Saturday, March 17, 2012

Don Asa di Kota Lara





Teriakan bocah itu menerobos gendang telinga pendengarnya. Penganiayaan yang berlokasi di lantai 14 di sebuah apartemen lusuh dan menyedihkan itu tetap tak dihentikan, walaupun bocah itu sudah meminta ampun kepada orang yang juga masih sama-sama bocah (diketahui, si penganiaya berumur 10 dan 11 tahun). Jelas saja ia tak bisa melawan, lantaran ia baru berusia 5 tahun. Yang terjadi selanjutnya adalah, tiba-tiba ia sudah berada di dasar gedung. Bocah  itu bernama Eric Morse. Seluruh langit Chicago mendadak kelam.

18 bulan sebelumnya, di daerah yang sama, ada dua remaja yang ingin menggebrak kekelabuan gang-gang sempit Chicago dengan cara yang tak lazim dengan menggunakan media radio, dan banyak yang memandangnya tak tepat. Namun hal itu pelan-pelan berubah setelah kasus Eric Morse terjadi.

Dua remaja itu bernama LeAlan Jones (Roderick Pannel) dan Llyod Newman (Brandon Hammond). Mereka tinggal di daerah kumuh Chicago yang kasar, galak, dan sama sekali tak menenteramkan. Tetapi di wilayah hitam itu, mereka termasuk salah dua remaja yang lurus dan baik-baik saja—dibandingkan dengan remaja seusianya. Namun tetap saja, kalimat “"Ketika saya berusia 10 tahun, saya tahu tentang narkoba, seks, dan saya tahu semua jenis pistol,” tetap meluncur luwes dan licin dari mulut Llyod.

Dua remaja ini sangat tidak ingin jadi pecundang. Mereka tidak ingin menjambret, mengedarkan narkoba, atau menembak kepala siapapun. Mereka ingin mengubah nasib dengan memulainya dari hal yang tidak terlalu spektakuler—amat spektakuler bagi yang lain. Mereka mengetahui kabar bahwa National Public Radio (NPR), lewat seorang produser bernama David Isay (Josh Charles), mencari dua orang berketurunan Amerika-Afrika, untuk menjalankan program buku harian audio yang NPR selenggarakan. Nama program tersebut adalah Ghetto Live 101.  Mereka mengikuti audisi tersebut dan dengan kealamian mereka, dengan mudah diterima. LeAlan Jones mengatakan bahwa tidak ada yang lebih cocok menjalankan program tersebut ketimbang mereka.

Tugas mereka susah-susah gampang.  Mereka hanya merekam pembicaraan mereka sendiri dengan amat jujur dengan melihat, mendengar, dan merasakan apa yang mereka terima dari kehidupan mereka dan kehidupan sekitar mereka. Mereka juga melakukan wawancara dengan ibu LeAlan yang sakit mental dan ayah Lloyd alkoholik.  Mereka merekam teman bengal yang yakin bahwa dia tak akan hidup sepuluh tahun lagi, bahkan merekam kenakalan mereka sendiri. Mereka banyak memotret penyakit-penyakit sosial lewat potret suara.

Beberapa mendukung, namun banyak juga yang menentang. Bahkan kepala sekolah kedua anak itu mengumbar hal yang dilakukan dua muridnya tersebut di radio oposisi dan menyebutnya sebagai hal yang menyedihkan. Banyak aral yang menerjang, termasuk dari dalam diri mereka sendiri. Aktivitas sekolah Llyod tetap tak menunjukkan tanda-tanda kenaikan—dari hal positif ini—dan bahkan tidak naik kelas. LeAlan juga mulai terhasut perkataan orang-orang yang menyebut program buku harian audio itu adalah sebuah pemanfaatan kaum kulit putih.  Namun dengan segala upaya yang dilakukan David, mereka berdua akhirnya sanggup meneruskan dan justru makin semangat dengan hal yang mereka lakukan. Puncaknya ketika akhirnya program Ghetto Live 101 membawa mereka sebagai penyiar radio terbaik di Chicago.

Ketika kasus Eric Morse terjadi di Chicago, media-media profesional lain seperti media televisi sibuk menyiarkan berita tentang kasus Eric. Dari tayangan-tayangan televisi yang mereka saksikan, media-media tersebut hanya mengsekpos berita kematian Eric Morse dan pelakunya yang juga sesama bocah, tidak secara mendalam, mengapa, dan bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Mereka gundah dan risih karena media-media itu sebetulnya tidak terlalu paham bagaimana kehidupan di daerah tersebut.

