Kiting
mengencangkan tali sepatunya yang longgar di tangga dekat kelasnya. Ia malas
ketika sedang bermain berlarian bersama temannya, talinya lepas dan ia terjatuh
akibat menginjak tali sepatunya sendiri. Ia baru menginjak kelas empat SD.
Nilai rapotnya bisa dikatakan biasa-biasa saja, hancur malah. Ia termasuk anak
paling semerawut di kelas 4A, bersama Gilang, dan Utha.
Bel
sekolah yang meraung pertanda jam istirahat telah selesai dan anak-anak harus masuk
kelas. Beruntung bagi Kiting dan komplotannya Ini adalah saat-saat yang ia
dambakan. Pak Totong yang seharusnya kini mengajar di kelas, hanya memberi
tugas lalu pergi karena ada suatu urusan. Anak-anak di barisan depan dengan
sigap mengeluarkan alat tulisnya dan segera mengerjakan tugas yang diberikan.
Sementara anak-anak yang berada di barisan belakang seperti Kiting, Utha dan Gilang,
menganggap ini adalah waktu ekstra untuk rusuh. Soal tugas? Persetan akan itu.
Perpindahan
kelas tiga ke kelas empat adalah masa transisi yang kritis. Anak-anak
semakin membuka diri terhadap dunia luar dan semakin banyak menyerap informasi
baik yang positif maupun yang negatif. Mereka semakin ingin tahu dengan hal-hal
yang belum mereka ketahui. Inilah yang tengah dialami Kiting dan teman-temannya
saat ini. Mereka adalah anak-anak badung dan cukup membuka diri akan hal-hal
negatif.
***
Matahari
semakin menyilaukan, merambat masuk sebagian ruangan kelas melalui jendela.
Itang dan teman-temannya terus cekikikan di barisan belakang kelas tanpa memedulikan
anak-anak yang sedang mengerjakan tugas. Jelas saja anak-anak itu terganggu
dengan suara canda tawa Kiting CS, namun anak-anak itu tak berani menegur atau malas
menegur karena komplotan Kiting juga tak akan menghentikan kegaduhan.
***
Jarum jam
semakin jauh berputar. Anak-anak yang tengah mengerjakan tugas yang diberikan
Pak Totong semakin keki menghadapi situasi tak kondusif ini. Kiting dan komplotannya
pun bukannya diam, malah semakin memperkeras suara tawanya akibat
kelucuan-kelucuan dari candaan mereka. Sonia, salah satu murid perempuan yang
terganggu dengan kebisingan ini ingin sekali memasukan komplotan Kiting ke
dalam keranjang sampah. Tentu saja itu tak mungkin. Sonia kemudian penasaran dengan
apa yang komplotan Kiting bahas sampai-sampai suara tawa mereka begitu riuh. Sonia
tak tahan dan sejenak meninggalkan tugasnya untuk mengamati komplotan Kiting.
Sonia mengamati, terdapat secarik kertas yang terus dioper komplotan Kiting. Ketika
Kiting menerima kertas tersebut dari Gilang dan membacanya, tawa Kiting
membuncah di udara. Kiting kemudian balas menulis sesuatu di kertas itu dan
diserahkannya pada Gilang. Ketika Gilang dan Utha membacanya, giliran gelak
mereka yang memenuhi ruangan. Begitu terus berulang-ulang.
Ketika
jam pelajaran telah habis dan bel istirahat kedua bebunyi, Kiting meremas
kertas tersebut hingga lecek dan membuangnya ke jendela sehingga kertas
tersebut jatuh ke bawah, dan kemudian bergegas ke lapangan bersama komplotannya. Tak
dinyana, Sonia yang daritadi memerhatikan gerak-gerik dan perilaku mereka,
melihat secarik kertas itu dibuang. Penasaran dengan isi kertas tersebut, Sonia buru-buru menuruni tangga dan mencari di mana kertas itu berada. Akhirnya ia
menemukan kertas tersebut. Setelah melihat isinya, Sonia mengernyitkan dahi. Ia
kemudian menyerahkan kertas tersebut kepada Pak Totong!
***
Pak
Totong geleng-geleng kepala melihat isi kertas itu. Bangsat, ucapnya dalam
hati. Bersama Bu Eva yang guru Bimbingan dan Penyuluhan, Pak Totong memangil
Kiting, Utha dan Gilang ke ruang BP.
***
Kiting
lemas bukan main. Utha terihat biasa saja dan Gilang masih cengar-cengir.
Sekarang mereka sudah tahu penyebab mengapa mereka berada di ruangan itu dari
secarik kertas yang dipegang Pak Totong. Anjing tanah!
Pak
Totong kemudian menjabarkan kertas tersebut dan membaca dengan lantang apa yang tertulis
di sana. “BAPAKLO NGENTOT”.
Tanpa banyak cincong Pak Totong segera
menjewer beringas telinga mereka bertiga. Kemudian Pak Totong membacakan
tulisan lain yang tertera di situ dan lagi-lagi menjewer Komplotan Kiting,
begitu terus.
***
Kini
kertas itu berada di tangan Bu Eva. Ia geleng-geleng kepala melihat
tulisan-tulisan di kertas tersebut. Ia masih membacanya. Ekor mata Bu Eva kemudian
menangkap sebuah tulisan yang ia tak terlalu mengerti.
“Se..po..ngg. Sepong? Kiting, apa
ini sepong??” tanya Bu Eva
Babi hutan. Aku harus menjawab apa?
Tai. Akan kujawab sekenanya
“I..Itu, bu, kue semprong,” kata
Kiting sambil memonyongkan mulutnya dan membuat gerakan tangan maju mundur seolah
membentuk kue semprong
Kiting selamat dari jeweran.
***
Setelah
selesai diinterogasi di ruang BP, Bu Evi segera menelpon ketiga orang tua
anak-anak itu. Hanya mama Kiting yang tak hadir karena sedang ada keperluan. Sebagai
gantinya, Bu Eva membuat surat panggilan untuk orangtua Kiting dan menyerahkannya
kepada bocah itu agar Kiting menyerahkanya kepada orangtuanya.
Melihat
Gilang dan Utha dimarahi mama mereka, Kiting jelas tak bisa membayangkan hal
itu tejadi. Apalagi jika ketahuan ayahnya.
***
Kiting
pulang ke rumah dan mamanya belum pulang. Yang kemudian dilakukannya adalah
membuang segera surat panggilan yang ada di tasnya itu ke tempat sampah.
Tak lama kemudian terdengar suara
pagar terbuka dan deru mesin mobil. Mama Kiting pulang. Bocah itu panik. Mama Kiting
yang masih mencangklong tas itu segera menuju kamar Kiting yang ada di lantai
dua dan tanpa basa-basi langsung menanyai bocah itu.
“Kiting!
Tadi mama ditelpon Bu Eva, katanya kamu masuk BP, ya! Kenapa??”
Mampus. Dalam tempo sepersekian detik
itu Kiting harus mencari jawaban. Saat ini mamanya tak membutuhkan apapun di
dunia ini kecuali jawaban. Ah!
“Iya
itu jadi saksi, ma. Utha nakal.”
No comments:
Post a Comment