Saturday, June 16, 2012

Program Anak Bawang yang Digandrungi




Ketika dunia pertelevisian—dalam jalur reality show—di Amerika Serikat tengah berada pada kejenuhan yang mengambang, beberapa tim yang terdiri dari produser gendut kaya, Mr. Whitaker (Rob Reiner), broadcast director bervisi jeli Cynthia Topping (Ellen DeGeneres), dan beberapa orang lainnya, berusaha melakukan sesuatu untuk menggairahkan jalur itu lagi. Langkahnya adalah, membuat reality show dengan merekam kehidupan seseorang dengan jujur, dengan apa adanya, tanpa naskah, tanpa intervensi, tanpa privasi—kecuali ke kamar mandi—dari orang itu bangun tidur hingga ia tidur lagi.

Di proses pencarian sang pemeran, dengan mata penuh kagum, Chynthia mendengarkan Ed Pekurny bercerita tentang kepemudaannya, berjoget dengan gaya ayam yang mengepakkan sayapnya, dan berbagai hal lain yang membuat Chynthia merasa pemuda ini akan disukai oleh penonton. Semula tentu saja Mr. Whitaker, bosnya, mengerenyitkan dahi melihat kelakuan Ed dari video yang diperlihatkan Chynthia. Tetapi akhirnya Mr. Whitaker manut.

Ed Pekurny (Matthew McConaughey), karyawan sebuah toko kaset, pemuda biasa dari San Francisco itu tiba-tiba saja kecebur dalam ketakjuban: semua orang di sekitarnya meneriaki namanya, mamanya (Sally Kirkland) jadi sering dandan, juga kakaknya yang nyeleneh, Ray (Woody Harrelson) jadi sering numpang tampang di kamera, atau bahkan ia akhirnya dapat bertemu dengan ayah kandungnya yang telah lama berpisah sejak kecil.

Bagaimana Ed Pekurny bisa seberuntung itu, hanya Tuhan dan cahaya lampu San Francisco yang bisa menjawab. Peristiwa sinting itu semula mengguncangnya. Dia ingin membaginya dengan Shari (Jenna Elfman), kekasihnya yang sederhana, kaku, perempuan yang ingin dikejar-kejar itu. Tetapi Shari lebih terpesona pada Ed yang dulu, lantaran kehidupan Shari dahulu tak terekspos media. Ia malas ketika ia tengah menjalankan profesinya sebagai pengantar barang ke suatu rumah tiba-tiba diceramahi ibu-ibu cerewet yang mengatakan bagaimana seharusnya menjadi pacar Ed yang baik. Sejak awal kita tahu hubungan mereka akan sulit, bahkan menjemukan—dengan sikap Shari yang tak luwes.

Ed, seperti juga para pemuda San Francisco lainnya, adalah lelaki yang apa adanya, slengean tapi menyenangkan, yang sikap dan perilakunya mengalir begitu saja seperti air. Mendapatkan bayaran yang besar, dielu-elukan namanya di sebuah pertandingan hockey, adalah mimpi yang tak terpikirkan sebelumnya. Bahkan bertemu dengan seorang model cantik bernama Jill (Elizabeth Hurley) yang selalu membuka pintu apartemennya kapan saja ketika Ed ingin berkunjung. Hubungan asmara Ed dan Shari terseok-seok menuju jurang.

Ed percaya ia adalah pria yang baik. Tetapi dengan sedikit saran dari Chynthia, ada baiknya bila ia sejenak melupakan Shari dan menikmati hubungan tak seriusnya dengan Jill. Jill memanfaatkan Ed dengan menjadikan ia sebagai alat pendongkrak karir, Ed dan para sebagian penonton pun tak keberatan dengan sosok Jill yang kita sama-sama tahu tadi, dan juga karena ia cantik dan tak neko-neko. Bagi penonton, kehidupan Ed adalah kehidupan yang menyenangkan dan tentu saja kocak.

Bagi Ed, tak pernah ada yang klise tentang menjadi terkenal. Semula ia tak ingin pergi dari sana. Kakinya terus bergerak seperti para penggemar yang mengejarnya. Tetapi lama-kelamaan akhirnya Ed pening juga. Bukan karena capek karena selalu harus diikuti oleh sepasukan kameramen, tetapi karena kerisihan orang-orang yang disayanginya, yang berbeda dengan jalan pikirnya, berbeda kadar kenyamanannya. Shari, ibunya, ayah tirinya, dan kakaknya, lewat sebuah kontrak dari True TV yang tak begitu dipahami Ed, kini terusik.

