Koakan
burung-burung sementara hilang dari pendengaran. Langit menghitam kelam seperti
mengisyaraktan sesuatu akan menerjang. Sekejap saja tak kenal ampun langit
menghujamkan rinainya begitu liar. Petir berdesing seperti
pembunuh yang tanpa ampun mengeksekusi korban. Kucari pemantik di laci meja
yang penuh abu berserakan. Asbak yang tak lagi berguna karena hembusan angin
begitu kencang. Kuseduh kopi untuk menghangatkan dingin sore yang menusuk
tulangku dan tentu kemudian aku harus beranjak untuk merapatkan pintu dan jendela.
Aku sejenak berbaring menghadap ke langit-langit sambil sesekali kuhisap
dalam-dalam kretekku.
Keparat,
sore ini betul-betul dingin.
Bekasi
- 2007
Pelor
Mataku
memerah pedih. Aku tak peduli. Aku terus menghisap kalap kretek ketenganku
dengan liar asalkan dapat menghilangkan stres yang menyerangku sore ini.
Nikmat rasa kretek ini jelas saja berkurang karena tak bisa terlalu konsentrasi
menikmati hisapan demi hisapannya. Kami membisu di tongkrongan yang sudah
seperti rumah kedua ini setelah capek menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti dan
apa yang harus dilakukan sekarang. Hanya ada panik. Sekali lagi kutarik kretek
ini melalui mulut hingga asapnya masuk ke tenggorokan, lalu kuembuskan dengan
pasrah.
***
Kejadiannya
tadi siang setelah pulang sekolah. Jenuh mengurung dan menghantam pikiranku
begitu dahsyat. Matahari yang masih membumbung tinggi seperti ditempelkan
begitu saja ke ubun-ubunku. Keringat yang bercucuran kuseka dengan lengan baju
seragam dan segera meninggalkan noda cokelat.
“Lor
cepetan! Gua udah asem!”
Aku
dan teman-temanku baru menginjak kelas satu SMA saat ini. Kata orang, masa-masa
SMA adalah masa yang paling indah. Kata orang, masa SMA adalah masa di mana
kita benar-benar menikmati masa muda dan berbagai dinamikanya. Kau
bisa pacaran di saat libidomu sedang di puncak. Adrenalinmu sebagai anak muda juga sedang bagus kata orang. Kau
bisa berbuat seenaknya dan orang akan berkata, anak muda memang. Babi hutan
dengan itu semua. Siang ini panas sekali.
***
Kuselah
motor Kiting. Setelan gasnya tak pas sehingga harus sedikit repot sebelum
berhasil menyala. Aku yang disuruh membawa, karena memang motor milikku kutaruh
di rumah Kiting, dan aku berangkat ke sekolah berdua menaiki Kawasaki Ninja
miliknya tiap pagi.
Setelah
berhasil menyala, Aku dan Kiting segera menuju ke sebuah ruko tak jauh sekolah
untuk sejenak melepas penat. Di sana tak hanya kami berdua, banyak juga
anak-anak sekolah yang juga kawan-kawan kami, menuju ke sana atau sudah berada di sana. Ada yang memesan es
campur, berharap panas siang hari itu sedikit teratasi. Ada yang memesan
gado-gado, karedok, ayam goreng. Ada yang bermain gitar. Ada yang sekadar nongkrong
saja. Dan ada yang hanya merokok dan terus merokok. Prinsipku sendiri, lebih
baik tak makan daripada tak merokok.
“Woi,
Lor! Enggak makan lo?”
“Beliin,
ya?”
“Yee..,”
Kawanku Rayi kembali memasukkan sendok berisi nasi dan potongan mie ke dalam
mulutnya.
“Bang,
Super dua ribu, dong.”
Kukeluarkan
dari kantong seragamku dua lembar seribuan kumal yang di permukaannya tertulis
nomor-nomor telepon untuk mengambil tiga batang Djarum Super yang
disodorkan abang warung. Kusulut segera satu dengan korek yang tergantung diikat tali
rafia menjuntai di warung. Aku segera bergabung dengan teman-teman yang sudah lebih
dahulu duduk-duduk di situ dan segera menginstal ulang otak dengan asap-asap
nikmat. Bajingan, nikmat sekali.
