Puff
namanya. Di hadapan perempuan yang mengenakan daster ukuran ekstra besar dengan
rambut dijepit itu, terdapat kotak transparan yang berisi teh dengan
bongkahan-bongkahan es sehingga kotak itu tampak seperti berkeringat. Teh itu
ia aduk menggunakan pengaduknya: gagang panjang dengan ujung seperti gelas
kecil, untuk menuangkan teh itu ke dalam plastik.
Setiap
bel istirahat, Puff tak henti-hentinya mengurus anak-anak sekolah yang
kehausan. Tak hanya teh, ia juga menyediakan beragam jenis minuman saset siap
seduh rasa lemon, jeruk, apel, anggur, melon, dan minuman soda saset imitasi
peniru merek raksasa. Ia juga menyediakan aneka cemilan garing yang dapat
diberi bumbu pedas, manis, atau asin, tergantung selera.
Di
kantin, Puff berbagi lapak satu atap bersama penjual mie ayam yaitu Mbak Dawan.
Anak-anak lebih sering membeli Indomie rebus atau Indomie goreng—yang sebetulnya
juga direbus—ketimbang mie ayam konvensional yang Mbak Dawan tawarkan.
Ini
merupakan strategi yang bagus antara Puff dan Mbak Dawan, karena biaya sewa
lapak per bulan ditanggung bersama dan tentu mereka jadi bayar lebih sedikit.
Di
luar kantin, tetapi masih di sekitaran sekolah, Kumis yang berpostur kurus,
kecil, dan sesuai namanya, berkumis lebat, sibuk melayani anak-anak yang ingin
mengganjal perut. Kumis adalah suami Puff yang berjualan mie goreng—yang sebetulnya
direbus—mie dan makaroni garing berbumbu, dan aneka minuman saset. Dagangannya
hampir sama seperti Puff, bedanya Kumis menggunakan gerobak.
Aku
mengamati, Puff dan Kumis adalah keluarga pedagang paling sukses dan paling
dikenal di sekitar sekolah. Mereka tinggal di Kampung Pulo, sebuah kampung
kecil dekat sekolah, dan memang kebanyakan dari pemukimnya pedagang. Manajemen
dan strategi dagang Puff dan Kumis, apik. Mereka lincah dan pandai melihat
peluang. Pernah suatu waktu, salah satu keluarga di Kampung Pulo mengadakan
tahlilan yang dihadiri cukup banyak orang. Selesai acara, tiba-tiba hujan turun
dengan amat deras dan para tamu tentu tak bisa pulang karena tak membawa payung
sementara mereka tak ingin basah kuyup. Tahu apa yang dilakukan Kumis? Dalam
sekejap ia sudah berada di samping tenda para tamu, membawa dua payung,
menawarkan jasanya.
Anak
mereka yang paling besar sudah selesai berkuliah, sudah menikah, dan sekarang
sudah bekerja. Semua pedagang di sini iri dan takjub pada kesuksesan dan
keharmonisan mereka.
***
Ketika
bel istirahat meraung-raung, tak ada yang lebih dinanti. Bayangkan, sekolah
kami terdiri dari SD dan SMP yang mempunyai ribuan murid. Dan setiap selesai
istirahat, hampir pasti kotak es teh yang dijual seribu rupiah saja per plastik
oleh Puff, kandas, dan ia segera membuat racikan es teh yang baru. Begitu pula
dengan cemilan garing yang habis diborong murid-murid. Itu belum istirahat
kedua.
Sebetulnya,
cemilan garing yang dijual Puff begitu mengkhawatirkan, terutama bumbunya yang
sangat tidak sehat dan tentu berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Namun
Puff dan para murid memang mempersetankan itu. Bagi para murid “yang penting
enak”. Dan bagi Puff tentulah
pundi-pundi. Banyak murid berkelakar ihwal camilan garing berbumbu yang
dijajakan Puff. “Kalo mau masuk ITB, tambahin yang banyak bumbunya!”
Ditemani
kicauan burung-burung gereja dan ayam-ayam kampung yang sibuk mematuki
sisa-sisa nasi di jalan, setiap hari Puff dan Kumis terus menimbun keuntungan
dari hasil berjualan. Mereka tak pernah berhenti mengucap syukur kepada Tuhan
sang pencipta segala. Mereka selalu
berdoa, dan berterima kasih karena masih diberi kesempatan untuk mengais rezeki
yang halal.
Tetapi,
setan tetaplah setan, mengganggu manusia. Pada satu malam, terjadi pertengkaran
yang sungguh dahsyat antara Puff dan Kumis. Teriakan dan suara pecahan benda
pecah belah terdengar dari rumah mereka.
“HEH
APA-APAAN KAMU! ITU PIRING PADA PECAH SEMUA!!”
“MAKANYA
KALO BELI PIRING TUH PIRING KALENG!!”
Ayam-ayam
tetangga kaget dan gaduh mengepak-ngepakkan sayapnya. Warga yang sedang ronda
pun menghentikan permainan catur mereka. Pak RT jelas tak mau berurusan dengan
hal seperti itu. Beberapa ibu-ibu keluar dari rumah dan saling melongo,
bercakap-cakap sambil berbisik, bertanya satu sama lain dan segera dibalas
jawaban tak tahu oleh yang lain. Tetapi ada dari mereka yang menduga,
pertengkaran itu terjadi karena Kumis ketahuan bermain gila dengan janda genit
beranak tiga di Kampung Dua. Yang lainnya mengatakan justru Puff yang bermain
gila dengan bandot tua penjahit jas di Kayuringin. Tapi semua itu cuma desas-desus
dan tak ada yang tahu sebab pasti pertengkaran mereka. Malam terasa begitu
ganjil. Suara teriakan dan benda-benda pecah belah yang pastinya hancur
berkeping-keping masih terus terdengar.
***
“Kau
sudah baikkan?” kata Kumis
“Saya
tak apa-apa,” Puff membalas.
“Tak
apa-apa bagaimana? Bibirmu masih biru. Maafkan aku. Sungguh, aku betul-betul
seperti dirasuki setan malam itu. Dan aku menyesal telah melakukannya padamu.”
“Yang
sudah terjadi biarlah terjadi, sayang. Tugas kita saat ini adalah tetap
berusaha untuk menjaga keluarga ini agar tetap utuh.”
Tiba-tiba
seorang suster masuk ke dalam ruangan, mendorong meja berjalan yang di atasnya
terdapat sebuah nampan dan mangkuk mengepul.
“Pak
Kumis, ini sup ayam. Dihabiskan, ya.”
Bekasi,
Jakapermai.
2006
No comments:
Post a Comment