Berangkat dari gobar hati itulah, mereka melakukan investigasi untuk mengusut secara mendalam perihal kasus Eric, dengan bantuan media radio sebagai kendaraan mereka.

Tidak dijelaskan di film ini mengapa LeAlan dan Llyod lebih memilih media radio ketimbang media lain seperti media cetak atau media televisi. Namun lewat adegan-adegan yang tersuguh, karakter mereka berdua memang banyak bicara dan blak-blakan. Kita tahu, dibanding media cetak, media radio memiliki beberapa kelebihan yang tak bisa digondol media cetak.  Keunggulan tersebut di antaranya seperti selintas dengar, penyajian informasinya lebih cepat dan langsung, dan memungkinkan pendengar radio mengembangkan imajinasinya sendiri. Ketika hal-hal seperti itu dikemas secara amat apik (seperti program buku harian audio yang dijalankan NPR), keunggulan media radio ini akan sukar ditandingi.
          
LeAlan dan Llyod sendiri pun bisa jadi memang hanya gemar bercakap-cakap—apalagi mereka adalah sahabat sejak kecil—yang sebetulnya tak terlalu memusingkan hal-hal kejurnalistikan.  Jurnalistik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.  Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai radio journalism atau broadcast journalism, yang bisa diartikan sebagai proses produksi berita dan menyebarluaskannya melalui media radio.  Dan lewat program Ghetto Live 101, barangkali tanpa sadar, mereka telah berkembang menjadi jurnalis yang buas, jurnalis yang berkualitas.
           
Radio hanya menggunakan suara, berbeda dengan media cetak yang menyuguhi tulisan dan foto atau media televisi yang menampilkan suara dan gambar. Karena demikian, konsep menyuarakan segala informasi menjadi dasar penyajian sebuah informasi di radio. LeAlan dan Llyod menyuarakan segala kekelabuan yang ada di daerah tempat mereka tinggal. Dan dengan konsep penyuaraan yang baik dan alami, kekelabuan tersebut berhasil diterima dengan amat baik pula ke telinga para pendengarnya. Konversi yang sempurna itu akhirnya berubah menjadi pujian dan cibiran. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang mendukung kegiatan mereka, namun di sisi lain banyak yang menentangnya—karena berbagai faktor, lantaran setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda.
        
Naskah informasi untuk radio juga disusun menggunakan bahasa sehari-hari dan bukan bahasa tulisan. Apabila ini dilanggar, sebetulnya pendengaran pemirsa akan amat sensitif merasakan tidak tengah mendengar tuturan, melainkan tengah mendengarkan bacaan. Bahkan dalam program Ghetto Life 101, LeAlan dan Llyod sama sekali tidak menggunakan naskah.
           
Yang dilakukan LeAlan Jones dan Llyod Newman ini termasuk citizen journalism. Memang, dalam Ghetto Life 101 mereka resmi menjadi penyiar radio/wartawan untuk NPR. Tetapi NPR sendiri memang mencari “orang biasa” yang pandai berbicara, khusus untuk program buku harian audio ini. Citizen journalism sendiri adalah konsep yang memungkinkan anggota masyarakat untuk berperan aktif dalam proses mengumpulkan, melaporkan, menganalisa, dan mendistribusikan berita dan informasi. Yang membedakannya dengan bentuk collaborative journalism adalah tidak adanya batasan bahwa peliput berita harus seorang jurnalis profesional, dan inilah hal yang dimaksud NPR untuk program Ghetto Life 101.  Semua anggota masyarakat bisa menjadi bagian di dalamnya.
     
Bentuk citizen journalism yang paling sederhana adalah komentar pada lipuran berita, artikel, foto atau lainnya yang menurut J. D. Lasica disebut dengan audience participation.  MetroTV dan TVOne, stasiun televisi nasional yang menjadikan acara berita sebagai salah satu andalannya, telah menggunakan bentuk ini. Contohnya adalah MetroTV dengan acara Suara Anda. Interaktivitasnya dibangun dengan membuka saluran telepon bagi pemirsa untuk memberikan komentar.