***
Siang
terkendali dengan baik, kurasa. Di lorong ujung, anak-anak masih bercanda dan
tertawa. Ada suara genjrengan gitar kopong yang dimainkan Reza Badak yang aku
tak tahu sedang memainkan lagu apa. Koridor ruko penuh asap. Kami memenuhi
koridor-koridor itu sehingga akan sulit jika ada orang yang ingin berjalan
melewatinya agar tak menginjak kami.
Jika
aku menjadi pemilik dari salah satu ruko di situ, jelas aku terganggu dan
mungkin mengusir anak-anak ini. Atau aku akan memberi tahu pihak sekolah bahwa murid-murid
sekolah mengganggu aktivitas ruko dan sekitar. Ruko yang menjual makanan atau
minuman lebih beruntung karena pasti para murid biasanya akan memesan apapun.
Ah, peduli setan dengan itu semua. Aku hanya ingin bersandar sebentar sambil
memejamkan mata.
***
Pada
saat kami masih asyik nongkrong, aku melihat seorang bapak-bapak memakai helm,
berjalan di lorong ujung mendekati kumpulan kami. Ah, kurasa ia hanya orang yang
mungkin ingin membeli sesuatu atau yang lain di salah satu ruko, walaupun agak
sedikit ganjil karena helm masih terpasang di kepalanya dan tidak diletakkan di
motor atau ditenteng jika ia khawatir helmnya raib. Kulanjutkan hisapanku.
Bapak
itu berjalan semakin dekat dan akhirnya ia berada betul-betul di tengah-tengah
kami. Semua pandangan tertuju padanya. Ia tak melanjutkan langkahnya. Aneh. Ia
hanya melihat-lihat kami, menyapu mata-mata kami seperti berusaha mencari
seseorang. Tiba-tiba ia melepaskan helmnya. Bangsat! Itu Pak Hasyim! Ia adalah
guru Kewarganegaraan di sekolah sekaligus pentolan Pertahanan Sekolah atau
sering disebut Tanse. Ia adalah guru yang ditakuti dan cukup beringas menghukum
anak-anak bermasalah. Biji mataku hampir keluar. Dadaku berdesir kencang.
Kusentil Djarum Super yang tinggal beberapa sentimeter itu ke tanah. Celaka,
sepertinya dia sempat menghafal wajahku! Murid-murid berhamburan seperti tawon
yang sarangnya diusik. Aku segera menuju motor dan coba menyalakannya. Anjing!
Motornya macet!
“CEPETAN,
LOR!” Kiting panik setengah mati. Kutiup tali gas bangsat bermasalah itu dan
kemudian menyelahnya. Menyala. Secepat-cepatnya kupacu motor itu, kabur
menjauhi ruko agar tak tertangkap atau setidaknya wajahku tak diingat oleh Pak
Hasyim, karena hukuman bagi murid yang ketahuan merokok, cukup berat. Aku,
Kiting, dan kawan-kawan kelompokku menuju tongkrongan utama kami.
***
Kejadian
tadi membawa kami kabur sampai ke Jalan Angsa. Ini
adalah tongkrongan kami sejak SMP dan memang gedung SMP kami hanya berjarak
selemparan kancut dari Jalan Angsa. Nama Jalan Angsa diberikan oleh Bokir,
salah satu warga di pemukiman, karena di situ terdapat banyak sekali unggas
yang ia pelihara seperti burung, ayam, entog dan lain-lain. Kenapa bokir
memilih untuk menamakan jalan itu bernama Jalan Angsa dan bukan Jalan Ayam atau
Jalan Burung, cuma dia dan cahaya lampu Kampung Pulo yang tahu.
