Yogyakarta,
1996.
Aku
masih digenggam kepedihan.
Sejak
dari beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, aku masih dipatuki ketraumaan
untuk menjalani suatu hubungan.
Masih
berkelebatan di kepalaku tentang sakitnya dikecewakan. Jujur, aku sudah mencoba
berkali-kali untuk mengeleteki perih dan menyulam semangat baru dalam tiap-tiap
langkah. Tetapi tetap saja aku belum terlalu kuat dan berjiwa ksatria untuk
menendang kekelabuan. Aku masih terlalu lemah. Daya gedorku untuk menyelamatkan
jiwa yang tenggelam masih sangat rapuh.
Aku
berpura-pura tegar ketika ia mengucapkan selamat tinggal di Cengkareng. Aku
masih ingat, beberapa hari sebelum ia berangkat, kami berdua dengan angkuh
bersumpah akan melawan jarak yang terlihat seperti pencuri kecil. Sumpah dalam
hal apa pun. Aku berani bertaruh, tiba-tiba ketika itu baju di sekitaran
leherku basah.
Saat
itu kami harus berpisah. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Bordeaux,
menemani kakaknya yang menerima beasiswa S2 di Université Montesquieu. Ayahnya
khawatir bila kakak perempuannya itu tinggal sendirian di negara asing. Oleh
karena itu, ia ditugasi menemani, setidaknya kakaknya itu tak sendirian di sana.
Aku
tahu, aku tak bisa menentang keputusan ayahnya. Itu urusan keluarganya. Tetapi
yang pasti, aku lebih senang bila ia tetap di sini saja dan orang lainlah yang menggantikan
tugas menemaninya kakaknya itu. Hubungan kami sudah terjalin sekitar lima
tahun. Seperti ada dinding tebal yang perlahan coba dibangun ketika aku
mendengar kabar itu darinya.
***
Walau
dengan tertatih-tatih, dan dengan kegetiran yang setiap saat menghinggapi,
perlahan, akhirnya aku berhasil membuang jauh segala kekelaman tentangnya.
Aku
masih sering bertemu dengannya, walau tak pernah lagi bertegur sapa. Aku
mengajar sastra Indonesia di Universitas Gajah Mada, sedangkan ia mengajar
filsafat. Ia kembali pulang ke Yogyakarta, setelah sebelumnya tinggal di Paris
dan bercerai dengan suaminya. Aku pun sudah memperjelas keberhasilanku mengubur
kekecewaan dengan menikahi seorang perempuan dan dikaruniai seorang anak.
Aku
bersumpah, setiap kali ketika kami berpapasan dan saling tatap, aku melihat
kekelabuan paling pekat yang belum pernah aku lihat di dalam matanya.
No comments:
Post a Comment