Tuesday, September 6, 2011

Kepala Belakang Kiting





“LAMBAT!”
“Bawel. Aku yakin kelompok lain tak punya anggota secerewet kau!” Adam menangkis geremengan sinis Athir untuk kesekian kalinya sambil membanjur tubuhnya yang apak.                                   
“Tunjukkan respekmu pada anggota yang lain barang secuil! Aku tak mau lagi membersihkan piring kotor bekas mulut-mulut bernapas sangit.”
“Hei, waktu masih sepu..,” Tiba-tiba suara peluit menerobos gendang telinga seluruh penghuni Pondok Cigombong.                         
Tuyul. Ucap Adam dalam hati.     
“Bila kita dihukum lagi, kubunuh kau.”                                                                          

***

Putro keheranan. Ia diganjar udara dingin yang lebat, padahal pagi ini matahari cukup terang. Ia bisa melihat uap putih yang daritadi ia embus-embuskan dari mulutnya. Aromanya pasti luar binasa. Nadhil dan Halim malah tak henti-hentinya misuh lantaran dipaksa berkonsentrasi pada celananya yang kerapkali kedodoran.
“Permainan ini dinamakan Titian Kemenangan. Kalian harus meniti seutas tambang itu sampai ujung, dengan bantuan seutas tambang yang ada di atasnya untuk dipegangi,” ucap kak Adi, salah seorang fasilitator Pesantren Kilat Cigombong itu.
Wajah Tholut tak menunjukkan raut sumringah. Ia merasa semua seremonial ini nonsens dan buang waktu. Ia lebih suka menjajaki petualangan yang lebih alamiah seperti menelusuri sungai, mendaki gunung, atau menjamah goa-goa kuno yang dihuni kelelawar. Sementara tak jauh dari kakak fasilitator, Toyok sudah terlihat menggulung celana panjang kebanggaannya. Kelompok Bilal bin Rabah kali ini selamat.

***

Aku menuju toilet dengan pasti. Bukan karena daritadi menahan buang air kecil saat pelajaran geografi yang mencekam itu. Bukan pula karena ingin merapikan rambut kriboku yang bisa kutata semena-mena ini. Tapi karena Pandu Gempor.. Ya. Pandu Gempor. Ia pasti sekarang sudah berada di toilet. Aku bisa merasakan kehadirannya.
"Pan!" sapaanku meluncur begitu spontan, "Wuih.."
"Hei, Ting. Nih.."
"Thanks ya, Pan. Thanks berat," tanpa kata-kata lagi, segera kumasukkan lembar uang lima puluh ribuan yang ada di genggamanku ini secepat bajing.
Sudah beberapa bulan ini Pandu Gempor begitu baik padaku. Tiba-tiba saja, ia sering merampingkan isi dompetnya untuk dialirkan padaku. Santunkah aku jika menolak pemberian dari “bos”ku? Bukankah tak baik bila kita menolak pemberian dari seseorang? Aku pun tak begitu paham apa maksud Pandu Gempor melakukan hal ini. Tetapi yang pasti, anak gedongan itu, kini sering bergaul denganku, juga teman-temanku. Aku lupa kapan awal mula kami membiasakan aktivitas ini. Yang pasti, lama-kelamaan kini dompet keduaku di rumah makin menggelembung. Dan aku sama sekali tak risih. Hal ini kubuktikan dengan sebuah motor yang berhasil kugaet dari dealer terdekat.                                                      
Dengan gegas, aku dan Pandu Gempor berjalan tanpa ampun menuju kantin untuk memanjakan perut. Kulirik, Abi Fathan geleng-geleng kepala menatap aku dan Pandu Gempor dari lantai dua.

***

Suara tepuk tangan para anggota kelompok Bilal bin Rabah membahana. Toyok berhasil menyelesaikan Titian Kemenangan selain dengan gagah dan tangkas, juga dengan kecepatan yang istimewa. Padahal beberapa menit yang lalu, Nadhil hampir kehilangan daya hidupnya setelah ia terjatuh dari ketinggian yang mengancam itu. Mungkin Toyok titisan kera Tumpei, pikir Ariso.
Antrean calon penjajal Titian Kemenangan pun makin panjang. Tetapi masih ada beberapa manusia malas yang hanya duduk-duduk di Bale, yang sepertinya tak berminat mencoba.
Mata Pandu Gempor lekat-lekat memandang keramaian. Terlihat beberapa murid tengah asyik terkekeh menertawai temannya yang jatuh dari tambang. Ia juga melihat beberapa burung pipit bertengger damai di pucuk pohon cemara yang menjulang di areal Pondok Cigombong yang asri ini. Namun sejauh mata memandang, ia tak berhasil menemukan keberadaan Kiting. Ia tak ada dalam barisan. Ke manakah Kiting yang begitu bersemangat dengan permainan-permainan semacam ini? Kiting, i want to talk. Dan, ah.. ternyata ia di bale.

***

Hari ini seluruh langit Cigombong sungguh cerah. Sebelum berangkat ke pesantren kilat ini, dia jujur padaku tentang kumpulan uang yang berhasil menjadi duit panjer untuk membeli motornya yang baru. Ia belum pernah segembira itu. Namun akhir-akhir ini, ia jarang menemuiku. Inikah sifat manusia? Tholut bilang, Kiting sedang masuk angin. Aku tak tahu apakah setelah ia mendapatkan apa yang diinginkan tiba-tiba ia menjauh? Atau, apakah ia betulan sakit?

***

Pemuda kaya itu memantapkan kakinya untuk melangkah ke tempat Kiting duduk. Namun, Kiting terus menundukkan wajahnya, menatap tanah. Ah, tak mungkin sedari tadi ia tak melihatku, pikir Pandu Gempor.                             
“Ting..,” tak terdengar jawaban darinya. Ia benar-benar sudah dekat. “Kiting..” 
Kiting akhirnya menaikkan pandangannya sembari tetap mengusap-usap, mencoba mengusir pusing di kepala belakangnya. 
“Apaan?”
            Inikah keegoisan itu? Pandu Gempor coba mencerna sebuah nada yang tak nyaman. Ia masih berdiri, dan sibuk mencari celah untuk duduk di sebelah Kiting.
“Kau, sakit?”                                   
“Jangan duduk di sebelahku dulu. Aku pusing.. sumpek,” Kiting merasa pening di kepalanya makin hebat dan kembali menunduk. Hanya ada mereka berdua.    
“Ting..,”
Lagi-lagi Kiting tak menjawab. Kini lubang hidungnya kembang-kempis.             
“Ting, kau tak berniat mencoba Titian..,” belum sempat Pandu Gempor meneruskan kalimatnya, ia sudah terjerembab ke tanah. Entah darimana tiba-tiba celana di sekitaran pinggul Pandu Gempor terdapat bercak coklat kotor bekas sepatu. Kiting tersadar. Ia menutup bibir dengan telapak tangannya.                 


****