Kontribusi publik amat luas, bukan hanya sebagai pendengar dan komentator, tetapi sebagai penyaji berita, namun dalam format yang sederhana dan singkat. Media yang sering digunakan adalah radio. Di Indonesia, radio seperti Elshinta misalnya, mengandalkan pendengarnya untuk beberapa muatan berita, terutama traffic report. Media baru semakin mengambil peranan untuk bentuk ini, dan yang paling happening yaitu media sosial, terutama Facebook dan Twitter.  Contoh kecil, saat dulu pengguna Twitter masih segelintir, akun milik saya hanya digunakan untuk menulis status, dan melihat status teman-teman saya—dan memang itulah hakikat sesungguhnya dari Twitter.  Namun seiring berjalannya waktu, ketika Twitter makin dikenal, kini banyak yang memanfaatkannya sebagai akun penyaji informasi/penyumbang informasi.  Dan Twitter adalah media tercepat dalam menyajikan informasi dibandingkan media manapun.  Gempa kecil yang saya rasakan di Yogyakarta misalnya, dari timeline Twitter akan langsung dibicarakan bahwa memang barusan terjadi gempa di daerah Jawa Tengah.

Sajian liputan citizen journalism bahkan kerap kali lebih lengkap daripada liputan jurnalis profesional. Dalam kasus Eric Morse contohnya, media hanya melihat dan membahas kasus Eric Morse sebagai pemenuhan berita. Sang reporter hanya memberikan kabar yang ala kadarnya.  Namun bisa jadi ini juga karena berita yang harus disajikan oleh media massa atau media televisi begitu banyak, sehingga kadang sulit untuk ditelaah secara amat mendalam atau hanyut dalam emosional. Mungkin juga karena media massa terlalu masif membeberkan berita-berita bombastis lainnya. Namun bagi LeAlan dan Llyod, kasus Eric adalah hentakan keras untuk mereka. Kejadian kematian Eric Morse terjadi di sekitar tempat tinggal mereka dan hal ini sangat memacu keduanya untuk berbuat lebih dari apa yang sudah orang-orang media profesional itu lakukan. Mungkin karena faktor emosional tadi pula.  Di film itu kita dapat saksikan LeAlan dan Llyod menjamahi seluruh bagian apartemen itu. Mengetuk setiap pintu kamar penghuni untuk menanyakan bagaimana kronologi, atau apa yang ia tahu tentang Eric dan kehidupannya.

Dan ternyata betul, bahwa mereka mendapatkan informasi—yang media profesional tidak dapatkan—bahwa ternyata dilemparkannya Eric dari atas gedung adalah ketidaksengajaan.  Informasi ini mereka dapatkan dari salah satu penghuni kamar yang amat mengetahui segala keriuhan yang biasa terjadi di lantai 14, dan mengetahui tabiat para perusuhnya yang masih bocah itu.  LeAlan dan Llyod pun menghadiri sidang para terdakwa, dan mewawancarai ayah dari salah satu terdakwa tersebut. Mereka juga mewawancarai pengacara terdakwa dan sang hakim. Dari hasil investigasi yang mereka lakukan itu, memang mengerucutkan pada kesimpulan bahwa kejadian tersebut adalah faktor ketidaksengajaan/tanpa niatan membunuh. Anak berumur sepuluh tahun, tetaplah anak yang berumur sepuluh tahun. Bukan seperti kesimpulan media profesional yang mengumbar bahwa ini adalah produk dari kekerasan di wilayah itu. 

Citizen journalism seringkali menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek peneliti. Dalam investigasi yang dilakukan LeAlan Jones dan Llyod Newman, mereka lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.  Hal ini timbul karena kebutuhan akan informasi yang informan harapkan dapat terpenuhi, tetapi tetap harus seobjektif mungkin.

Dalam porsi yang lebih dalam lagi, timbul pertanyaan seperti, apakah bentuk dan media seperti ini akan sanggup bertahan? Bisa jadi, kuncinya adalah pada keterbukaan, aktivitas yang dinamis, serta konten yang kredibel dan variatif. Karena keunggulan citizen journalism adalah cakupan berita yang sangat luas, sifatnya yang egaliter, dan bahkan kecepatannya. Tetapi mari kita semua optimis, karena karakter masyarakat yang beragam dalam kebutuhannya.

No comments: