“Oper,
setan!”
Suara
kesal salah satu temanku yang tak mendapatkan bola itu menambah ramai suasana
lapangan sekolah kami. Aroma sore mengambang begitu kental, membuat kami
tak ingin cepat-cepat pulang. Ada hal-hal yang lebih mengasyikkan
ketimbang tidur siang atau menonton kartun sore.
Ia
kemudian datang. Dengan potongan rambut nyaris gundul, berbadan tegap, tak
terlalu tinggi, memakai kaos berwarna hijau tentara, dengan bawahan celana training panjang dan mengenakan sepatu
Specs.
“Yak
kumpul,” Perintahnya untuk segera memulai ekstrakurikuler sepakbola sore ini.
Ia
adalah Pak Odik, guru Penjaskes di sekolah yang juga ditunjuk sebagai pelatih
ekstrakulikuler sepakbola. Ia tak sendirian melatih kami. Ada juga pelatih
honorer yang ditunjuk sekolah untuk membantu pekerjaannya bernama Pak Herman
yang berkumis.
Biasanya
sebelum Pak Odik datang ke lapangan, kami menyempatkan diri untuk bermain
gol ganti: hanya menggunakan satu gawang, satu kiper, dan beberapa orang akan berusaha memasukkan bola ke dalam gawang berebutan. Orang yang mencetak
gol akan menjadi kiper.
Kami
bermain dengan cara seperti itu karena kami memang harus berbagi lapangan
dengan para anak-anak yang gemar bermain basket. Satu sisi lapangan kami gunakan
untuk gol ganti, sisi yang lainnya mereka gunakan untuk bermain basket, meski
sebetulnya gawang dan ring basket memang sepasang. Kecuali ekstrakulikuler
sudah dimulai, anak-anak yang bermain basket satu persatu menyingkir, sebagaimana
anak-anak bola menyingkir jika ekstrakulikuler basket dimulai.
“Adit sama Dede bantuin bapak, ambil
peralatan.”
Aku
dan Dede saling menatap. Anak-anak memang suka malas bila diperintah Pak Odik mengangkut
peralatan ektrakulikuler sepakbola karena selain berat dan banyak, gudang penyimpanannya pun jauh,
letaknya berada di dekat kelas lima di lantai atas, tepat di sebelah kelasku. Kali
ini aku dan Dede tentu harus segera menurutinya karena selain tak mungkin menolak,
terlaksananya ekstrakulikuler sepakbola sore itu kini ada di pundak kami.
Tetapi
sebetulnya ada hal lain yang membuat kami sedikit bersemangat. Bila sudah sore,
suasana sekolah kami, apalagi di sekitaran wilayah kelas lima dan kelas enam,
menjadi tampak sedikit menyeramkan. Aura mistis mengapung di udara.
Karena itulah kami jadi ingin sekaligus melihat-lihat suasana sekolah sore
hari. Kami sering mendengar cerita horor dari janitor atau supir jemputan yang memang sudah
lama tinggal di daerah sekitaran sekolah. Maklum, dulu sekolah kami bekas rumah
sakit yang dikelilingi rawa-rawa dan belukar. Tak heran bila Pak Odik pernah
suatu saat bertutur pada kami, “Kalo mau main di sini baca doa dulu, biar nggak
kenapa-kenapa.”
Benar
saja, sudah dua orang teman kami cedera parah. Entah karena memang ada apa-apa atau hanya terlalu beringas bermain. Apalagi
di sekitaran sekolah kami banyak rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Pernah
satu warga bercerita ketika dulu sekolah kami belum dibangun dan masih banyak
ditumbuhi pepohonan, ada seseorang yang malam-malam coba mengambil duren. Ketika duren telah berada di
tangannya, duren itu berubah menjadi kepala manusia.
***
Aku
membawa dua kantung panjang yang setiap kantungnya berisi
lima buah bola. Dede membawa piringan plastik halang rintang dan Pak Odik
membawa pemberat kaki serta peralatan lainnya. Anak-anak di lapangan yang
menunggu kami bertiga, terlihat sedang mendengarkan instruksi Pak Herman.
Menurutku, sebetulnya pihak sekolah tak usah menggunakan jasa Pak Herman karena
aku merasa, dilatih oleh Pak Odik seorang saja sudah lebih dari cukup. Skill, kharisma, taktik dan strategi
serta dan semangat Pak Odik jauh di atas Pak Herman yang terlihat biasa saja di
mataku. Pak Odik juga menjadi wasit resmi PSSI yang tengah merintis karier untuk
menembus liga utama. Tak heran bila para murid mengelu-elukannya.
