Friday, December 31, 2010

Ce Crépuscule





Yogyakarta, 1996.

Aku masih digenggam kepedihan.
Sejak dari beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, aku masih dipatuki ketraumaan untuk menjalani suatu hubungan. 
Masih berkelebatan di kepalaku tentang sakitnya dikecewakan. Jujur, aku sudah mencoba berkali-kali untuk mengeleteki perih dan menyulam semangat baru dalam tiap-tiap langkah. Tetapi tetap saja aku belum terlalu kuat dan berjiwa ksatria untuk menendang kekelabuan. Aku masih terlalu lemah. Daya gedorku untuk menyelamatkan jiwa yang tenggelam masih sangat rapuh. 
Aku berpura-pura tegar ketika ia mengucapkan selamat tinggal di Cengkareng. Aku masih ingat, beberapa hari sebelum ia berangkat, kami berdua dengan angkuh bersumpah akan melawan jarak yang terlihat seperti pencuri kecil. Sumpah dalam hal apa pun. Aku berani bertaruh, tiba-tiba ketika itu baju di sekitaran leherku basah. 
Saat itu kami harus berpisah. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Bordeaux, menemani kakaknya yang menerima beasiswa S2 di Université Montesquieu. Ayahnya khawatir bila kakak perempuannya itu tinggal sendirian di negara asing. Oleh karena itu, ia ditugasi menemani, setidaknya kakaknya itu tak sendirian di sana. 
Aku tahu, aku tak bisa menentang keputusan ayahnya. Itu urusan keluarganya. Tetapi yang pasti, aku lebih senang bila ia tetap di sini saja dan orang lainlah yang menggantikan tugas menemaninya kakaknya itu. Hubungan kami sudah terjalin sekitar lima tahun. Seperti ada dinding tebal yang perlahan coba dibangun ketika aku mendengar kabar itu darinya.

***

Walau dengan tertatih-tatih, dan dengan kegetiran yang setiap saat menghinggapi, perlahan, akhirnya aku berhasil membuang jauh segala kekelaman tentangnya. 
Aku masih sering bertemu dengannya, walau tak pernah lagi bertegur sapa. Aku mengajar sastra Indonesia di Universitas Gajah Mada, sedangkan ia mengajar filsafat. Ia kembali pulang ke Yogyakarta, setelah sebelumnya tinggal di Paris dan bercerai dengan suaminya. Aku pun sudah memperjelas keberhasilanku mengubur kekecewaan dengan menikahi seorang perempuan dan dikaruniai seorang anak. 
Aku bersumpah, setiap kali ketika kami berpapasan dan saling tatap, aku melihat kekelabuan paling pekat yang belum pernah aku lihat di dalam matanya.

Saturday, December 25, 2010

Angsa Boys Unjuk Gigi

Group Disco yang menamakan dirinya Angsa Boys ini, kemarin bertolak ke Las Vegas dalam rangka unjuk kebolehan sekaligus menghibur para penduduk setempat. Tour Disco Christmas mereka keliling Amerika ini, sudah digelar mulai tanggal 25 Desember dini hari tadi.

Personalize funny videos and birthday eCards at JibJab!

