Ketika
dunia pertelevisian—dalam jalur reality
show—di Amerika Serikat tengah berada pada kejenuhan yang mengambang,
beberapa tim yang terdiri dari produser gendut kaya, Mr. Whitaker (Rob Reiner),
broadcast director bervisi jeli
Cynthia Topping (Ellen DeGeneres), dan beberapa orang lainnya, berusaha
melakukan sesuatu untuk menggairahkan jalur itu lagi. Langkahnya adalah,
membuat reality show dengan merekam kehidupan seseorang dengan jujur, dengan
apa adanya, tanpa naskah, tanpa intervensi, tanpa privasi—kecuali ke kamar
mandi—dari orang itu bangun tidur hingga ia tidur lagi.
Di
proses pencarian sang pemeran, dengan mata penuh kagum, Chynthia mendengarkan
Ed Pekurny bercerita tentang kepemudaannya, berjoget dengan gaya ayam yang
mengepakkan sayapnya, dan berbagai hal lain yang membuat Chynthia merasa pemuda
ini akan disukai oleh penonton. Semula tentu saja Mr. Whitaker, bosnya,
mengerenyitkan dahi melihat kelakuan Ed dari video yang diperlihatkan Chynthia.
Tetapi akhirnya Mr. Whitaker manut.
Ed
Pekurny (Matthew McConaughey), karyawan sebuah toko kaset, pemuda biasa dari
San Francisco itu tiba-tiba saja kecebur dalam ketakjuban: semua orang di
sekitarnya meneriaki namanya, mamanya (Sally Kirkland) jadi sering dandan, juga
kakaknya yang nyeleneh, Ray (Woody Harrelson) jadi sering numpang tampang di
kamera, atau bahkan ia akhirnya dapat bertemu dengan ayah kandungnya yang telah
lama berpisah sejak kecil.
Bagaimana
Ed Pekurny bisa seberuntung itu, hanya Tuhan dan cahaya lampu San Francisco
yang bisa menjawab. Peristiwa sinting itu semula mengguncangnya. Dia ingin
membaginya dengan Shari (Jenna Elfman), kekasihnya yang sederhana, kaku,
perempuan yang ingin dikejar-kejar itu. Tetapi Shari lebih terpesona pada Ed
yang dulu, lantaran kehidupan Shari dahulu tak terekspos media. Ia malas ketika
ia tengah menjalankan profesinya sebagai pengantar barang ke suatu rumah
tiba-tiba diceramahi ibu-ibu cerewet yang mengatakan bagaimana seharusnya
menjadi pacar Ed yang baik. Sejak awal kita tahu hubungan mereka akan sulit,
bahkan menjemukan—dengan sikap Shari yang tak luwes.
Ed,
seperti juga para pemuda San Francisco lainnya, adalah lelaki yang apa adanya,
slengean tapi menyenangkan, yang sikap dan perilakunya mengalir begitu saja
seperti air. Mendapatkan bayaran yang besar, dielu-elukan namanya di sebuah
pertandingan hockey, adalah mimpi yang tak terpikirkan sebelumnya. Bahkan
bertemu dengan seorang model cantik bernama Jill (Elizabeth Hurley) yang selalu
membuka pintu apartemennya kapan saja ketika Ed ingin berkunjung. Hubungan
asmara Ed dan Shari terseok-seok menuju jurang.
Ed
percaya ia adalah pria yang baik. Tetapi dengan sedikit saran dari Chynthia,
ada baiknya bila ia sejenak melupakan Shari dan menikmati hubungan tak
seriusnya dengan Jill. Jill memanfaatkan Ed dengan menjadikan ia sebagai alat
pendongkrak karir, Ed dan para sebagian penonton pun tak keberatan dengan sosok
Jill yang kita sama-sama tahu tadi, dan juga karena ia cantik dan tak
neko-neko. Bagi penonton, kehidupan Ed adalah kehidupan yang menyenangkan dan
tentu saja kocak.
Bagi
Ed, tak pernah ada yang klise tentang menjadi terkenal. Semula ia tak ingin
pergi dari sana. Kakinya terus bergerak seperti para penggemar yang
mengejarnya. Tetapi lama-kelamaan akhirnya Ed pening juga. Bukan karena capek karena
selalu harus diikuti oleh sepasukan kameramen, tetapi karena kerisihan
orang-orang yang disayanginya, yang berbeda dengan jalan pikirnya, berbeda
kadar kenyamanannya. Shari, ibunya, ayah tirinya, dan kakaknya, lewat sebuah
kontrak dari True TV yang tak begitu dipahami Ed, kini terusik.
Ed
tak bisa meninggalkan begitu saja pekerjaanya karena sudah terikat kontrak.
Namun lewat sebuah cara yang cerdik, akhirnya ia menemukan cara yang akhirnya
membuat si bos gendut Mr. Whitaker terpaksa membubarkan acara itu.
