirkan realita yang ada dalam dunia sendiri.
Saturday, March 17, 2012
Don Asa di Kota Lara
Teriakan
bocah itu menerobos gendang telinga pendengarnya. Penganiayaan yang berlokasi
di lantai 14 di sebuah apartemen lusuh dan menyedihkan itu tetap tak
dihentikan, walaupun bocah itu sudah meminta ampun kepada orang yang juga masih
sama-sama bocah (diketahui, si penganiaya berumur 10 dan 11 tahun). Jelas saja
ia tak bisa melawan, lantaran ia baru berusia 5 tahun. Yang terjadi selanjutnya
adalah, tiba-tiba ia sudah berada di dasar gedung. Bocah itu bernama Eric Morse. Seluruh langit
Chicago mendadak kelam.
18
bulan sebelumnya, di daerah yang sama, ada dua remaja yang ingin menggebrak
kekelabuan gang-gang sempit Chicago dengan cara yang tak lazim dengan
menggunakan media radio, dan banyak yang memandangnya tak tepat. Namun hal itu
pelan-pelan berubah setelah kasus Eric Morse terjadi.
Dua
remaja itu bernama LeAlan Jones (Roderick Pannel) dan Llyod Newman (Brandon
Hammond). Mereka tinggal di daerah kumuh Chicago yang kasar, galak, dan sama
sekali tak menenteramkan. Tetapi di wilayah hitam itu, mereka termasuk salah
dua remaja yang lurus dan baik-baik saja—dibandingkan dengan remaja seusianya.
Namun tetap saja, kalimat “"Ketika saya berusia 10 tahun, saya tahu
tentang narkoba, seks, dan saya tahu semua jenis pistol,” tetap meluncur luwes
dan licin dari mulut Llyod.
Dua
remaja ini sangat tidak ingin jadi pecundang. Mereka tidak ingin menjambret,
mengedarkan narkoba, atau menembak kepala siapapun. Mereka ingin mengubah nasib
dengan memulainya dari hal yang tidak terlalu spektakuler—amat spektakuler bagi
yang lain. Mereka mengetahui kabar bahwa National Public Radio (NPR), lewat
seorang produser bernama David Isay (Josh Charles), mencari dua orang
berketurunan Amerika-Afrika, untuk menjalankan program buku harian audio yang
NPR selenggarakan. Nama program tersebut adalah Ghetto Live 101. Mereka
mengikuti audisi tersebut dan dengan kealamian mereka, dengan mudah diterima. LeAlan
Jones mengatakan bahwa tidak ada yang lebih cocok menjalankan program tersebut
ketimbang mereka.
Tugas
mereka susah-susah gampang. Mereka hanya
merekam pembicaraan mereka sendiri dengan amat jujur dengan melihat, mendengar,
dan merasakan apa yang mereka terima dari kehidupan mereka dan kehidupan
sekitar mereka. Mereka juga melakukan wawancara dengan ibu LeAlan yang sakit
mental dan ayah Lloyd alkoholik. Mereka
merekam teman bengal yang yakin bahwa dia tak akan hidup sepuluh tahun lagi,
bahkan merekam kenakalan mereka sendiri. Mereka banyak memotret
penyakit-penyakit sosial lewat potret suara.
Beberapa
mendukung, namun banyak juga yang menentang. Bahkan kepala sekolah kedua anak
itu mengumbar hal yang dilakukan dua muridnya tersebut di radio oposisi dan
menyebutnya sebagai hal yang menyedihkan. Banyak aral yang menerjang, termasuk
dari dalam diri mereka sendiri. Aktivitas sekolah Llyod tetap tak menunjukkan
tanda-tanda kenaikan—dari hal positif ini—dan bahkan tidak naik kelas. LeAlan
juga mulai terhasut perkataan orang-orang yang menyebut program buku harian
audio itu adalah sebuah pemanfaatan kaum kulit putih. Namun dengan segala upaya yang dilakukan
David, mereka berdua akhirnya sanggup meneruskan dan justru makin semangat dengan
hal yang mereka lakukan. Puncaknya ketika akhirnya program Ghetto Live 101 membawa mereka sebagai penyiar radio terbaik di
Chicago.