Tetapi
ada satu kebiasaan tak lumrah Pak Odik yang cukup menyita perhatian dan membedakan
ia dengan guru lainnya: Ia sangat suka menjahili perempuan. Pernah
suatu ketika temanku bernama Ira digangguinya sampai menangis di kelas. Dengan menatap mantap, tepat di depan wajah
Ira, dengan gaya layaknya seorang penyair yang sedang membacakan puisi, Pak Odik
berucap lantang, “Bagaimana bila bapak adalah seorang pencuri! Perampok!
Garong! Pendosa! Pemerkaos!”
Aku
tahu Pak Odik hanya bercanda, tetapi air mata Ira perlahan menetes. Gurat wajah Pak Odik yang sebelumnya cengangas-cengenges,
berubah menjadi panik luar biasa dan langsung berusaha coba menenangkan Ira. Aku
juga tak terlalu paham mengapa Ira menangis. Entah tersayat dengan kata-kata lantang pria itu atau memang mengira Pak Odik adalah seseorang yang sungguh-sungguh berprofesi sebagai yang diucapkan tadi. Aku tak
tahu. Aku cuma tertawa geli melihat kejadian itu.
Tetapi kadangkala ia juga bisa beringas bukan main. Pernah suatu ketika ia sedang mengajar Penjaskes kelas 5A di lapangan. Aku dan teman-temanku yang bukan murid 5A melihat mereka dari gedung lantai dua, bersiap turun karena memang sudah waktunya jam istirahat. Temanku bernama Giri berujar pelan padaku, Gilang, dan Anggit, “Tuh, botak kontol.”
Tetapi kadangkala ia juga bisa beringas bukan main. Pernah suatu ketika ia sedang mengajar Penjaskes kelas 5A di lapangan. Aku dan teman-temanku yang bukan murid 5A melihat mereka dari gedung lantai dua, bersiap turun karena memang sudah waktunya jam istirahat. Temanku bernama Giri berujar pelan padaku, Gilang, dan Anggit, “Tuh, botak kontol.”
Tanpa
otak Anggit langsung berteriak ke bawah sambil menunjuk-nunjuk Giri, “Paaak!!
Dikatain Giri BOTAK KONTOOLL!!”
Tak
ada bapak-bapak lain di situ kecuali Pak Odik dan tentu saja ia merasa
teriakan Anggit itu ditujukan olehnya.
Pak
Odik sontak menengok ke atas dengan tatapan ingin menghancurkan. Dan demi
Tuhan, yang terjadi selanjutnya adalah ia segera berlari meninggalkan anak-anak
5A dengan kecepatan yang gila, menaiki tangga ke arah kami yang ada di
lantai dua!
Dalam
sekejap Pak Odik sudah berada di depan kami. Aku panik tentu saja. Yang
dilakukan Pak Odik selanjutnya adalah menampar keras pipi Giri, melayangkan
tendangan membabi buta, beringas dan brutal. Dan ketika Pak Odik selesai
melancarkan aksinya itu, hanya sepersekian detik saja ia langsung menyodorkan
tangan kanannya agar disambut oleh tangan kanan Giri seraya mengucapkan, “Bapak
minta maaf.”
Hanya
berselang satu detik, lagi-lagi Anggit berceletuk, “Gilang juga, pak!” Pak Odik
segera memutar badannya ke kiri dan tak dinyana menampar jahanam Gilang. Gilang
yang amat kaget ditampar itu tak dapat menahan kekagetannya dengan segera
mengeluarkan kata “anjing” setelah tangan Pak Odik bergerak begitu cepat ke
pipinya. Lagi-lagi Pak Odik langsung menyodorkan tangan kanannya agar disambut
oleh tangan kanan Gilang seraya mengucapkan, “Bapak minta maaf.” Ia tahu, ia
harus minta maaf. Ia tentu memikirkan akibat yang sangat buruk jika telah menghajar
anak murid tetapi tidak minta maaf.
Yang
mencekam adalah, aku tak ingat Gilang memaki Pak Odik dan jika Anggit tiba-tiba
berkata “Adit juga, pak,” maka aku berada dalam masalah sangat besar dan aku besumpah akan menyumpal mulut Anggit dengan sandal. Untungnya hal itu tak terjadi. Anggit
kemudian bertanya kepada Giri akan kondisinya apakah baik-baik saja, sambil
tertawa tentunya, yang segera dibalas Giri dengan acungan jari tengah sambil
mengusap-usap pipinya dengan menangis bercampur tawa. Tai. Itu betul-betul
menit paling surreal selama aku bersekolah.
