Sekumpulan
burung sore tampak terlalu damai di cakrawala. Sepertinya mereka masih ingat
cara pulang. Koakan mereka yang rukun di angkasa itu menjadi simfoni yang
menurutku indah. Sesekali aku juga menoleh ke belakang. Ekor mataku menangkap
sinyal kesyahduan dari tiga angsa yang berkitaran mengelilingi kolam dengan
nada suaranya yang fluktuatif. Ingin sekali rasanya pelan-pelan aku ikut mondar-mandir
bersama mereka. Aku ingin menikmati senyapnya air kolam yang meneduhkan itu yang
sepertinya sanggup merontokkan segala laraku begitu saja dan larut dalam
keheningan yang khidmat.
*
Aku
masih belum ingin pulang ke Jakarta. Aku masih ingin menemukan palu godamku
yang paling ampuh itu di sini, untuk meruntuhkan kesenduanku yang belum juga
beranjak. Dan seharusnya Asti menguasai hal itu. Seharusnya Asti belajar dari
kesalahan-kesalahannya melukaiku. Itu jika dia memang mencintaiku. Ia terlalu
pisau. Terlalu dingin bahkan untuk menjadi seorang peluka sekali pun. Aku juga
mungkin keliru terlalu mencintainya. Ia sungguh terlalu lihai sebagai seorang
perenyuh. Beberapa kali ia membuatku kecewa, namun tetap saja entah bagaimana
caranya, tiba-tiba aku memaafkannya. Mungkin begitulah aku menikmati
kesedihanku. Aku bukan seseorang yang hanya ingin berlarut-larut dalam roman
picisan. Aku hanya seorang yang sudah merasa inilah waktu yang tepat untuk
mencari pendamping hidup. Teman-temanku berkata, aku tak punya kekurangan
barang secuil. “Kau adalah manajer muda yang kaya, tampan, berprestasi, dan
mempunyai kekasih yang cantik. Tunggu apa lagi?” Mereka tak tahu, aku punya
sifat bermasalah dalam Asti. Sesuatu yang paling kubenci. Ia terlalu sering
menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, atau
bahkan yang lebih parah; mendua. Bahkan saking kerapnya, aku dan Asti
menganggap hal seperti ini sebagai musuh bersama. Anehnya, aku masih terus
mencintainya.
Beberapa
waktu yang lalu, aku sudah melamarnya. Kami sudah bertunangan dan mempersiapkan
segalanya. Aku ingin, di hari ulang tahunku yang bertepatan dengan malam pergantian
tahun nanti, aku sudah sanggup berbulan madu bersamanya. Bahkan aku telah
mempersiapkan segala keperluan untuk itu dari jauh hari. Aku benar-benar sudah
mempersiapkan segalanya. Aku sudah berusaha membuang jauh segala keburukannya,
segala kekelaman tentangnya yang sempat beberapa kali membuatku goyah. Aku
sudah memercayai hal itu, dan aku selalu berdoa agar tak ada lagi hambatan.
Namun
tiba-tiba, entah bagaimana pada awal Desember ini, segala ketakutanku tentang
sifatnya yang tidak menenteramkan itu kembali muncul ke permukaan. Di
penghujung persiapan kami untuk mengukir asa baru, ia diam-diam mendua dan aku
diam-diam mengetahuinya. Aku sungguh kehabisan cara memaafkannya. Aku seperti
kehilangan segala kemampuanku untuk kembali menyayanginya. Aku kepayahan dan
sepertinya sangat tersaruk-saruk.
*
Aku tak menyadari sudah berjam-jam
aku berada di bangku ini. Orang-orang semakin ramai berdatangan. Terlihat
sebuah mobil bak terbuka membawa beberapa muda-mudi. Mereka turun dari mobil,
melompat dengan antusias dengan segala keceriaan di wajahnya, lengkap dengan
atribut topi dan terompet yang berwarna-warni. Sepasang manula ber-sweater
tebal terlihat di bangku ujung, dengan secangkir minuman yang mengepul dan
beberapa kudapan di meja kayu di hadapannya.
Aku
sekali lagi menoleh ke belakang. Angsa-angsa itu masih saja berenangan ke
sana-ke mari di kolam. Sepertinya Red Bluff Bay sudah siap menghitung mundur.
Akhirnya aku berdiri, mendatangi sebuah stan kue yang tak jauh dari kolam. Aku
memesan dua small eclairs berlapik kertas. Kemudian aku berjalan menuju pinggir
kolam dan merendahkan lututku setengah merangkak. Kuletakkan kue di atas
susunan batu-batu kecil yang rapuh, di sampingku. Kue yang satunya kupotong
kecil dengan jemariku, lalu kusorongkan potongannya ke angsa-angsa itu. Paruh
mereka menyambut, mengunjungi tanganku mematuki kue-kue itu, seperti mematuki
luka. Tak lama kemudian aku melihat letupan cahaya warna-warni yang berkilat-kilat
dan wajah yang tersenyum di permukaan air kolam yang tenang.