Ketika
kasus Eric Morse terjadi di Chicago, media-media profesional lain seperti media
televisi sibuk menyiarkan berita tentang kasus Eric. Dari tayangan-tayangan
televisi yang mereka saksikan, media-media tersebut hanya mengsekpos berita
kematian Eric Morse dan pelakunya yang juga sesama bocah, tidak secara
mendalam, mengapa, dan bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Mereka gundah dan
risih karena media-media itu sebetulnya tidak terlalu paham bagaimana kehidupan
di daerah tersebut.
Berangkat
dari gobar hati itulah, mereka melakukan investigasi untuk mengusut secara
mendalam perihal kasus Eric, dengan bantuan media radio sebagai kendaraan
mereka.
Tidak
dijelaskan di film ini mengapa LeAlan dan Llyod lebih memilih media radio
ketimbang media lain seperti media cetak atau media televisi. Namun lewat
adegan-adegan yang tersuguh, karakter mereka berdua memang banyak bicara dan
blak-blakan. Kita tahu, dibanding media cetak, media radio memiliki beberapa
kelebihan yang tak bisa digondol media cetak.
Keunggulan tersebut di antaranya seperti selintas dengar, penyajian
informasinya lebih cepat dan langsung, dan memungkinkan pendengar radio mengembangkan
imajinasinya sendiri. Ketika hal-hal seperti itu dikemas secara amat apik
(seperti program buku harian audio yang dijalankan NPR), keunggulan media radio
ini akan sukar ditandingi.
LeAlan
dan Llyod sendiri pun bisa jadi memang hanya gemar bercakap-cakap—apalagi
mereka adalah sahabat sejak kecil—yang sebetulnya tak terlalu memusingkan
hal-hal kejurnalistikan. Jurnalistik
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menyangkut
kewartawanan dan persuratkabaran. Dalam
bahasa Inggris dikenal sebagai radio journalism atau broadcast journalism, yang bisa diartikan sebagai proses produksi
berita dan menyebarluaskannya melalui media radio. Dan lewat program Ghetto Live 101, barangkali tanpa sadar, mereka telah berkembang
menjadi jurnalis yang buas, jurnalis yang berkualitas.
Radio
hanya menggunakan suara, berbeda dengan media cetak yang menyuguhi tulisan dan
foto atau media televisi yang menampilkan suara dan gambar. Karena demikian,
konsep menyuarakan segala informasi menjadi dasar penyajian sebuah informasi di
radio. LeAlan dan Llyod menyuarakan segala kekelabuan yang ada di daerah tempat
mereka tinggal. Dan dengan konsep penyuaraan yang baik dan alami, kekelabuan
tersebut berhasil diterima dengan amat baik pula ke telinga para pendengarnya. Konversi
yang sempurna itu akhirnya berubah menjadi pujian dan cibiran. Hal inilah yang
menyebabkan banyak orang mendukung kegiatan mereka, namun di sisi lain banyak
yang menentangnya—karena berbagai faktor, lantaran setiap orang memiliki respon
yang berbeda-beda.
Naskah
informasi untuk radio juga disusun menggunakan bahasa sehari-hari dan bukan bahasa
tulisan. Apabila ini dilanggar, sebetulnya pendengaran pemirsa akan amat
sensitif merasakan tidak tengah mendengar tuturan, melainkan tengah
mendengarkan bacaan. Bahkan dalam program Ghetto
Life 101, LeAlan dan Llyod sama sekali tidak menggunakan naskah.
