Teriakan
bocah itu menerobos gendang telinga pendengarnya. Penganiayaan yang berlokasi
di lantai 14 di sebuah apartemen lusuh dan menyedihkan itu tetap tak
dihentikan, walaupun bocah itu sudah meminta ampun kepada orang yang juga masih
sama-sama bocah (diketahui, si penganiaya berumur 10 dan 11 tahun). Jelas saja
ia tak bisa melawan, lantaran ia baru berusia 5 tahun. Yang terjadi selanjutnya
adalah, tiba-tiba ia sudah berada di dasar gedung. Bocah itu bernama Eric Morse. Seluruh langit
Chicago mendadak kelam.
18
bulan sebelumnya, di daerah yang sama, ada dua remaja yang ingin menggebrak
kekelabuan gang-gang sempit Chicago dengan cara yang tak lazim dengan
menggunakan media radio, dan banyak yang memandangnya tak tepat. Namun hal itu
pelan-pelan berubah setelah kasus Eric Morse terjadi.
Dua
remaja itu bernama LeAlan Jones (Roderick Pannel) dan Llyod Newman (Brandon
Hammond). Mereka tinggal di daerah kumuh Chicago yang kasar, galak, dan sama
sekali tak menenteramkan. Tetapi di wilayah hitam itu, mereka termasuk salah
dua remaja yang lurus dan baik-baik saja—dibandingkan dengan remaja seusianya.
Namun tetap saja, kalimat “"Ketika saya berusia 10 tahun, saya tahu
tentang narkoba, seks, dan saya tahu semua jenis pistol,” tetap meluncur luwes
dan licin dari mulut Llyod.
Dua
remaja ini sangat tidak ingin jadi pecundang. Mereka tidak ingin menjambret,
mengedarkan narkoba, atau menembak kepala siapapun. Mereka ingin mengubah nasib
dengan memulainya dari hal yang tidak terlalu spektakuler—amat spektakuler bagi
yang lain. Mereka mengetahui kabar bahwa National Public Radio (NPR), lewat
seorang produser bernama David Isay (Josh Charles), mencari dua orang
berketurunan Amerika-Afrika, untuk menjalankan program buku harian audio yang
NPR selenggarakan. Nama program tersebut adalah Ghetto Live 101. Mereka
mengikuti audisi tersebut dan dengan kealamian mereka, dengan mudah diterima. LeAlan
Jones mengatakan bahwa tidak ada yang lebih cocok menjalankan program tersebut
ketimbang mereka.
Tugas
mereka susah-susah gampang. Mereka hanya
merekam pembicaraan mereka sendiri dengan amat jujur dengan melihat, mendengar,
dan merasakan apa yang mereka terima dari kehidupan mereka dan kehidupan
sekitar mereka. Mereka juga melakukan wawancara dengan ibu LeAlan yang sakit
mental dan ayah Lloyd alkoholik. Mereka
merekam teman bengal yang yakin bahwa dia tak akan hidup sepuluh tahun lagi,
bahkan merekam kenakalan mereka sendiri. Mereka banyak memotret
penyakit-penyakit sosial lewat potret suara.
Beberapa
mendukung, namun banyak juga yang menentang. Bahkan kepala sekolah kedua anak
itu mengumbar hal yang dilakukan dua muridnya tersebut di radio oposisi dan
menyebutnya sebagai hal yang menyedihkan. Banyak aral yang menerjang, termasuk
dari dalam diri mereka sendiri. Aktivitas sekolah Llyod tetap tak menunjukkan
tanda-tanda kenaikan—dari hal positif ini—dan bahkan tidak naik kelas. LeAlan
juga mulai terhasut perkataan orang-orang yang menyebut program buku harian
audio itu adalah sebuah pemanfaatan kaum kulit putih. Namun dengan segala upaya yang dilakukan
David, mereka berdua akhirnya sanggup meneruskan dan justru makin semangat dengan
hal yang mereka lakukan. Puncaknya ketika akhirnya program Ghetto Live 101 membawa mereka sebagai penyiar radio terbaik di
Chicago.
Ketika
kasus Eric Morse terjadi di Chicago, media-media profesional lain seperti media
televisi sibuk menyiarkan berita tentang kasus Eric. Dari tayangan-tayangan
televisi yang mereka saksikan, media-media tersebut hanya mengsekpos berita
kematian Eric Morse dan pelakunya yang juga sesama bocah, tidak secara
mendalam, mengapa, dan bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Mereka gundah dan
risih karena media-media itu sebetulnya tidak terlalu paham bagaimana kehidupan
di daerah tersebut.