Monday, December 13, 2010

Bulan Belum Terlalu Tinggi





"Sudah mau pergi lagi, mbak?"
"Sudah, ndak usah ngurusi mbak. Kamu teraweh saja sana, sudah adzan isya. Habis itu belajar jangan lupa."
Mbak Norma memang selalu begitu. Setiap kutanya ke mana akan pergi atau jam berapa akan pulang, pasti akan selalu balik berujar.
Ia memang giat mencari uang. Selain untuk membiayai kontrakan sederhana yang hanya kami tempati berdua ini, ia juga membiayaiku sekolah. 
Kami sudah tak tinggal dengan orangtua. Ayah kami menghilang entah ke mana sejak kami kecil; sedangkan ibu sudah tidak ada. Aku hidup bersama kakakku satu-satunya itu.
"Ini lipstik mu, mbak? Tadi aku nemu di samping lemari."
"Wah pantes, mbak cari-cari daritadi kok ndak ada. Lipstik siapa lagi kalau bukan punyaku, toh?"
"Yowes ini, ayo mbak buru-buru. Orang-orang sudah pada berangkat, nanti aku telat teraweh."
"Yowes, nanti kalo kamu sudah pulang teraweh, langsung kunci pintunya."
Kami memang punya kunci rumah masing-masing. Kadang, ketika aku sudah tidur malam hari, ia baru pulang. Atau ketika ia tidur siang, aku baru pulang sekolah. Karena itulah, kami menduplikat kunci rumah untuk memudahkan satu sama lain masuk rumah ketika pintu terkunci.
Aku dan mbak Norma kemudian melangkahkahkan kaki, berjalan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, kami berpisah.

Aku melenggang ke masjid dengan tenang, sementara ia sudah menghilang di depan gang.


Sunday, December 12, 2010

Tampak Seperti Apa?





“Emang cukup, pak, penghasilannya buat sehari-sehari?”
“Yaa dicukup-cukupin aja, mas..”
“Hoo..”
Pemuda itu terus merapikan rambutnya. Sesekali ia mengisap rokoknya dalam-dalam sambil melihat wajahnya di cermin, yang mulai tampak berminyak dan mengumal akibat polusi ibu kota yang jahanam.
“Mas sendiri mau ke mana? Nggak kesiangan jam segini baru mau ngantor?”
“Ya maunya sih gitu pak, ngantor.  Saya udah lulus sarjana dari enam bulan yang lalu, tapi masih luntang-lantung gini, belum dapet-dapet kerjaan.”
“Hoo..”
Bapak itu masih memperhatikan gelagat pemuda tersebut. Dalam hatinya ia bergumam, yang sarjana saja susah dapat kerja, apalagi dirinya yang hanya tamatan SMP.
“Terus, kenapa bapak milih jualan cermin di depan gedung DPR gini?”

“Yaa, biar beliau-beliau itu pada mampir, paling tidak untuk sekadar ngaca.”




Thursday, December 2, 2010

Keletik Impian



BULAN semakin mengembang, Dodo pun belum juga pulang. Jam dinding berdentang.  Sudah jam sepuluh tepat. Ibunda Dodo daritadi tak bisa diam karena terus memikirkan anaknya.  Ia daritadi mondar-mandir dan selalu menggonta-ganti channel televisinya dengan gamang.  Sebenarnya ia tahu dimana Dodo berada sekarang, tetapi tetap saja, sifat naluriahnya sebagai seorang ibu selalu merangsang otaknya untuk panik jika anaknya sudah larut malam belum pulang.
Saat masih dalam bimbang yang mengambang, terdengar suara mesin motor disertai klakson, yang berarti menyuruh untuk siapa saja membukakan pagar.
“Do! Kamu kok mama telfon, sms, semua gak bisa-bisa sih!”
“Hape aku ‘kan selalu aku matiin kalo lagi masuk kelas.. Tadi aku juga ada tambahan..”
“Iya, mau ada tambahan, kek, tapi kabarin mama dulu, dong..  Seenggaknya curi-curi kesempatan nyalain hape di kelas, kek.. Mama panik tau!”
“Iya-iya..”

***

Sentoran air hangat yang mengucur deras dari shower itu tampak sangat merilekskan.  Ia benar-benar dimanjakan air hangat dari segala aktivitas yang sungguh melelahkan. Ia memijat-mijat lembut keningnya, seperti berusaha melumat sekelumit penat dari keseharian yang menikam.  
Dibawah guyuran pancuran ia berusaha memutar ulang memorinya kembali. Tadi pagi, ia bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap sekolah, mandi kilat, lalu segera bersijingkat untuk sarapan roti yang hanya dioles dengan selai kacang. 
Belum ia menelan semua roti di mulutnya, ia melesat ke sekolah mengendarai motor dengan ngebut karena takut terlambat. Sejauh ini, ia sudah mengantongi dua surat peringatan telat. Bila ia sampai telat untuk ketiga kalinya, ia akan dipulangkan ke rumah. Ketika pulang sekolah, ia pun tak sempat lagi bermain-main dengan teman-temannya seperti dulu. Ia harus buru-buru pergi ke tempat bimbingan pelajar dengan alasan yang sama. Takut telat. 