Yang
dilakukan LeAlan Jones dan Llyod Newman ini termasuk citizen journalism. Memang, dalam Ghetto Life 101 mereka resmi menjadi penyiar radio/wartawan untuk
NPR. Tetapi NPR sendiri memang mencari “orang biasa” yang pandai berbicara,
khusus untuk program buku harian audio ini. Citizen
journalism sendiri adalah konsep yang memungkinkan anggota masyarakat untuk
berperan aktif dalam proses mengumpulkan, melaporkan, menganalisa, dan mendistribusikan
berita dan informasi. Yang membedakannya dengan bentuk collaborative journalism adalah tidak adanya batasan bahwa peliput
berita harus seorang jurnalis profesional, dan inilah hal yang dimaksud NPR
untuk program Ghetto Life 101. Semua
anggota masyarakat bisa menjadi bagian di dalamnya.
Bentuk
citizen journalism yang paling
sederhana adalah komentar pada lipuran berita, artikel, foto atau lainnya yang
menurut J. D. Lasica disebut dengan audience
participation. MetroTV dan TVOne,
stasiun televisi nasional yang menjadikan acara berita sebagai salah satu
andalannya, telah menggunakan bentuk ini. Contohnya adalah MetroTV dengan acara
Suara Anda. Interaktivitasnya
dibangun dengan membuka saluran telepon bagi pemirsa untuk memberikan komentar.
Kontribusi
publik amat luas, bukan hanya sebagai pendengar dan komentator, tetapi sebagai
penyaji berita, namun dalam format yang sederhana dan singkat. Media yang sering
digunakan adalah radio. Di Indonesia, radio seperti Elshinta misalnya,
mengandalkan pendengarnya untuk beberapa muatan berita, terutama traffic report. Media baru semakin
mengambil peranan untuk bentuk ini, dan yang paling happening yaitu media sosial, terutama Facebook dan Twitter. Contoh kecil, saat dulu pengguna Twitter
masih segelintir, akun milik saya hanya digunakan untuk menulis status, dan
melihat status teman-teman saya—dan memang itulah hakikat sesungguhnya dari Twitter. Namun seiring berjalannya waktu, ketika Twitter
makin dikenal, kini banyak yang memanfaatkannya sebagai akun penyaji
informasi/penyumbang informasi. Dan Twitter
adalah media tercepat dalam menyajikan informasi dibandingkan media
manapun. Gempa kecil yang saya rasakan
di Yogyakarta misalnya, dari timeline
Twitter akan langsung dibicarakan bahwa memang barusan terjadi gempa di daerah Jawa
Tengah.
Sajian
liputan citizen journalism bahkan
kerap kali lebih lengkap daripada liputan jurnalis profesional. Dalam kasus
Eric Morse contohnya, media hanya melihat dan membahas kasus Eric Morse sebagai
pemenuhan berita. Sang reporter hanya memberikan kabar yang ala kadarnya. Namun bisa jadi ini juga karena berita yang
harus disajikan oleh media massa atau media televisi begitu banyak, sehingga
kadang sulit untuk ditelaah secara amat mendalam atau hanyut dalam emosional. Mungkin
juga karena media massa terlalu masif membeberkan berita-berita bombastis
lainnya. Namun bagi LeAlan dan Llyod, kasus Eric adalah hentakan keras untuk
mereka. Kejadian kematian Eric Morse terjadi di sekitar tempat tinggal mereka
dan hal ini sangat memacu keduanya untuk berbuat lebih dari apa yang sudah
orang-orang media profesional itu lakukan. Mungkin karena faktor emosional tadi
pula. Di film itu kita dapat saksikan
LeAlan dan Llyod menjamahi seluruh bagian apartemen itu. Mengetuk setiap pintu
kamar penghuni untuk menanyakan bagaimana kronologi, atau apa yang ia tahu
tentang Eric dan kehidupannya.
