"Sudah
mau pergi lagi, mbak?"
"Sudah,
ndak usah ngurusi mbak. Kamu teraweh saja sana, sudah adzan isya. Habis itu
belajar jangan lupa."
Mbak
Norma memang selalu begitu. Setiap kutanya ke mana akan pergi atau jam berapa
akan pulang, pasti akan selalu balik berujar.
Ia
memang giat mencari uang. Selain untuk membiayai kontrakan sederhana yang hanya
kami tempati berdua ini, ia juga membiayaiku sekolah.
Kami
sudah tak tinggal dengan orangtua. Ayah kami menghilang entah ke mana sejak
kami kecil; sedangkan ibu sudah tidak ada. Aku hidup bersama kakakku
satu-satunya itu.
"Ini
lipstik mu, mbak? Tadi aku nemu di samping lemari."
"Wah
pantes, mbak cari-cari daritadi kok ndak ada. Lipstik siapa lagi kalau bukan
punyaku, toh?"
"Yowes
ini, ayo mbak buru-buru. Orang-orang sudah pada berangkat, nanti aku telat
teraweh."
"Yowes,
nanti kalo kamu sudah pulang teraweh, langsung kunci pintunya."
Kami
memang punya kunci rumah masing-masing. Kadang, ketika aku sudah tidur malam
hari, ia baru pulang. Atau ketika ia tidur siang, aku baru pulang sekolah. Karena
itulah, kami menduplikat kunci rumah untuk memudahkan satu sama lain masuk
rumah ketika pintu terkunci.
Aku
dan mbak Norma kemudian melangkahkahkan kaki, berjalan. Ketika sampai di sebuah
persimpangan, kami berpisah.
Aku
melenggang ke masjid dengan tenang, sementara ia sudah menghilang di depan
gang.
No comments:
Post a Comment