Menyaksikan
film ini, tentu saja kita akan langsung teringat dengan film serupa—yang jauh
lebih fenomenal—yang setahun lebih dulu ada sebelum Edtv diproduksi, berjudul Truman Show, yang peran utamanya
dilakoni oleh Jim Carrey. Bedanya, Truman (Jim Carrey) tidak mengetahui bahwa
sejak lahir sampai dewasa, ia adalah pemeran sebuah acara tersebut. Orang-orang
di sekitarnya, istrinya, bahkan kota tempat ia tinggal adalah palsu dan Truman
tak tahu bila seluruh orang di dunia ini menyaksikan dirinya.
Dalam
tim yang terdiri dari Mr. Whitaker dan Chyntia serta para awak lainnya, program
merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kegiatan manajemen produksi
televisi. Reality Show adalah salah
satu program di televisi yang menarik minat masyarakat. Maraknya penayangan
program reality show di televisi
menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat. Di beberapa bagian scene Edtv, ditampilkan adegan talkshow
yang membahas reality show yang
dilakukan True TV. Seorang narasumber mengatakan bahwa program itu tidak baik,
kurang pantas, dan kalimat-kalimat negatif lain semacamnya.
Menurut
saya, berdasarkan dari beberapa literatur yang saya pahami, jika dihubungkan
dengan teori kultivasi dan teori pembelajaran sosial, akan terdapat tiga dampak
pada pesan media massa, yaitu dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak
behavioral. Dalam dampak kognitif, pesan pada program Edtv dalam Edtv menggambarkan realitas pemuda San
Francisco kebanyakan saat itu, yaitu mendapatkan gaji yang pas-pasan, slengean,
masih hidup bersama orangtua, dan lain-lain.
Dalam
dampak afektif, pesan yang disampaikan pada program Edtv dalam Edtv berpengaruh pada perasaan emosional
mereka. Seperti kubu yang selalu mendukung kesederhanaan Shari, dan bagaimana
Ed selalu berusaha untuk mengejarnya. Lalu kubu yang selalu gembira ketika
melihat Ed bersama Jill si model cantik, karena tak tahan dengan Shari yang
menurut mereka memuakkan. Bagaimana perselisihan Ed dengan Ray kakaknya yang
merasa dikhianati lantaran diambil pacarnya—sampai-sampai Ray mengeuarkan
sebuah buku berjudul My Brother Pissed On
Me. Belum lagi perasaan emosional penonton ketika mengikuti prahara ibunda
Ed, ayah kandung, dan ayah tirinya yang memilukan. Perjalanan cinta dan
pengkhianatan yang panjang, yang akhirnya terungkap dan terjawab dan bagaimana
Ed sendiri menyikapi itu. Bahkan Chyntia dan kawan-kawan pun sampai menitikkan
air mata. Tanpa sadar khalayak ikut merasa sedih, terharu, dan iba melihat
kehidupan Ed. Tetapi juga amat senang ketika Ed tengah melakukan
kekonyolan-kekonyolan khas yang sering ia lakukan.
Dalam
dampak behavioral, pesan pada program
Edtv dalam Edtv tidak langsung
berpengaruh pada perilaku penonton di kehidupan sehari-hari. Melalui program
ini mereka bisa belajar dari pengalaman hidup Ed yang berasal dari kalangan
yang biasa-biasa saja. Secara umum, dampak pesan media pada program Edtv dalam Edtv yang paling berpengaruh pada
penonton adalah dampak kognitif. Karena melalui program Edtv dalam Edtv, mereka mengetahui keadaan
masyarakat Amerika, khususnya San Frascisco sekitar yang di dalam diri
pemudanya yang kerap ceria namun slengean, terdapat juga hal-hal berat yang
harus ia hadapi.
Coba
kita lihat stasiun televisi kita yang amat banyak menyuguhkan program-program reality show. Saya merasakan dan juga
berdasarkan pengalaman beberapa teman yang terjun langsung dalam bidang itu,
acara reality show kebanyakan jauh
dari nyata dan penuh kepalsuan. Saya mempunyai teman yang pernah dibayar untuk
menjadi pemeran sebuah acara reality show.
Acara tersebut premisnya adalah penginvestigasian diam-diam seseorang, karena
seseorang tersebut ditengarai kerap berbohong/tak transparan dalam perjalanan
kisah kasihnya dengan si pelapor. Alhasil lewat permintaan pelapor itulah, tim
kemudian melakukan penginvestigasiannya, yang mana berarti acarapun dimulai.
Teman saya mengatakan, acara tersebut dilakukan dengan penuh naskah dan
kemampuan akting belaka, tetapi dibuat dengan gaya yang seperti nyata. Acara
reality show jadi tak lagi mengsyikkan karena disusupi kepalsuan, script, dan jauh dari realita itu
sendiri.