Dan
ternyata betul, bahwa mereka mendapatkan informasi—yang media profesional tidak
dapatkan—bahwa ternyata dilemparkannya Eric dari atas gedung adalah
ketidaksengajaan. Informasi ini mereka
dapatkan dari salah satu penghuni kamar yang amat mengetahui segala keriuhan
yang biasa terjadi di lantai 14, dan mengetahui tabiat para perusuhnya yang
masih bocah itu. LeAlan dan Llyod pun
menghadiri sidang para terdakwa, dan mewawancarai ayah dari salah satu terdakwa
tersebut. Mereka juga mewawancarai pengacara terdakwa dan sang hakim. Dari
hasil investigasi yang mereka lakukan itu, memang mengerucutkan pada kesimpulan
bahwa kejadian tersebut adalah faktor ketidaksengajaan/tanpa niatan membunuh.
Anak berumur sepuluh tahun, tetaplah anak yang berumur sepuluh tahun. Bukan
seperti kesimpulan media profesional yang mengumbar bahwa ini adalah produk
dari kekerasan di wilayah itu.
Citizen journalism
seringkali menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek
peneliti. Dalam investigasi yang dilakukan LeAlan Jones dan Llyod Newman,
mereka lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi. Hal ini
timbul karena kebutuhan akan informasi yang informan harapkan dapat terpenuhi,
tetapi tetap harus seobjektif mungkin.
Dalam
porsi yang lebih dalam lagi, timbul pertanyaan seperti, apakah bentuk dan media
seperti ini akan sanggup bertahan? Bisa jadi, kuncinya adalah pada keterbukaan,
aktivitas yang dinamis, serta konten yang kredibel dan variatif. Karena
keunggulan citizen journalism adalah
cakupan berita yang sangat luas, sifatnya yang egaliter, dan bahkan
kecepatannya. Tetapi mari kita semua optimis, karena karakter masyarakat yang
beragam dalam kebutuhannya.
Tuesday, September 6, 2011
Kepala Belakang Kiting
“LAMBAT!”
“Bawel.
Aku yakin kelompok lain tak punya anggota secerewet kau!” Adam menangkis
geremengan sinis Athir untuk kesekian kalinya sambil membanjur tubuhnya yang
apak.
“Tunjukkan
respekmu pada anggota yang lain barang secuil! Aku tak mau lagi membersihkan
piring kotor bekas mulut-mulut bernapas sangit.”
“Hei,
waktu masih sepu..,” Tiba-tiba suara peluit menerobos gendang telinga seluruh
penghuni Pondok Cigombong.
Tuyul.
Ucap Adam dalam hati.
“Bila
kita dihukum lagi, kubunuh kau.”
***
Putro
keheranan. Ia diganjar udara dingin yang lebat, padahal pagi ini matahari cukup
terang. Ia bisa melihat uap putih yang daritadi ia embus-embuskan dari
mulutnya. Aromanya pasti luar binasa. Nadhil dan Halim malah tak henti-hentinya
misuh lantaran dipaksa berkonsentrasi pada celananya yang kerapkali kedodoran.
“Permainan
ini dinamakan Titian Kemenangan. Kalian harus meniti seutas tambang itu sampai
ujung, dengan bantuan seutas tambang yang ada di atasnya untuk dipegangi,” ucap
kak Adi, salah seorang fasilitator Pesantren Kilat Cigombong itu.
Wajah
Tholut tak menunjukkan raut sumringah. Ia merasa semua seremonial ini nonsens
dan buang waktu. Ia lebih suka menjajaki petualangan yang lebih alamiah seperti
menelusuri sungai, mendaki gunung, atau menjamah goa-goa kuno yang dihuni
kelelawar. Sementara tak jauh dari kakak fasilitator, Toyok sudah terlihat
menggulung celana panjang kebanggaannya. Kelompok Bilal bin Rabah kali ini
selamat.