Anak-anak
kecil berlarian. Ibu-ibu duduk di bale sambil menunggu pesanan bakso cuankinya
datang. Sedangkan kami, murung menekuk wajah diterpa ketakutan. Kami cuma bisa
menebak-nebak apa yang nanti akan terjadi. Kami belum punya pengalaman untuk
menghadapi pasukan bapak ibu guru Bimbingan Pelajar karena aturan di SMA kami
memang ketat, berbeda dengan aturan serta hukuman yang diberikan ketika kami
SMP. SMA kami tak segan mengeluarkan murid yang bermasalah, dan memang sudah
banyak murid yang dikeluarkan.
“Ke
rumah Koko aja kita sekarang.” Aku menyarankan Kiting ke rumah Koko, tongkrongan
kami yang satu lagi. Di sana ada sosok sepuh yang biasa memberikan kami
nasehat-nasehat yang mungkin bisa melegakan. Teman-teman kami yang lain
pulang. Aku dan Kiting pergi ke sana.
***
Rumah
Koko sederhana. Suasananya tak beda jauh dengan suasana Jalan Angsa. Aku dan
Kiting masuk, disambut dengan senyuman lelaki tua itu. Kukeluarkan Zippo imitasiku,
kubakar satu persatu Djarum Super sambil mendengarkan Koko berbicara. Detik
menjadi menit, dan menit menjadi jam. Hampir maghrib. Setelah beberapa saat
kami diberi nasehat dan ditenangkan, aku dan Kiting undur diri pamit pulang.
Sial. Baru saja ingin menyalakan motor, rintik-rintik gerimis
mengetuk-ngetuk kepala kami.
“Buruan,
Lor! Keburu ujan gede!”
Binatang
jalang. Seperti biasa, harus kuselah dengan susah payah dulu, baru Kawasaki
Ninja sialan ini menyala. Benar saja. Di tengah perjalanan, rintikan gerimis
berubah menjadi hujan badai yang sangat deras. Petir-petir menyalak tanpa
ampun. Dan kami tak membawa jas hujan. Aku memacu motor lebih cepat.
***
“Anjing!
Dingin banget, Lor! Sakit banget ujannya!”
Rinai
hujan dahsyat yang menghunjam kulit tubuh ditambah laju motor terpacu cepat membuat
Kiting merengek kesakitan. Sedangkan aku? Terus berkelebatan dalam kepala
tentang peristiwa Pak Hasyim menggerebek kami tadi siang dan aku cukup yakin ia
melihat wajahku. Mampuslah jika Pak Hasyim ingat wajahku. Pikiranku yang terus
mengawang ke sana membuat hujan ini terasa seperti sentuhan anak bayi. Demi
Tuhan, aku tak ingin dikeluarkan dari sekolah.
“Anjing!
Sakit banget! Pelan-pelan napa!”
Rengek’an
Kiting membuat kepalaku ingin pecah. Aku menepikan motor ke kiri jalan dan
kuberikan saja kaos yang kukenakan kepadanya.
“Pake
kaos gua nih!”
Kini
aku memacu motor bertelanjang dada. Tak peduli aku dikira orang sinting oleh orang-orang,
lagipula pandangan mereka juga pasti terhalangi oleh derasnya hujan.
***
Sampailah
kami di depan rumah Kiting. Aku mengambil motorku di garasi rumahnya. Aku
meminjam kaos kering milik Kiting yang diambilkan pembantunya setelah Kiting
menyuruhnya.
“Duh,
ntar gue ngaji lagi, males banget!”
Ini
hari Kamis. Kiting memang sejak kecil hingga kini punya kebiasaan mengaji. Lebih
tepatnya diperintah ibunya. Guru ngajinya datang setiap Kamis magrib. Kata-kata
Kiting tentang ngaji barusan menyulut otakku. Inikah kesempatan itu? Kukeluarkan
motor trondolku dari garasi. Sama, harus aku selah terlebih dahulu. Aku memang
akrab sekali dengan kick starter motor bajingan. Kukeluarkan motor dari pagar.
Dan sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, dari luar pagar aku
menyampaikan pesan ke Kiting,
“Ting,
gua minta tolong dong. Bilangin ke guru ngaji lo, bikin Pak Hasyim lupa sama
muka gua.”
No comments:
Post a Comment