***
“Yak
cukup latihannya, sekarang bagi tim lima-lima.”
Ah,
inilah saat-saat yang kami nanti. Sebetulnya alasan kami mengikuti
ekstrakurikuler sepakbola ini hanyalah untuk bermain sepakbolanya saja, bukan untuk mempelajari
teknik-teknik sepakbola. Pak Odik pun juga
sepertinya tahu alasan kami mengikuti ekstrakulikuler.
“Langsung
main aja, pak. Enggak usah latian!”
“Enggak.
Kalian gimana mau menang di kejuaraan kalo ngoper aja belom becus.”
***
Tim
yang berisi banyak kakak kelas pun dengan gagah bisa kami kalahkan. Ya, tim
kami yang banyak berisi kelas 5 lebih kuat dari mereka yang kelas 6. Saat kami
bermain, Pak Odik mewasiti kami.
Tapi
bila kebiasaan menjahili perempuannya sudah keluar, akan tampak menjadi pemandangan yang sedikit berbeda.
Teman perempuanku, Mayang, yang memang pulang agak sore, berjalan melewati
pinggir lapangan, menuju ke pagar sekolah karena sudah
dijemput ibunya yang mengendarai Peugeot 206 berwarna merah. Saat masih dalam
langkah Mayang yang hati-hati, Pak Odik berteriak dengan manja dan penuh harap,
“Mayang
mau pulang?? Bapak anterin yaa??”
Mayang
mempercepat langkahnya. Kami pun hanya tertawa dan Pak Odik kembali meniup
peluit.
***
Peluit
panjang ditiup. Suara yang
dihasilkan peluit tiupannya betul-betul nyaring dan amat mirip atau mungkin
sama dengan suara peluit wasit yang biasa kami lihat dan dengar di televisi. Padahal
sore itu ia cuma memimpin pertandingan anak didiknya sendiri. Ia memang
selalu total.
Pedagang-pedagang
makanan dan minuman di luar pagar sekolah satu persatu mulai membereskan
dagangannya dan pulang. Anak-anak kampung yang memang setiap sore menggunakan lapangan
sekolah kami untuk bermain bola, sudah berdatangan. Baru saja ada dua anak
kampung yang dimasukkan Pak Odik ke dalam tong sampah besar di dekat pohon kelapa karena
mereka tak sabar ingin bermain dan masuk ke sekitaran lapangan. Selain tak suka
dihina, ia tak menyukai ketidakdisiplinan.
***
Senja
mulai menguasai hari. Sebelum menyudahi acara ekstrakurikuler hari ini, Pak Odik
memberikan masukan dan wejangan atau apa saja, agar semakin hari kemampuan kami bermain semakin mengkilap. Ia duduk di kursi yang terbuat dari beton di pinggir
lapangan, sementara kami duduk bersila di tanah. Sambil mengulum satu buah
jeruk yang telah dikupas yang dimasukkan langsung satu buah ke dalam mulutnya, Pak
Odik terlihat berwibawa di depan anak-anak ekstrakulikuler di bawah cakrawala menyemburat
oranye yang menambah syahdu kekhidmatan. Sebuah kharisma yang hanya sanggup
dikalahkan oleh Bung Karno.
Belum
sempat ia menyudahi wejangannya, ekor matanya melihat sesuatu di ujung koridor
dekat lapangan di bawah aula. Dua orang berjalan, bergandengan tangan.
Itu Bu Fitri, guru mata pelajaran Al-Quran beserta anak perempuannya yang masih kecil. Ah,
suasananya sudah sangat takzim, amat disayangkan jika Pak Odik tiba-tiba kumat
karena ada perempuan muncul. Bu Fitri memang cantik.
Tetapi
mungkin kali ini Pak Odik berpikiran sama denganku. Ia tak ingin momen penuh
wibawa pada senja ini luntur dan pudar hanya karena menggoda wanita. Sekelebat
berdesir rasa banggaku pada Pak Odik karena bisa sejenak menahan egonya, yang
sebenarnya aku tahu, ia menahannya sekuat tenaga karena sangat hafal dengannya.
Lalu
dengan mata yang mengarah ke Bu Fitri dan anaknya itu, Pak Odik berujar dengan
suara pelan kepada kami,
“Anaknya
lucu, ya.”
“Iya,
pak, lucu."
“Apalagi
ibunya.”
Bekasi,
Jakapermai.
2003
No comments:
Post a Comment