Berangkat
dari gobar hati itulah, mereka melakukan investigasi untuk mengusut secara
mendalam perihal kasus Eric, dengan bantuan media radio sebagai kendaraan
mereka.
Tidak
dijelaskan di film ini mengapa LeAlan dan Llyod lebih memilih media radio
ketimbang media lain seperti media cetak atau media televisi. Namun lewat
adegan-adegan yang tersuguh, karakter mereka berdua memang banyak bicara dan
blak-blakan. Kita tahu, dibanding media cetak, media radio memiliki beberapa
kelebihan yang tak bisa digondol media cetak.
Keunggulan tersebut di antaranya seperti selintas dengar, penyajian
informasinya lebih cepat dan langsung, dan memungkinkan pendengar radio mengembangkan
imajinasinya sendiri. Ketika hal-hal seperti itu dikemas secara amat apik
(seperti program buku harian audio yang dijalankan NPR), keunggulan media radio
ini akan sukar ditandingi.
LeAlan
dan Llyod sendiri pun bisa jadi memang hanya gemar bercakap-cakap—apalagi
mereka adalah sahabat sejak kecil—yang sebetulnya tak terlalu memusingkan
hal-hal kejurnalistikan. Jurnalistik
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menyangkut
kewartawanan dan persuratkabaran. Dalam
bahasa Inggris dikenal sebagai radio journalism atau broadcast journalism, yang bisa diartikan sebagai proses produksi
berita dan menyebarluaskannya melalui media radio. Dan lewat program Ghetto Live 101, barangkali tanpa sadar, mereka telah berkembang
menjadi jurnalis yang buas, jurnalis yang berkualitas.
Radio
hanya menggunakan suara, berbeda dengan media cetak yang menyuguhi tulisan dan
foto atau media televisi yang menampilkan suara dan gambar. Karena demikian,
konsep menyuarakan segala informasi menjadi dasar penyajian sebuah informasi di
radio. LeAlan dan Llyod menyuarakan segala kekelabuan yang ada di daerah tempat
mereka tinggal. Dan dengan konsep penyuaraan yang baik dan alami, kekelabuan
tersebut berhasil diterima dengan amat baik pula ke telinga para pendengarnya. Konversi
yang sempurna itu akhirnya berubah menjadi pujian dan cibiran. Hal inilah yang
menyebabkan banyak orang mendukung kegiatan mereka, namun di sisi lain banyak
yang menentangnya—karena berbagai faktor, lantaran setiap orang memiliki respon
yang berbeda-beda.
Naskah
informasi untuk radio juga disusun menggunakan bahasa sehari-hari dan bukan bahasa
tulisan. Apabila ini dilanggar, sebetulnya pendengaran pemirsa akan amat
sensitif merasakan tidak tengah mendengar tuturan, melainkan tengah
mendengarkan bacaan. Bahkan dalam program Ghetto
Life 101, LeAlan dan Llyod sama sekali tidak menggunakan naskah.
Yang
dilakukan LeAlan Jones dan Llyod Newman ini termasuk citizen journalism. Memang, dalam Ghetto Life 101 mereka resmi menjadi penyiar radio/wartawan untuk
NPR. Tetapi NPR sendiri memang mencari “orang biasa” yang pandai berbicara,
khusus untuk program buku harian audio ini. Citizen
journalism sendiri adalah konsep yang memungkinkan anggota masyarakat untuk
berperan aktif dalam proses mengumpulkan, melaporkan, menganalisa, dan mendistribusikan
berita dan informasi. Yang membedakannya dengan bentuk collaborative journalism adalah tidak adanya batasan bahwa peliput
berita harus seorang jurnalis profesional, dan inilah hal yang dimaksud NPR
untuk program Ghetto Life 101. Semua
anggota masyarakat bisa menjadi bagian di dalamnya.
Bentuk
citizen journalism yang paling
sederhana adalah komentar pada lipuran berita, artikel, foto atau lainnya yang
menurut J. D. Lasica disebut dengan audience
participation. MetroTV dan TVOne,
stasiun televisi nasional yang menjadikan acara berita sebagai salah satu
andalannya, telah menggunakan bentuk ini. Contohnya adalah MetroTV dengan acara
Suara Anda. Interaktivitasnya
dibangun dengan membuka saluran telepon bagi pemirsa untuk memberikan komentar.
