Sipit-sipit
kubuka mataku dari pejam. Matahari menyelinap masuk melalui celah jendela dan
gorden yang setengah terbuka. Dengan pandangan yang sedikit tertutup tahi mata,
aku melihat jam dinding. Jarum pendeknya menunjuk angka sembilan. Aku sedikit
tersentak. Apa aku telat? Apakah mama tidak membangunkanku untuk sekolah?
Tidak, tidak. Justru ini saat-saat yang aku tunggu. Sekarang Sabtu, libur. Hariku.
Harus
kukumpulkan seluruh tenagaku untuk hanya bisa beranjak duduk bangun dari tempat
tidur. Kubunyikan seluruh tulang tubuhku, mulai dari kepala, tangan, pinggul
dan kaki. Rasa nikmatnya tak
terbahasakan. Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, mewariskan
liur untuk bantal dan meninggalkan pemandangan berantakan. Aku sudah
benar-benar bangun.
***
Kubuka
keran wastafel dengan cermin di hadapanku. Terasa begitu dingin ketika aliran
air menyentuh kulit tanganku. Kupandang cermin. Sinting. Kubasuh wajah dekil
ini. Mungkin bila aku keluar rumah dan langsung menuju lampu merah, aku bisa
meraup banyak receh dengan keadaan kumal seperti ini.
Keluar
dari kamar mandi kulihat adikku Rangga sedang asyik memirsa Crayon Sinchan. Ia geli melihat perilaku
tak lazim Sinchan. Sabtu memang hari di mana semua orang perlu berbahagia. Sejenak
meneduhkan diri dari penat adalah hal yang mesti. Sejenak menjauhi tempat
bernama sekolah adalah surga, meski PR yang menumpuk ingin kumasukkan saja ke dalam
lubang kakus. Aku tak mau memikirkan itu semua. Di Sabtu yang cerah ini, aku
ingin segalanya tampak memesona.
Apalagi
kini aku telah memiliki dara yang telah lama aku idam-idamkan. Aku tak sendirian
lagi. Namanya Sarah. Baru beberapa hari ini kujalani hubungan istimewa itu
dengannya yang tentu masih sedikit kaku. Ini memang kelemahanku sejak mempunyai
sindrom ‘tiga detik lari’ jika meihat geng wanita. Kuambil ponsel di atas meja
kamar untuk mengecek apakah ada pesan masuk.
Benar saja, satu pesan masuk dari Sarah
From:
Sarah
“Pagi
syg, udah bangun blm??”
Ah
betapa hatiku berbunga-bunga. Mendadak panas tubuku. Tetapi memang dasar sial,
pulsaku habis untuk membalas pesan dari Sarah. Tai. Sabtu yang seharusnya
menjadi hari romantis untuk dua sejoli seperti kami, sedikit ternoda pagi ini.
Semoga ia menduga-duga bahwa aku kehabisan pulsa, karena memang itulah yang
tejadi.
“Bi!
Bikinin makan!”
“Mas
Kiting mau makan apa?”
“Mi
kuah aja, bi! Pake telor!”
“Iya,
mas.”
Teriakanku
dari lantai dua rumah ini sanggup terdengar ke dapur bawah. Bajingan, aku sangat
lapar. Hari ini juga sudah pasti rumahku akan terlihat seperti tempat pengungsian.
Sabtu dan Minggu, bahkan saat sepulang sekolah, rumahku menjadi basecamp teman-temanku berkumpul. Entah
untuk bermain playstation, komputer,
atau sekadar menonton Smack Down dari
DVD bajakan yang kami beli di emperan ruko atau DVD asli yang biasanya kami
beli di Disc Tarra.
Tak
meleset sedikitpun. Baru saja mie rebusku datang, satu temanku sudah
memanggil-manggil namaku dari luar rumah. Winning
Eleven adalah candu. Dari balkon aku berteriak kepadanya agar langsung
masuk saja.
“Buruan.”
“Tunggu,
gua abisin mie dulu, lo nyalain dulu aja PS-nya.”
Winning Eleven
adalah game playstation sepakbola produksi Jepang yang menurutku amat bikin
lupa waktu. Kemampuan temanku yang baru aja memasukkan CD ke dalam mesin game berwarna abu-abu itu, lebih mahir dariku.
Aku sering kalah, tapi setidaknya bisa mengimbangi. Pada lain waktu sebaliknya.
Namun semakin aku kalah, semakin itu menjadi pelecut semangat untuk membuatku
lebih mahir. Oleh karenanya aku selalu bersemangat bila ada seseorang
menantangku dalam Winning Eleven.
Kuhabiskan
mie rebus dan segera meletakkan mangkok kosongnya di dapur. Aku segera berlari ke lantai dua untuk segera
menengglamkan Sabtuku pada Winning Eleven.
Tiba di kamar, Arsenal sudah dipilih dan berarti aku harus memilih tim dengan skuat
yang lebih baik atau setidaknya seimbang. Mungkin Real Madrid atau AC Milan,
atau Thierry Henry akan menghancurkanku. Tetapi kulihat, temanku sedang
memegang telepon ponsel milikku dan mengeceknya.
“Ting,
ini SMS dari Sarah enggak lo bales?”
“Enggak
ada pulsa gua.”
“Apa
lo beli pulsa dulu, terus bales?”
“Entar
siangan aja deh, males gua belinya.”
Ia
meletakkan ponselku di lantai dan segera kupilih AC Milan. Tanpa banyak omong
kami langsung menyusun tim dengan gegas, mulai dari mengatur formasi, memilih starting eleven, menentukan taktik
spesifik untuk tiap pemain, hingga memilih penendang pinalti. Kuharap Andriy
Shevchenko kali ini banyak merepotkan Sol Campbell dan menu mulai bermain segera
dipilih.
***
Tiba-tiba
ponselku bergetar. Panggilan masuk.
“Ting, Sarah itu!”
“Entar
ajalah. Tanggung!”
Bukannya
tak mau mengangkat, tetapi jika aku mengangkatnya sekarang, pasti pembicaraan
akan terjadi lama sekali sementara Winning
Eleven tak mungkin ditunda. Lagi pula setelah bermain, aku bisa menelponnya
dan justru memiliki waktu lebih banyak dan lebih lepas untuk ngobrol tentang
apa saja.
Aku
larut dalam permainan. Di saat yang bersamaan ponselku tak berhenti bergetar. Tanggung,
tanggung, tanggung. Aku harus menang. Tai! AC Milan kalah, Real Madrid seri,
Manchester United dibantai, dan jelas Inter Milan tak bisa diharapkan. Telepon
genggamku masih bergetar.
***
Setelah
bergetar berkepanjangan, benda itu akhirnya diam dan tak lama disusul getaran
satu kali, yang berarti pesan masuk. Untunglah kalau Sarah paham. Aku tahu dia
pengertian. Dan setelah banyak sekali pertandingan, sejenak kulemaskan
jari-jariku dan sepertinya sekarang aku akan membeli pulsa di ujung komplek dan
menikmati Sabtu romantisku dengan Sarah. Mungkin aku akan mengajaknya
jalan-jalan sementara teman tandingku itu bersiap pulang.
Kuraih
ponsel dengan degup familiar yang kurasakan seperti beberapa waktu belakangan.
Kutekan menu pesan masuk, dari Sarah. Kutekan keypad dan berarti masuk ke pesan Sarah.
From: Sarah
“I HATE YOU”
Bekasi, Jakapermai
2003
No comments:
Post a Comment