Showing posts with label Jejakubikel. Show all posts
Showing posts with label Jejakubikel. Show all posts

Tuesday, April 5, 2011

Red Bluff Bay





Sekumpulan burung sore tampak terlalu damai di cakrawala. Sepertinya mereka masih ingat cara pulang. Koakan mereka yang rukun di angkasa itu menjadi simfoni yang menurutku indah. Sesekali aku juga menoleh ke belakang. Ekor mataku menangkap sinyal kesyahduan dari tiga angsa yang berkitaran mengelilingi kolam dengan nada suaranya yang fluktuatif. Ingin sekali rasanya pelan-pelan aku ikut mondar-mandir bersama mereka. Aku ingin menikmati senyapnya air kolam yang meneduhkan itu yang sepertinya sanggup merontokkan segala laraku begitu saja dan larut dalam keheningan yang khidmat.

*

Aku masih belum ingin pulang ke Jakarta. Aku masih ingin menemukan palu godamku yang paling ampuh itu di sini, untuk meruntuhkan kesenduanku yang belum juga beranjak. Dan seharusnya Asti menguasai hal itu. Seharusnya Asti belajar dari kesalahan-kesalahannya melukaiku. Itu jika dia memang mencintaiku. Ia terlalu pisau. Terlalu dingin bahkan untuk menjadi seorang peluka sekali pun. Aku juga mungkin keliru terlalu mencintainya. Ia sungguh terlalu lihai sebagai seorang perenyuh. Beberapa kali ia membuatku kecewa, namun tetap saja entah bagaimana caranya, tiba-tiba aku memaafkannya. Mungkin begitulah aku menikmati kesedihanku. Aku bukan seseorang yang hanya ingin berlarut-larut dalam roman picisan. Aku hanya seorang yang sudah merasa inilah waktu yang tepat untuk mencari pendamping hidup. Teman-temanku berkata, aku tak punya kekurangan barang secuil. “Kau adalah manajer muda yang kaya, tampan, berprestasi, dan mempunyai kekasih yang cantik. Tunggu apa lagi?” Mereka tak tahu, aku punya sifat bermasalah dalam Asti. Sesuatu yang paling kubenci. Ia terlalu sering menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, atau bahkan yang lebih parah; mendua. Bahkan saking kerapnya, aku dan Asti menganggap hal seperti ini sebagai musuh bersama. Anehnya, aku masih terus mencintainya.

Beberapa waktu yang lalu, aku sudah melamarnya. Kami sudah bertunangan dan mempersiapkan segalanya. Aku ingin, di hari ulang tahunku yang bertepatan dengan malam pergantian tahun nanti, aku sudah sanggup berbulan madu bersamanya. Bahkan aku telah mempersiapkan segala keperluan untuk itu dari jauh hari. Aku benar-benar sudah mempersiapkan segalanya. Aku sudah berusaha membuang jauh segala keburukannya, segala kekelaman tentangnya yang sempat beberapa kali membuatku goyah. Aku sudah memercayai hal itu, dan aku selalu berdoa agar tak ada lagi hambatan.

Namun tiba-tiba, entah bagaimana pada awal Desember ini, segala ketakutanku tentang sifatnya yang tidak menenteramkan itu kembali muncul ke permukaan. Di penghujung persiapan kami untuk mengukir asa baru, ia diam-diam mendua dan aku diam-diam mengetahuinya. Aku sungguh kehabisan cara memaafkannya. Aku seperti kehilangan segala kemampuanku untuk kembali menyayanginya. Aku kepayahan dan sepertinya sangat tersaruk-saruk.

*

Aku tak menyadari sudah berjam-jam aku berada di bangku ini. Orang-orang semakin ramai berdatangan. Terlihat sebuah mobil bak terbuka membawa beberapa muda-mudi. Mereka turun dari mobil, melompat dengan antusias dengan segala keceriaan di wajahnya, lengkap dengan atribut topi dan terompet yang berwarna-warni. Sepasang manula ber-sweater tebal terlihat di bangku ujung, dengan secangkir minuman yang mengepul dan beberapa kudapan di meja kayu di hadapannya.


Aku sekali lagi menoleh ke belakang. Angsa-angsa itu masih saja berenangan ke sana-ke mari di kolam. Sepertinya Red Bluff Bay sudah siap menghitung mundur. Akhirnya aku berdiri, mendatangi sebuah stan kue yang tak jauh dari kolam. Aku memesan dua small eclairs berlapik kertas. Kemudian aku berjalan menuju pinggir kolam dan merendahkan lututku setengah merangkak. Kuletakkan kue di atas susunan batu-batu kecil yang rapuh, di sampingku. Kue yang satunya kupotong kecil dengan jemariku, lalu kusorongkan potongannya ke angsa-angsa itu. Paruh mereka menyambut, mengunjungi tanganku mematuki kue-kue itu, seperti mematuki luka. Tak lama kemudian aku melihat letupan cahaya warna-warni yang berkilat-kilat dan wajah yang tersenyum di permukaan air kolam yang tenang.


Friday, December 31, 2010

Ce Crépuscule





Yogyakarta, 1996.