***

Di awal-awal tahun ajaran, Dodo les hanya sampai jam tujuh malam, seminggu dua kali.  Tetapi, karena sebentar lagi sudah akan banyak dibuka jalur pendaftaran untuk memasuki perguruan tinggi negeri, kadang ia sekarang pulang sampai jam sepuluh malam, dan menjadi tiga kali sehari. Tak ada waktu untuk menggelepar liar sebelum pulang ke rumah.  Setiap hari selalu begitu, berulang-ulang. 
Pernah suatu ketika temannya berujar, “Do, sekali-sekali mainlah.. jangan belajar terus, nanti malah bisa stres lho..”
“Ah nanti deeh, biar gue bisa masuk perguruan tinggi negeri nih..” Jawabnya beralibi.  Maka dari itu ia rela sedikit tidak menikmati hidup untuk beberapa bulan ini.  Alasannya sederhana, agar biaya kuliahnya murah. Apalagi ayahnya sudah pensiun, dan adiknya masih kelas 4 SD.  
Dan oleh karenanya, air hangat yang menyentor seluruh tubuh Dodo, terutama bagian sekitaran wajah, sangat ia nikmati dan resapi dan terasa sangat menenteramkan.

***

Ia membuka lipatan halaman buku geografi yang tadi ia lipat di tempat les.  Halaman itu belum sempat dibahas di kelas. Ia akan sedikit mencuri baca untuk lebih dulu paham dari teman-temannya saat nanti diterangkan di kelas dan untuk membuat dirinya sendiri ngantuk di ranjangnya saat ini.
Benar saja, baru dua menit menyisir halaman, ia sudah lelap dengan keadaan buku-buku yang bergeletakan terbuka, stabilo kuning yang nyaris mengering, dan dengan piyama berbahan lembut.

Sudah setengah dua belas.