Full Effect Theory
adalah teori di mana audiences
(penerima pesan) tidak bisa menghindari peluru yang ditembakan secara tepat
sasaran oleh pengelola media. Teori ini bisa jadi menyimpulkan seolah-olah
pengelola media lebih pintar dari audiences,
sehingga ketika audiences ditembak,
mereka tidak mampu menghindarinya. Contoh teori ini berkembang pada perang
dunia 1-2 (efek propaganda), dan opini media mampu membangun opini publik
secara keseluruhan. Khalayak dianggap pasif dan efek media langsung dan
maksimal.
Limited Effect Theory
menjelaskan, media menghasilkan efek yang terbatas, karena media bukan faktor
tunggal. Audiences bersifat selektif
dalam menerima informasi yang diterimanya, antara menerima atau
mempertimbangkan bahkan menolaknya. Penonton juga memutuskan melalui media mana
ia akan menjalin komunikasinya. Hal ini karena tidak semua orang sama dalam
pemanfaatan media. Cooper dan Jahada mengatakan, “Perspektif selektiflah yang
jauh lebih menentukan dari pengaruh media massa.”
Di
antara dua teori besar di atas, manakah yang akan dipakai dalam melihat reality show? Mungkin dalam beberapa hal
keduanya bisa dipakai sekaligus. Trian H.A mengatakan, “Reality show telah menunjukkan kepada kita segala yang sebelumnya
kita tidak terlalu mau tahu, yaitu perasaan orang (secara nyata) jika diberikan
sesuatu. Kesadaran akhir ini bagi audiences
akan mempengaruhi persepsi tentang situasi orang dalam keadaan tersebut. Dari
persepsi ini, mereka akan melakukan hal seperti menelan mentah-mentah atau
bersikap selektif. Tapi setidaknya, audiences
tidak bisa lari atau menghindar dari peluru jika ia menonton reality show. Saat kemudian ia
melakukannya, maka akan terjadi benturan antara apa yang benar, apa yang kita
anggap benar dan apa yang sedang bekerja.”
Dari
program Edtv dalam Edtv dan
program-program reality show yang ada
di negara kita—terlepas dari palsu atau tidaknya—sebetulnya di situ tersirat
bahwa terjadi perefleksian kejadian sehari-hari di sekitar kita. Yang bahaya
adalah jika pengelola televisi tidak bertanggung jawab atas program yang kurang
baik, yang dapat memperparah kondisi budaya bangsa saat ini. Garin Nugroho
mengemukakan, “Televisi telah menjadi dunia multikanal dalam hidup manusia.
Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih
gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton
televisi dengan motivasi dan perencanaan.” Bahkan program Edtv dalam Edtv, diceritakan sang pemeran Ed
Pekurny mengalami hal yang merugikan dirinya sendiri karena terlalu
dimanfaatkan si bos Mr. Whitaker yang sudah terlanjur makin kaya dan tak peduli
dengan saran baik anak buahnya.
Terlepas
dari teori yang telah dikaitkan di atas, reality
show jelas banyak berkaitan dengan teori lainnya pula, seperti entertainment, yang amat jelas dan gamblang
fungsinya. Lalu social utility, jika
program tersebut amat terkenal dan banyak digunjingkan oleh khalayak, tepatnya
di conversational utility. Lalu hegemonic theory, sebagai dominasi
ideologi palsu atas realitas yang sebenarnya terjadi secara tersamar dan sangat
halus. Atau commercialization, untuk
mengarahkan kawan-kawan media ke ‘jalur aman’.
Reality show..
Inilah program yang berhasil meringkus banyak perhatian dunia, bukan saja
karena peminatnya yang sungguh banyak, tetapi memang kadangkala—terlepas dari
kebenaran atau kepalsuannya—memang cukup asyik, ringan, dan segar untuk
diikuti. Tentu saja penggemar reality
show yang punya cukup kapasitas untuk menerima, dapat memilah dan merasakan
apa dampak yang mereka terima. Edtv, sesungguhnya
menurut saya adalah campuran antara sindiran dan parodi. Mr. Whitaker yang tak
mau mendengarkan kritik orang lain karena terlalu fokus pada keuntungan itu
sungguh persis seperti apa yang kita bayangkan dalam benak kita. Demikian juga
Ed yang bersemangat, kenes dan Chyntia yang cerdas dan baik hati.
Penggemar
berat reality show mesti hati-hati
tentang kenikmatan atau kesedihan yang ada dalam dunia yang bisa jadi rekaan
atau benar-benar nyata itu, karena bisa jadi hilang kontrol dan tak lagi sibuk
memikirkan realita yang ada dalam dunia sendiri.
No comments:
Post a Comment