Thursday, January 6, 2011

Maybe Next Time




Aku sudah hafal betul lesung pipitnya ketika ia tersenyum. Ia juga sudah hafal ekspresi wajahku ketika aku melihat senyumnya. Chemistry seperti ini terbentuk dengan sendirinya. Dengannya, entah kenapa aku begitu bahagia, walaupun, aku bukan siapa-siapanya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan semua ini. Aku cuma merasa trauma. Aku takut akan perpisahan. Itulah mengapa, sampai saat ini, aku tidak menyatakan perasaanku padanya.  Mungkin kami berdua sudah saling mengetahui perasaan masing-masing, tetapi sungguh, aku hanya merasa belum sanggup.

Bukannya aku diam saja. Dulu, pernah sempat beberapa kali akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku padanya, tetapi setiap kata-kata itu ingin kutumpahkan begitu saja, otakku langsung dengan otomatis memutar kembali kumpulan-kumpulan memori kelam.

***

Karena itulah, aku memahami dirimu yang belum sanggup menyatakan cintamu kepadaku. Aku tahu, kau bukannya tak berani kembali jatuh cinta. Setiap kali kau ditanya oleh temanmu mengapa tak meresmikan saja hubungan kita lalu mempersunting diriku, kau selalu menjawab masih trauma dengan perpisahan, dan masih  mencoba melawan kelemahanmu itu, dan teman-temanmu akhirnya menerima alasanmu walau ada beberapa yang menyayangkannya. 

Percayalah, hanya aku yang tak percaya dengan alasanmu itu. Hanya aku yang tak percaya dengan alasan perpisahanmu yang cukup masuk akal itu. Aku berani bertaruh, dengan apapun atau siapa saja, kau bukannya takut dengan perpisahan, kau cuma takut kembali aku kecewakan.



Writing Session Tema: Phobia