Ed tak bisa meninggalkan begitu saja pekerjaanya karena sudah terikat kontrak. Namun lewat sebuah cara yang cerdik, akhirnya ia menemukan cara yang akhirnya membuat si bos gendut Mr. Whitaker terpaksa membubarkan acara itu.

Menyaksikan film ini, tentu saja kita akan langsung teringat dengan film serupa—yang jauh lebih fenomenal—yang setahun lebih dulu ada sebelum Edtv diproduksi, berjudul Truman Show, yang peran utamanya dilakoni oleh Jim Carrey. Bedanya, Truman (Jim Carrey) tidak mengetahui bahwa sejak lahir sampai dewasa, ia adalah pemeran sebuah acara tersebut. Orang-orang di sekitarnya, istrinya, bahkan kota tempat ia tinggal adalah palsu dan Truman tak tahu bila seluruh orang di dunia ini menyaksikan dirinya.

Dalam tim yang terdiri dari Mr. Whitaker dan Chyntia serta para awak lainnya, program merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kegiatan manajemen produksi televisi. Reality Show adalah salah satu program di televisi yang menarik minat masyarakat. Maraknya penayangan program reality show di televisi menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat. Di beberapa bagian scene Edtv, ditampilkan adegan talkshow yang membahas reality show yang dilakukan True TV. Seorang narasumber mengatakan bahwa program itu tidak baik, kurang pantas, dan kalimat-kalimat negatif lain semacamnya.

Menurut saya, berdasarkan dari beberapa literatur yang saya pahami, jika dihubungkan dengan teori kultivasi dan teori pembelajaran sosial, akan terdapat tiga dampak pada pesan media massa, yaitu dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak behavioral. Dalam dampak kognitif, pesan pada program Edtv dalam Edtv menggambarkan realitas pemuda San Francisco kebanyakan saat itu, yaitu mendapatkan gaji yang pas-pasan, slengean, masih hidup bersama orangtua, dan lain-lain.

Dalam dampak afektif, pesan yang disampaikan pada program Edtv dalam Edtv berpengaruh pada perasaan emosional mereka. Seperti kubu yang selalu mendukung kesederhanaan Shari, dan bagaimana Ed selalu berusaha untuk mengejarnya. Lalu kubu yang selalu gembira ketika melihat Ed bersama Jill si model cantik, karena tak tahan dengan Shari yang menurut mereka memuakkan. Bagaimana perselisihan Ed dengan Ray kakaknya yang merasa dikhianati lantaran diambil pacarnya—sampai-sampai Ray mengeuarkan sebuah buku berjudul My Brother Pissed On Me. Belum lagi perasaan emosional penonton ketika mengikuti prahara ibunda Ed, ayah kandung, dan ayah tirinya yang memilukan. Perjalanan cinta dan pengkhianatan yang panjang, yang akhirnya terungkap dan terjawab dan bagaimana Ed sendiri menyikapi itu. Bahkan Chyntia dan kawan-kawan pun sampai menitikkan air mata. Tanpa sadar khalayak ikut merasa sedih, terharu, dan iba melihat kehidupan Ed. Tetapi juga amat senang ketika Ed tengah melakukan kekonyolan-kekonyolan khas yang sering ia lakukan.

Dalam dampak behavioral, pesan pada program Edtv dalam Edtv tidak langsung berpengaruh pada perilaku penonton di kehidupan sehari-hari. Melalui program ini mereka bisa belajar dari pengalaman hidup Ed yang berasal dari kalangan yang biasa-biasa saja. Secara umum, dampak pesan media pada program Edtv dalam Edtv yang paling berpengaruh pada penonton adalah dampak kognitif. Karena melalui program Edtv dalam Edtv, mereka mengetahui keadaan masyarakat Amerika, khususnya San Frascisco sekitar yang di dalam diri pemudanya yang kerap ceria namun slengean, terdapat juga hal-hal berat yang harus ia hadapi.

Coba kita lihat stasiun televisi kita yang amat banyak menyuguhkan program-program reality show. Saya merasakan dan juga berdasarkan pengalaman beberapa teman yang terjun langsung dalam bidang itu, acara reality show kebanyakan jauh dari nyata dan penuh kepalsuan. Saya mempunyai teman yang pernah dibayar untuk menjadi pemeran sebuah acara reality show. Acara tersebut premisnya adalah penginvestigasian diam-diam seseorang, karena seseorang tersebut ditengarai kerap berbohong/tak transparan dalam perjalanan kisah kasihnya dengan si pelapor. Alhasil lewat permintaan pelapor itulah, tim kemudian melakukan penginvestigasiannya, yang mana berarti acarapun dimulai. Teman saya mengatakan, acara tersebut dilakukan dengan penuh naskah dan kemampuan akting belaka, tetapi dibuat dengan gaya yang seperti nyata. Acara reality show jadi tak lagi mengsyikkan karena disusupi kepalsuan, script, dan jauh dari realita itu sendiri.