Kontribusi
publik amat luas, bukan hanya sebagai pendengar dan komentator, tetapi sebagai
penyaji berita, namun dalam format yang sederhana dan singkat. Media yang sering
digunakan adalah radio. Di Indonesia, radio seperti Elshinta misalnya,
mengandalkan pendengarnya untuk beberapa muatan berita, terutama traffic report. Media baru semakin
mengambil peranan untuk bentuk ini, dan yang paling happening yaitu media sosial, terutama Facebook dan Twitter. Contoh kecil, saat dulu pengguna Twitter
masih segelintir, akun milik saya hanya digunakan untuk menulis status, dan
melihat status teman-teman saya—dan memang itulah hakikat sesungguhnya dari Twitter. Namun seiring berjalannya waktu, ketika Twitter
makin dikenal, kini banyak yang memanfaatkannya sebagai akun penyaji
informasi/penyumbang informasi. Dan Twitter
adalah media tercepat dalam menyajikan informasi dibandingkan media
manapun. Gempa kecil yang saya rasakan
di Yogyakarta misalnya, dari timeline
Twitter akan langsung dibicarakan bahwa memang barusan terjadi gempa di daerah Jawa
Tengah.
Sajian
liputan citizen journalism bahkan
kerap kali lebih lengkap daripada liputan jurnalis profesional. Dalam kasus
Eric Morse contohnya, media hanya melihat dan membahas kasus Eric Morse sebagai
pemenuhan berita. Sang reporter hanya memberikan kabar yang ala kadarnya. Namun bisa jadi ini juga karena berita yang
harus disajikan oleh media massa atau media televisi begitu banyak, sehingga
kadang sulit untuk ditelaah secara amat mendalam atau hanyut dalam emosional. Mungkin
juga karena media massa terlalu masif membeberkan berita-berita bombastis
lainnya. Namun bagi LeAlan dan Llyod, kasus Eric adalah hentakan keras untuk
mereka. Kejadian kematian Eric Morse terjadi di sekitar tempat tinggal mereka
dan hal ini sangat memacu keduanya untuk berbuat lebih dari apa yang sudah
orang-orang media profesional itu lakukan. Mungkin karena faktor emosional tadi
pula. Di film itu kita dapat saksikan
LeAlan dan Llyod menjamahi seluruh bagian apartemen itu. Mengetuk setiap pintu
kamar penghuni untuk menanyakan bagaimana kronologi, atau apa yang ia tahu
tentang Eric dan kehidupannya.
Dan
ternyata betul, bahwa mereka mendapatkan informasi—yang media profesional tidak
dapatkan—bahwa ternyata dilemparkannya Eric dari atas gedung adalah
ketidaksengajaan. Informasi ini mereka
dapatkan dari salah satu penghuni kamar yang amat mengetahui segala keriuhan
yang biasa terjadi di lantai 14, dan mengetahui tabiat para perusuhnya yang
masih bocah itu. LeAlan dan Llyod pun
menghadiri sidang para terdakwa, dan mewawancarai ayah dari salah satu terdakwa
tersebut. Mereka juga mewawancarai pengacara terdakwa dan sang hakim. Dari
hasil investigasi yang mereka lakukan itu, memang mengerucutkan pada kesimpulan
bahwa kejadian tersebut adalah faktor ketidaksengajaan/tanpa niatan membunuh.
Anak berumur sepuluh tahun, tetaplah anak yang berumur sepuluh tahun. Bukan
seperti kesimpulan media profesional yang mengumbar bahwa ini adalah produk
dari kekerasan di wilayah itu.
Citizen journalism
seringkali menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek
peneliti. Dalam investigasi yang dilakukan LeAlan Jones dan Llyod Newman,
mereka lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi. Hal ini
timbul karena kebutuhan akan informasi yang informan harapkan dapat terpenuhi,
tetapi tetap harus seobjektif mungkin.
Dalam
porsi yang lebih dalam lagi, timbul pertanyaan seperti, apakah bentuk dan media
seperti ini akan sanggup bertahan? Bisa jadi, kuncinya adalah pada keterbukaan,
aktivitas yang dinamis, serta konten yang kredibel dan variatif. Karena
keunggulan citizen journalism adalah
cakupan berita yang sangat luas, sifatnya yang egaliter, dan bahkan
kecepatannya. Tetapi mari kita semua optimis, karena karakter masyarakat yang
beragam dalam kebutuhannya.
No comments:
Post a Comment