Bekasi, 2010

Wednesday, December 1, 2010

Sodieq






“Oper, setan!”
Suara kesal salah satu temanku yang tak mendapatkan bola itu menambah ramai suasana lapangan sekolah kami. Aroma sore mengambang begitu kental, membuat kami tak ingin cepat-cepat pulang. Ada hal-hal yang lebih mengasyikkan ketimbang tidur siang atau menonton kartun sore.
Ia kemudian datang. Dengan potongan rambut nyaris gundul, berbadan tegap, tak terlalu tinggi, memakai kaos berwarna hijau tentara, dengan bawahan celana training panjang dan mengenakan sepatu Specs.  
“Yak kumpul,” Perintahnya untuk segera memulai ekstrakurikuler sepakbola sore ini.
Ia adalah Pak Odik, guru Penjaskes di sekolah yang juga ditunjuk sebagai pelatih ekstrakulikuler sepakbola. Ia tak sendirian melatih kami. Ada juga pelatih honorer yang ditunjuk sekolah untuk membantu pekerjaannya bernama Pak Herman yang berkumis.
Biasanya sebelum Pak Odik datang ke lapangan, kami menyempatkan diri untuk bermain gol ganti: hanya menggunakan satu gawang, satu kiper, dan beberapa orang akan berusaha memasukkan bola ke dalam gawang berebutan. Orang yang mencetak gol akan menjadi kiper.
Kami bermain dengan cara seperti itu karena kami memang harus berbagi lapangan dengan para anak-anak yang gemar bermain basket. Satu sisi lapangan kami gunakan untuk gol ganti, sisi yang lainnya mereka gunakan untuk bermain basket, meski sebetulnya gawang dan ring basket memang sepasang. Kecuali ekstrakulikuler sudah dimulai, anak-anak yang bermain basket satu persatu menyingkir, sebagaimana anak-anak bola menyingkir jika ekstrakulikuler basket dimulai.
 “Adit sama Dede bantuin bapak, ambil peralatan.”
Aku dan Dede saling menatap. Anak-anak memang suka malas bila diperintah Pak Odik mengangkut peralatan ektrakulikuler sepakbola karena selain berat dan banyak, gudang penyimpanannya pun jauh, letaknya berada di dekat kelas lima di lantai atas, tepat di sebelah kelasku. Kali ini aku dan Dede tentu harus segera menurutinya karena selain tak mungkin menolak, terlaksananya ekstrakulikuler sepakbola sore itu kini ada di pundak kami.
Tetapi sebetulnya ada hal lain yang membuat kami sedikit bersemangat. Bila sudah sore, suasana sekolah kami, apalagi di sekitaran wilayah kelas lima dan kelas enam, menjadi tampak sedikit menyeramkan. Aura mistis mengapung di udara. Karena itulah kami jadi ingin sekaligus melihat-lihat suasana sekolah sore hari. Kami sering mendengar cerita horor dari janitor atau supir jemputan yang memang sudah lama tinggal di daerah sekitaran sekolah. Maklum, dulu sekolah kami bekas rumah sakit yang dikelilingi rawa-rawa dan belukar. Tak heran bila Pak Odik pernah suatu saat bertutur pada kami, “Kalo mau main di sini baca doa dulu, biar nggak kenapa-kenapa.”
Benar saja, sudah dua orang teman kami cedera parah. Entah karena memang ada apa-apa atau hanya terlalu beringas bermain. Apalagi di sekitaran sekolah kami banyak rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Pernah satu warga bercerita ketika dulu sekolah kami belum dibangun dan masih banyak ditumbuhi pepohonan, ada seseorang yang malam-malam coba mengambil duren. Ketika duren telah berada di tangannya, duren itu berubah menjadi kepala manusia.