***
Aku
menuju toilet dengan pasti. Bukan karena daritadi menahan buang air kecil saat
pelajaran geografi yang mencekam itu. Bukan pula karena ingin merapikan rambut
kriboku yang bisa kutata semena-mena ini. Tapi karena Pandu Gempor.. Ya. Pandu
Gempor. Ia pasti sekarang sudah berada di toilet. Aku bisa merasakan
kehadirannya.
"Pan!"
sapaanku meluncur begitu spontan, "Wuih.."
"Hei,
Ting. Nih.."
"Thanks
ya, Pan. Thanks berat," tanpa kata-kata lagi, segera kumasukkan lembar
uang lima puluh ribuan yang ada di genggamanku ini secepat bajing.
Sudah
beberapa bulan ini Pandu Gempor begitu baik padaku. Tiba-tiba saja, ia sering
merampingkan isi dompetnya untuk dialirkan padaku. Santunkah aku jika menolak
pemberian dari “bos”ku? Bukankah tak baik bila kita menolak pemberian dari
seseorang? Aku pun tak begitu paham apa maksud Pandu Gempor melakukan hal ini.
Tetapi yang pasti, anak gedongan itu, kini sering bergaul denganku, juga
teman-temanku. Aku lupa kapan awal mula kami membiasakan aktivitas ini. Yang
pasti, lama-kelamaan kini dompet keduaku di rumah makin menggelembung. Dan aku
sama sekali tak risih. Hal ini kubuktikan dengan sebuah motor yang berhasil
kugaet dari dealer terdekat.
Dengan
gegas, aku dan Pandu Gempor berjalan tanpa ampun menuju kantin untuk memanjakan
perut. Kulirik, Abi Fathan geleng-geleng kepala menatap aku dan Pandu Gempor
dari lantai dua.
***
Suara
tepuk tangan para anggota kelompok Bilal bin Rabah membahana. Toyok berhasil
menyelesaikan Titian Kemenangan selain dengan gagah dan tangkas, juga dengan
kecepatan yang istimewa. Padahal beberapa menit yang lalu, Nadhil hampir
kehilangan daya hidupnya setelah ia terjatuh dari ketinggian yang mengancam
itu. Mungkin Toyok titisan kera Tumpei, pikir Ariso.
Antrean
calon penjajal Titian Kemenangan pun makin panjang. Tetapi masih ada beberapa
manusia malas yang hanya duduk-duduk di Bale, yang sepertinya tak berminat
mencoba.
Mata
Pandu Gempor lekat-lekat memandang keramaian. Terlihat beberapa murid tengah
asyik terkekeh menertawai temannya yang jatuh dari tambang. Ia juga melihat
beberapa burung pipit bertengger damai di pucuk pohon cemara yang menjulang di
areal Pondok Cigombong yang asri ini. Namun sejauh mata memandang, ia tak
berhasil menemukan keberadaan Kiting. Ia tak ada dalam barisan. Ke manakah
Kiting yang begitu bersemangat dengan permainan-permainan semacam ini? Kiting, i want to talk. Dan, ah.. ternyata ia di
bale.
***
Hari
ini seluruh langit Cigombong sungguh cerah. Sebelum berangkat ke pesantren
kilat ini, dia jujur padaku tentang kumpulan uang yang berhasil menjadi duit
panjer untuk membeli motornya yang baru. Ia belum pernah segembira itu. Namun
akhir-akhir ini, ia jarang menemuiku. Inikah sifat manusia? Tholut bilang,
Kiting sedang masuk angin. Aku tak tahu apakah setelah ia mendapatkan apa yang
diinginkan tiba-tiba ia menjauh? Atau, apakah ia betulan sakit?
***
Pemuda
kaya itu memantapkan kakinya untuk melangkah ke tempat Kiting duduk. Namun,
Kiting terus menundukkan wajahnya, menatap tanah. Ah, tak mungkin sedari tadi
ia tak melihatku, pikir Pandu Gempor.
“Ting..,”
tak terdengar jawaban darinya. Ia benar-benar sudah dekat. “Kiting..”
Kiting akhirnya menaikkan pandangannya sembari tetap mengusap-usap, mencoba mengusir pusing di kepala belakangnya.
“Apaan?”
Kiting akhirnya menaikkan pandangannya sembari tetap mengusap-usap, mencoba mengusir pusing di kepala belakangnya.
“Apaan?”
Inikah
keegoisan itu? Pandu Gempor coba mencerna sebuah nada yang tak nyaman. Ia masih
berdiri, dan sibuk mencari celah untuk duduk di sebelah Kiting.
“Kau,
sakit?”
“Jangan
duduk di sebelahku dulu. Aku pusing.. sumpek,” Kiting merasa pening di
kepalanya makin hebat dan kembali menunduk. Hanya ada mereka berdua.
“Ting..,”
Lagi-lagi
Kiting tak menjawab. Kini lubang hidungnya kembang-kempis.
“Ting,
kau tak berniat mencoba Titian..,” belum sempat Pandu Gempor meneruskan
kalimatnya, ia sudah terjerembab ke tanah. Entah darimana tiba-tiba celana di
sekitaran pinggul Pandu Gempor terdapat bercak coklat kotor bekas sepatu.
Kiting tersadar. Ia menutup bibir dengan telapak tangannya.
****
Labels:
Aditya Mahapradnya,
Cerpen,
Cigombong,
Jakapermai,
Pesantren,
Pesantren Kilat,
Pondok
Tuesday, April 5, 2011
Red Bluff Bay
Sekumpulan
burung sore tampak terlalu damai di cakrawala. Sepertinya mereka masih ingat
cara pulang. Koakan mereka yang rukun di angkasa itu menjadi simfoni yang
menurutku indah. Sesekali aku juga menoleh ke belakang. Ekor mataku menangkap
sinyal kesyahduan dari tiga angsa yang berkitaran mengelilingi kolam dengan
nada suaranya yang fluktuatif. Ingin sekali rasanya pelan-pelan aku ikut mondar-mandir
bersama mereka. Aku ingin menikmati senyapnya air kolam yang meneduhkan itu yang
sepertinya sanggup merontokkan segala laraku begitu saja dan larut dalam
keheningan yang khidmat.
*
Aku
masih belum ingin pulang ke Jakarta. Aku masih ingin menemukan palu godamku
yang paling ampuh itu di sini, untuk meruntuhkan kesenduanku yang belum juga
beranjak. Dan seharusnya Asti menguasai hal itu. Seharusnya Asti belajar dari
kesalahan-kesalahannya melukaiku. Itu jika dia memang mencintaiku. Ia terlalu
pisau. Terlalu dingin bahkan untuk menjadi seorang peluka sekali pun. Aku juga
mungkin keliru terlalu mencintainya. Ia sungguh terlalu lihai sebagai seorang
perenyuh. Beberapa kali ia membuatku kecewa, namun tetap saja entah bagaimana
caranya, tiba-tiba aku memaafkannya. Mungkin begitulah aku menikmati
kesedihanku. Aku bukan seseorang yang hanya ingin berlarut-larut dalam roman
picisan. Aku hanya seorang yang sudah merasa inilah waktu yang tepat untuk
mencari pendamping hidup. Teman-temanku berkata, aku tak punya kekurangan
barang secuil. “Kau adalah manajer muda yang kaya, tampan, berprestasi, dan
mempunyai kekasih yang cantik. Tunggu apa lagi?” Mereka tak tahu, aku punya
sifat bermasalah dalam Asti. Sesuatu yang paling kubenci. Ia terlalu sering
menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, atau
bahkan yang lebih parah; mendua. Bahkan saking kerapnya, aku dan Asti
menganggap hal seperti ini sebagai musuh bersama. Anehnya, aku masih terus
mencintainya.
Beberapa
waktu yang lalu, aku sudah melamarnya. Kami sudah bertunangan dan mempersiapkan
segalanya. Aku ingin, di hari ulang tahunku yang bertepatan dengan malam pergantian
tahun nanti, aku sudah sanggup berbulan madu bersamanya. Bahkan aku telah
mempersiapkan segala keperluan untuk itu dari jauh hari. Aku benar-benar sudah
mempersiapkan segalanya. Aku sudah berusaha membuang jauh segala keburukannya,
segala kekelaman tentangnya yang sempat beberapa kali membuatku goyah. Aku
sudah memercayai hal itu, dan aku selalu berdoa agar tak ada lagi hambatan.
Namun
tiba-tiba, entah bagaimana pada awal Desember ini, segala ketakutanku tentang
sifatnya yang tidak menenteramkan itu kembali muncul ke permukaan. Di
penghujung persiapan kami untuk mengukir asa baru, ia diam-diam mendua dan aku
diam-diam mengetahuinya. Aku sungguh kehabisan cara memaafkannya. Aku seperti
kehilangan segala kemampuanku untuk kembali menyayanginya. Aku kepayahan dan
sepertinya sangat tersaruk-saruk.
*
Aku tak menyadari sudah berjam-jam
aku berada di bangku ini. Orang-orang semakin ramai berdatangan. Terlihat
sebuah mobil bak terbuka membawa beberapa muda-mudi. Mereka turun dari mobil,
melompat dengan antusias dengan segala keceriaan di wajahnya, lengkap dengan
atribut topi dan terompet yang berwarna-warni. Sepasang manula ber-sweater
tebal terlihat di bangku ujung, dengan secangkir minuman yang mengepul dan
beberapa kudapan di meja kayu di hadapannya.
Aku
sekali lagi menoleh ke belakang. Angsa-angsa itu masih saja berenangan ke
sana-ke mari di kolam. Sepertinya Red Bluff Bay sudah siap menghitung mundur.
Akhirnya aku berdiri, mendatangi sebuah stan kue yang tak jauh dari kolam. Aku
memesan dua small eclairs berlapik kertas. Kemudian aku berjalan menuju pinggir
kolam dan merendahkan lututku setengah merangkak. Kuletakkan kue di atas
susunan batu-batu kecil yang rapuh, di sampingku. Kue yang satunya kupotong
kecil dengan jemariku, lalu kusorongkan potongannya ke angsa-angsa itu. Paruh
mereka menyambut, mengunjungi tanganku mematuki kue-kue itu, seperti mematuki
luka. Tak lama kemudian aku melihat letupan cahaya warna-warni yang berkilat-kilat
dan wajah yang tersenyum di permukaan air kolam yang tenang.
Labels:
Aditya Mahapradnya,
Jejakubikel,
Red Bluff Bay
Saturday, March 26, 2011
Arti Sebuah Nilai
Alessandro
Del Piero. Seorang pria, seorang legenda, seorang pemecah rekor dan figure
berkelas yang tak terbantahkan. Tidak ada yang baru di sana. Memang, penggemar
Juventus telah menjadi begitu terbiasa dengan kecemerlangan seorang yang hanya
menerima pujian dengan anggukan dan senyum bijaksana: “Kami tahu, Ale, Anda
seorang jenius dan sesuai dengan apa yang kami harapkan”.
Tapi
terkadang, Ia jauh lebih dari itu semua.
Del Piero bukan hanya pencetak gol berbakat seperti kebanyakan pemain lain yang
akan anda temukan di klub papan atas lain, ia telah—dalam cahaya kisah cintanya
yang panjang dan dekat dengan Nyonya Tua—menjadi simbol dari klub, seorang bandiera (bendera) yang mewujudkan
semangat Juventus.
Tidak
ada yang lebih nyata daripada saat ia mencetak gol kemenangan melawan Brescia
kemarin, finishing indah setelah
sebelumnya menggiring bola dari lingkaran tengah lapangan sampai ke area pinalti
lawan. Meliuk-liuk melewati beberapa pemain bertahan lawan dan melakukan tembakan kaki kiri ke gawang lawan dengan
sempurna.