Full Effect Theory adalah teori di mana audiences (penerima pesan) tidak bisa menghindari peluru yang ditembakan secara tepat sasaran oleh pengelola media. Teori ini bisa jadi menyimpulkan seolah-olah pengelola media lebih pintar dari audiences, sehingga ketika audiences ditembak, mereka tidak mampu menghindarinya. Contoh teori ini berkembang pada perang dunia 1-2 (efek propaganda), dan opini media mampu membangun opini publik secara keseluruhan. Khalayak dianggap pasif dan efek media langsung dan maksimal.

Limited Effect Theory menjelaskan, media menghasilkan efek yang terbatas, karena media bukan faktor tunggal. Audiences bersifat selektif dalam menerima informasi yang diterimanya, antara menerima atau mempertimbangkan bahkan menolaknya. Penonton juga memutuskan melalui media mana ia akan menjalin komunikasinya. Hal ini karena tidak semua orang sama dalam pemanfaatan media. Cooper dan Jahada mengatakan, “Perspektif selektiflah yang jauh lebih menentukan dari pengaruh media massa.”

Di antara dua teori besar di atas, manakah yang akan dipakai dalam melihat reality show? Mungkin dalam beberapa hal keduanya bisa dipakai sekaligus. Trian H.A mengatakan, “Reality show telah menunjukkan kepada kita segala yang sebelumnya kita tidak terlalu mau tahu, yaitu perasaan orang (secara nyata) jika diberikan sesuatu. Kesadaran akhir ini bagi audiences akan mempengaruhi persepsi tentang situasi orang dalam keadaan tersebut. Dari persepsi ini, mereka akan melakukan hal seperti menelan mentah-mentah atau bersikap selektif. Tapi setidaknya, audiences tidak bisa lari atau menghindar dari peluru jika ia menonton reality show. Saat kemudian ia melakukannya, maka akan terjadi benturan antara apa yang benar, apa yang kita anggap benar dan apa yang sedang bekerja.”

Dari program Edtv dalam Edtv dan program-program reality show yang ada di negara kita—terlepas dari palsu atau tidaknya—sebetulnya di situ tersirat bahwa terjadi perefleksian kejadian sehari-hari di sekitar kita. Yang bahaya adalah jika pengelola televisi tidak bertanggung jawab atas program yang kurang baik, yang dapat memperparah kondisi budaya bangsa saat ini. Garin Nugroho mengemukakan, “Televisi telah menjadi dunia multikanal dalam hidup manusia. Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton televisi dengan motivasi dan perencanaan.” Bahkan program Edtv dalam Edtv, diceritakan sang pemeran Ed Pekurny mengalami hal yang merugikan dirinya sendiri karena terlalu dimanfaatkan si bos Mr. Whitaker yang sudah terlanjur makin kaya dan tak peduli dengan saran baik anak buahnya.

Terlepas dari teori yang telah dikaitkan di atas, reality show jelas banyak berkaitan dengan teori lainnya pula, seperti entertainment, yang amat jelas dan gamblang fungsinya. Lalu social utility, jika program tersebut amat terkenal dan banyak digunjingkan oleh khalayak, tepatnya di conversational utility. Lalu hegemonic theory, sebagai dominasi ideologi palsu atas realitas yang sebenarnya terjadi secara tersamar dan sangat halus. Atau commercialization, untuk mengarahkan kawan-kawan media ke ‘jalur aman’.

Reality show.. Inilah program yang berhasil meringkus banyak perhatian dunia, bukan saja karena peminatnya yang sungguh banyak, tetapi memang kadangkala—terlepas dari kebenaran atau kepalsuannya—memang cukup asyik, ringan, dan segar untuk diikuti. Tentu saja penggemar reality show yang punya cukup kapasitas untuk menerima, dapat memilah dan merasakan apa dampak yang mereka terima. Edtv, sesungguhnya menurut saya adalah campuran antara sindiran dan parodi. Mr. Whitaker yang tak mau mendengarkan kritik orang lain karena terlalu fokus pada keuntungan itu sungguh persis seperti apa yang kita bayangkan dalam benak kita. Demikian juga Ed yang bersemangat, kenes dan Chyntia yang cerdas dan baik hati.

Penggemar berat reality show mesti hati-hati tentang kenikmatan atau kesedihan yang ada dalam dunia yang bisa jadi rekaan atau benar-benar nyata itu, karena bisa jadi hilang kontrol dan tak lagi sibuk memikirkan realita yang ada dalam dunia sendiri.

No comments: