“LAMBAT!”
“Bawel.
Aku yakin kelompok lain tak punya anggota secerewet kau!” Adam menangkis
geremengan sinis Athir untuk kesekian kalinya sambil membanjur tubuhnya yang
apak.
“Tunjukkan
respekmu pada anggota yang lain barang secuil! Aku tak mau lagi membersihkan
piring kotor bekas mulut-mulut bernapas sangit.”
“Hei,
waktu masih sepu..,” Tiba-tiba suara peluit menerobos gendang telinga seluruh
penghuni Pondok Cigombong.
Tuyul.
Ucap Adam dalam hati.
“Bila
kita dihukum lagi, kubunuh kau.”
***
Putro
keheranan. Ia diganjar udara dingin yang lebat, padahal pagi ini matahari cukup
terang. Ia bisa melihat uap putih yang daritadi ia embus-embuskan dari
mulutnya. Aromanya pasti luar binasa. Nadhil dan Halim malah tak henti-hentinya
misuh lantaran dipaksa berkonsentrasi pada celananya yang kerapkali kedodoran.
“Permainan
ini dinamakan Titian Kemenangan. Kalian harus meniti seutas tambang itu sampai
ujung, dengan bantuan seutas tambang yang ada di atasnya untuk dipegangi,” ucap
kak Adi, salah seorang fasilitator Pesantren Kilat Cigombong itu.
Wajah
Tholut tak menunjukkan raut sumringah. Ia merasa semua seremonial ini nonsens
dan buang waktu. Ia lebih suka menjajaki petualangan yang lebih alamiah seperti
menelusuri sungai, mendaki gunung, atau menjamah goa-goa kuno yang dihuni
kelelawar. Sementara tak jauh dari kakak fasilitator, Toyok sudah terlihat
menggulung celana panjang kebanggaannya. Kelompok Bilal bin Rabah kali ini
selamat.
***
Aku
menuju toilet dengan pasti. Bukan karena daritadi menahan buang air kecil saat
pelajaran geografi yang mencekam itu. Bukan pula karena ingin merapikan rambut
kriboku yang bisa kutata semena-mena ini. Tapi karena Pandu Gempor.. Ya. Pandu
Gempor. Ia pasti sekarang sudah berada di toilet. Aku bisa merasakan
kehadirannya.
"Pan!"
sapaanku meluncur begitu spontan, "Wuih.."
"Hei,
Ting. Nih.."
"Thanks
ya, Pan. Thanks berat," tanpa kata-kata lagi, segera kumasukkan lembar
uang lima puluh ribuan yang ada di genggamanku ini secepat bajing.
Sudah
beberapa bulan ini Pandu Gempor begitu baik padaku. Tiba-tiba saja, ia sering
merampingkan isi dompetnya untuk dialirkan padaku. Santunkah aku jika menolak
pemberian dari “bos”ku? Bukankah tak baik bila kita menolak pemberian dari
seseorang? Aku pun tak begitu paham apa maksud Pandu Gempor melakukan hal ini.
Tetapi yang pasti, anak gedongan itu, kini sering bergaul denganku, juga
teman-temanku. Aku lupa kapan awal mula kami membiasakan aktivitas ini. Yang
pasti, lama-kelamaan kini dompet keduaku di rumah makin menggelembung. Dan aku
sama sekali tak risih. Hal ini kubuktikan dengan sebuah motor yang berhasil
kugaet dari dealer terdekat.
Dengan
gegas, aku dan Pandu Gempor berjalan tanpa ampun menuju kantin untuk memanjakan
perut. Kulirik, Abi Fathan geleng-geleng kepala menatap aku dan Pandu Gempor
dari lantai dua.
***
Suara
tepuk tangan para anggota kelompok Bilal bin Rabah membahana. Toyok berhasil
menyelesaikan Titian Kemenangan selain dengan gagah dan tangkas, juga dengan
kecepatan yang istimewa. Padahal beberapa menit yang lalu, Nadhil hampir
kehilangan daya hidupnya setelah ia terjatuh dari ketinggian yang mengancam
itu. Mungkin Toyok titisan kera Tumpei, pikir Ariso.
Antrean
calon penjajal Titian Kemenangan pun makin panjang. Tetapi masih ada beberapa
manusia malas yang hanya duduk-duduk di Bale, yang sepertinya tak berminat
mencoba.
Mata
Pandu Gempor lekat-lekat memandang keramaian. Terlihat beberapa murid tengah
asyik terkekeh menertawai temannya yang jatuh dari tambang. Ia juga melihat
beberapa burung pipit bertengger damai di pucuk pohon cemara yang menjulang di
areal Pondok Cigombong yang asri ini. Namun sejauh mata memandang, ia tak
berhasil menemukan keberadaan Kiting. Ia tak ada dalam barisan. Ke manakah
Kiting yang begitu bersemangat dengan permainan-permainan semacam ini? Kiting, i want to talk. Dan, ah.. ternyata ia di
bale.
***
Hari
ini seluruh langit Cigombong sungguh cerah. Sebelum berangkat ke pesantren
kilat ini, dia jujur padaku tentang kumpulan uang yang berhasil menjadi duit
panjer untuk membeli motornya yang baru. Ia belum pernah segembira itu. Namun
akhir-akhir ini, ia jarang menemuiku. Inikah sifat manusia? Tholut bilang,
Kiting sedang masuk angin. Aku tak tahu apakah setelah ia mendapatkan apa yang
diinginkan tiba-tiba ia menjauh? Atau, apakah ia betulan sakit?
***
Pemuda
kaya itu memantapkan kakinya untuk melangkah ke tempat Kiting duduk. Namun,
Kiting terus menundukkan wajahnya, menatap tanah. Ah, tak mungkin sedari tadi
ia tak melihatku, pikir Pandu Gempor.
“Ting..,”
tak terdengar jawaban darinya. Ia benar-benar sudah dekat. “Kiting..”
Kiting akhirnya menaikkan pandangannya sembari tetap mengusap-usap, mencoba mengusir pusing di kepala belakangnya.
“Apaan?”
Kiting akhirnya menaikkan pandangannya sembari tetap mengusap-usap, mencoba mengusir pusing di kepala belakangnya.
“Apaan?”
Inikah
keegoisan itu? Pandu Gempor coba mencerna sebuah nada yang tak nyaman. Ia masih
berdiri, dan sibuk mencari celah untuk duduk di sebelah Kiting.
“Kau,
sakit?”
“Jangan
duduk di sebelahku dulu. Aku pusing.. sumpek,” Kiting merasa pening di
kepalanya makin hebat dan kembali menunduk. Hanya ada mereka berdua.
“Ting..,”
Lagi-lagi
Kiting tak menjawab. Kini lubang hidungnya kembang-kempis.
“Ting,
kau tak berniat mencoba Titian..,” belum sempat Pandu Gempor meneruskan
kalimatnya, ia sudah terjerembab ke tanah. Entah darimana tiba-tiba celana di
sekitaran pinggul Pandu Gempor terdapat bercak coklat kotor bekas sepatu.
Kiting tersadar. Ia menutup bibir dengan telapak tangannya.
****