Namun
yang menarik bukanlah gol ataupun arti penting dari kemenangan (sejujurnya,
mungkin penting, tapi juga mungkin tidak penting setelah hasil buruk di musim
yang medioker ini). Yang menarik adalah selebrasi atau perayaan yang memberikan
perasaan sangat gembira perasaan bangga dan semangat yang memenuhi dada ini.
Bagi saya, secara unik dihubungkan dengan menjadi seorang bianconero.
Siapapun
yang memerhatikan dapat melihat api yang terbakar di mata kapten Juve yang
sambil berlari menuju para penggemar, berteriak dengan sukacita dan bahkan
mungkin lebih dari itu, dengan kekecewaan yang dirasakan oleh semua yang
terlibat dengan klub akhir-akhir ini dan seperti yang biasa dilakukan sang kapten.
Ketika
ia mencapai plexiglass (kaca pembatas
tribun) di depan para penggemar tuan rumah, pada saat yang bersamaan terlihat
rasa bangga dan dengki, ia tidak menunjuk ke penggemar atau membuat gerakan
selebrasi yang konyol seperti kebanyakan hari ini. Tidak. Dia berulang kali
menggedor kaca dengan kedua tangannya! Ia seperti mencoba membangunkan para
penggemar dari kondisi mereka yang depresi, murung dan membuat mereka ingat
bahwa mereka, tidak peduli dalam keadaan apapun, adalah seorang Juventini.
Karena itu semuanya memiliki kewajiban untuk berjuang dan pantang menyerah,
baik yang bermain di lapangan maupun yang sedang menontonnya.
Sorot
mata Alex Del Piero saat ia menatap ke atas, kepada para penggemar yang sore
itu terbagi menjadi dua kelompok: satu
mengeritik manajemen dan klub; dan yang satu berdiri mendukungnya—dan keduanya
kecewa dengan diri mereka sendiri dan satu sama lain. Kapten nampak bertekad
untuk menyatukan klubnya lagi setelah musim yang buruk, memberikan goncangan
kepada setiap orang dan mengangkat semangat yang begitu diperlukan pada saat
krisis.
Bagi
saya itu momen dengan nilai yang tak tertandingi, salah satu yang harus
dihargai oleh semua tifosi. Sebuah sikap yang menghidupkan kegemilangan klub pada
masa lalu serta menyalakan sebuah percikan keyakinan akan masa depan, bahkan
setelah sang kapten tidak lagi ada untuk menumbuhkan keyakinan dalam diri kita
maupun di lapangan.
Aku
bukan lagi seorang remaja yang tidak dapat mengendalikan emosiku, tapi
menyaksikan pengabdian yang luar biasa dari sang Kapten, membuat mata saya basah dan sangat sangat
bangga. Bangga terhadap Ale, bangga terhadap Juventus dan bangga terhadap diri
saya sendiri yang berani mendukung tim ini di masa-masa sulit.
Del
Piero, setidaknya bagi saya, merupakan sumber inspirasi dan seorang tokoh
simbolik yang pengaruhnya tidak sebatas di dalam lapangan sepakbola. Tetapi
dapat mempengaruhi pribadi dan pembawaan saya ke arah yang positif. Dan untuk
itu, saya selamanya akan berhutang budi padanya.
Kesampingkan
semua hal tentang negosiasi nilai kontrak. Melihat ekspresi dan determinasi
yang ditampilkan sang kapten sore itu adalah bukti nyata dari Pinturicchio
untuk terus memberikan kontribusi ke klub kita dan hidup kita tentunya. Inilah
arti sebuah Nilai!
Sumber:
Pondering Calcio: Face Value
Labels:
Alessandro Del Piero,
Bianconeri,
Juventus
Subscribe to:
Posts (Atom)