Aku masih digenggam kepedihan.
Sejak dari beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, aku masih dipatuki ketraumaan untuk menjalani suatu hubungan. 
Masih berkelebatan di kepalaku tentang sakitnya dikecewakan. Jujur, aku sudah mencoba berkali-kali untuk mengeleteki perih dan menyulam semangat baru dalam tiap-tiap langkah. Tetapi tetap saja aku belum terlalu kuat dan berjiwa ksatria untuk menendang kekelabuan. Aku masih terlalu lemah. Daya gedorku untuk menyelamatkan jiwa yang tenggelam masih sangat rapuh. 
Aku berpura-pura tegar ketika ia mengucapkan selamat tinggal di Cengkareng. Aku masih ingat, beberapa hari sebelum ia berangkat, kami berdua dengan angkuh bersumpah akan melawan jarak yang terlihat seperti pencuri kecil. Sumpah dalam hal apa pun. Aku berani bertaruh, tiba-tiba ketika itu baju di sekitaran leherku basah. 
Saat itu kami harus berpisah. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Bordeaux, menemani kakaknya yang menerima beasiswa S2 di Université Montesquieu. Ayahnya khawatir bila kakak perempuannya itu tinggal sendirian di negara asing. Oleh karena itu, ia ditugasi menemani, setidaknya kakaknya itu tak sendirian di sana. 
Aku tahu, aku tak bisa menentang keputusan ayahnya. Itu urusan keluarganya. Tetapi yang pasti, aku lebih senang bila ia tetap di sini saja dan orang lainlah yang menggantikan tugas menemaninya kakaknya itu. Hubungan kami sudah terjalin sekitar lima tahun. Seperti ada dinding tebal yang perlahan coba dibangun ketika aku mendengar kabar itu darinya.

***

Walau dengan tertatih-tatih, dan dengan kegetiran yang setiap saat menghinggapi, perlahan, akhirnya aku berhasil membuang jauh segala kekelaman tentangnya. 
Aku masih sering bertemu dengannya, walau tak pernah lagi bertegur sapa. Aku mengajar sastra Indonesia di Universitas Gajah Mada, sedangkan ia mengajar filsafat. Ia kembali pulang ke Yogyakarta, setelah sebelumnya tinggal di Paris dan bercerai dengan suaminya. Aku pun sudah memperjelas keberhasilanku mengubur kekecewaan dengan menikahi seorang perempuan dan dikaruniai seorang anak. 
Aku bersumpah, setiap kali ketika kami berpapasan dan saling tatap, aku melihat kekelabuan paling pekat yang belum pernah aku lihat di dalam matanya.

Monday, December 13, 2010

Bulan Belum Terlalu Tinggi





"Sudah mau pergi lagi, mbak?"
"Sudah, ndak usah ngurusi mbak. Kamu teraweh saja sana, sudah adzan isya. Habis itu belajar jangan lupa."
Mbak Norma memang selalu begitu. Setiap kutanya ke mana akan pergi atau jam berapa akan pulang, pasti akan selalu balik berujar.
Ia memang giat mencari uang. Selain untuk membiayai kontrakan sederhana yang hanya kami tempati berdua ini, ia juga membiayaiku sekolah. 
Kami sudah tak tinggal dengan orangtua. Ayah kami menghilang entah ke mana sejak kami kecil; sedangkan ibu sudah tidak ada. Aku hidup bersama kakakku satu-satunya itu.
"Ini lipstik mu, mbak? Tadi aku nemu di samping lemari."
"Wah pantes, mbak cari-cari daritadi kok ndak ada. Lipstik siapa lagi kalau bukan punyaku, toh?"
"Yowes ini, ayo mbak buru-buru. Orang-orang sudah pada berangkat, nanti aku telat teraweh."
"Yowes, nanti kalo kamu sudah pulang teraweh, langsung kunci pintunya."
Kami memang punya kunci rumah masing-masing. Kadang, ketika aku sudah tidur malam hari, ia baru pulang. Atau ketika ia tidur siang, aku baru pulang sekolah. Karena itulah, kami menduplikat kunci rumah untuk memudahkan satu sama lain masuk rumah ketika pintu terkunci.
Aku dan mbak Norma kemudian melangkahkahkan kaki, berjalan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, kami berpisah.

Aku melenggang ke masjid dengan tenang, sementara ia sudah menghilang di depan gang.


Sunday, December 12, 2010

Tampak Seperti Apa?





“Emang cukup, pak, penghasilannya buat sehari-sehari?”
“Yaa dicukup-cukupin aja, mas..”
“Hoo..”
Pemuda itu terus merapikan rambutnya. Sesekali ia mengisap rokoknya dalam-dalam sambil melihat wajahnya di cermin, yang mulai tampak berminyak dan mengumal akibat polusi ibu kota yang jahanam.
“Mas sendiri mau ke mana? Nggak kesiangan jam segini baru mau ngantor?”
“Ya maunya sih gitu pak, ngantor.  Saya udah lulus sarjana dari enam bulan yang lalu, tapi masih luntang-lantung gini, belum dapet-dapet kerjaan.”
“Hoo..”
Bapak itu masih memperhatikan gelagat pemuda tersebut. Dalam hatinya ia bergumam, yang sarjana saja susah dapat kerja, apalagi dirinya yang hanya tamatan SMP.
“Terus, kenapa bapak milih jualan cermin di depan gedung DPR gini?”

“Yaa, biar beliau-beliau itu pada mampir, paling tidak untuk sekadar ngaca.”