***

Aku membawa dua kantung panjang yang setiap kantungnya berisi lima buah bola. Dede membawa piringan plastik halang rintang dan Pak Odik membawa pemberat kaki serta peralatan lainnya. Anak-anak di lapangan yang menunggu kami bertiga, terlihat sedang mendengarkan instruksi Pak Herman.
Menurutku, sebetulnya pihak sekolah tak usah menggunakan jasa Pak Herman karena aku merasa, dilatih oleh Pak Odik seorang saja sudah lebih dari cukup. Skill, kharisma, taktik dan strategi serta dan semangat Pak Odik jauh di atas Pak Herman yang terlihat biasa saja di mataku. Pak Odik juga menjadi wasit resmi PSSI yang tengah merintis karier untuk menembus liga utama. Tak heran bila para murid mengelu-elukannya.
Tetapi ada satu kebiasaan tak lumrah Pak Odik yang cukup menyita perhatian dan membedakan ia dengan guru lainnya: Ia sangat suka menjahili perempuan. Pernah suatu ketika temanku bernama Ira digangguinya sampai menangis di kelas. Dengan menatap mantap, tepat di depan wajah Ira, dengan gaya layaknya seorang penyair yang sedang membacakan puisi, Pak Odik berucap lantang, “Bagaimana bila bapak adalah seorang pencuri! Perampok! Garong! Pendosa! Pemerkaos!” 
Aku tahu Pak Odik hanya bercanda, tetapi air mata Ira perlahan menetes. Gurat wajah Pak Odik yang sebelumnya cengangas-cengenges, berubah menjadi panik luar biasa dan langsung berusaha coba menenangkan Ira. Aku juga tak terlalu paham mengapa Ira menangis. Entah tersayat dengan kata-kata lantang pria itu atau memang mengira Pak Odik adalah seseorang yang sungguh-sungguh berprofesi sebagai yang diucapkan tadi. Aku tak tahu. Aku cuma tertawa geli melihat kejadian itu. 
Tetapi kadangkala ia juga bisa beringas bukan main. Pernah suatu ketika ia sedang mengajar Penjaskes kelas 5A di lapangan. Aku dan teman-temanku yang bukan murid 5A melihat mereka dari gedung lantai dua, bersiap turun karena memang sudah waktunya jam istirahat. Temanku bernama Giri berujar pelan padaku, Gilang, dan Anggit, “Tuh, botak kontol.”
Tanpa otak Anggit langsung berteriak ke bawah sambil menunjuk-nunjuk Giri, “Paaak!! Dikatain Giri BOTAK KONTOOLL!!”
Tak ada bapak-bapak lain di situ kecuali Pak Odik dan tentu saja ia merasa teriakan Anggit itu ditujukan olehnya.
Pak Odik sontak menengok ke atas dengan tatapan ingin menghancurkan. Dan demi Tuhan, yang terjadi selanjutnya adalah ia segera berlari meninggalkan anak-anak 5A dengan kecepatan yang gila, menaiki tangga ke arah kami yang ada di lantai dua!
Dalam sekejap Pak Odik sudah berada di depan kami. Aku panik tentu saja. Yang dilakukan Pak Odik selanjutnya adalah menampar keras pipi Giri, melayangkan tendangan membabi buta, beringas dan brutal. Dan ketika Pak Odik selesai melancarkan aksinya itu, hanya sepersekian detik saja ia langsung menyodorkan tangan kanannya agar disambut oleh tangan kanan Giri seraya mengucapkan, “Bapak minta maaf.”
Hanya berselang satu detik, lagi-lagi Anggit berceletuk, “Gilang juga, pak!” Pak Odik segera memutar badannya ke kiri dan tak dinyana menampar jahanam Gilang. Gilang yang amat kaget ditampar itu tak dapat menahan kekagetannya dengan segera mengeluarkan kata “anjing” setelah tangan Pak Odik bergerak begitu cepat ke pipinya. Lagi-lagi Pak Odik langsung menyodorkan tangan kanannya agar disambut oleh tangan kanan Gilang seraya mengucapkan, “Bapak minta maaf.” Ia tahu, ia harus minta maaf. Ia tentu memikirkan akibat yang sangat buruk jika telah menghajar anak murid tetapi tidak minta maaf.
Yang mencekam adalah, aku tak ingat Gilang memaki Pak Odik dan jika Anggit tiba-tiba berkata “Adit juga, pak,” maka aku berada dalam masalah sangat besar dan aku besumpah akan menyumpal mulut Anggit dengan sandal. Untungnya hal itu tak terjadi. Anggit kemudian bertanya kepada Giri akan kondisinya apakah baik-baik saja, sambil tertawa tentunya, yang segera dibalas Giri dengan acungan jari tengah sambil mengusap-usap pipinya dengan menangis bercampur tawa. Tai. Itu betul-betul menit paling surreal selama aku bersekolah.

***

“Yak cukup latihannya, sekarang bagi tim lima-lima.”
Ah, inilah saat-saat yang kami nanti. Sebetulnya alasan kami mengikuti ekstrakurikuler sepakbola ini hanyalah untuk bermain sepakbolanya saja, bukan untuk mempelajari teknik-teknik sepakbola. Pak Odik pun juga sepertinya tahu alasan kami mengikuti ekstrakulikuler.
“Langsung main aja, pak. Enggak usah latian!”
“Enggak. Kalian gimana mau menang di kejuaraan kalo ngoper aja belom becus.”
   

***

Tim yang berisi banyak kakak kelas pun dengan gagah bisa kami kalahkan. Ya, tim kami yang banyak berisi kelas 5 lebih kuat dari mereka yang kelas 6. Saat kami bermain, Pak Odik mewasiti kami.
Tapi bila kebiasaan menjahili perempuannya sudah keluar, akan tampak menjadi pemandangan yang sedikit berbeda. Teman perempuanku, Mayang, yang memang pulang agak sore, berjalan melewati pinggir lapangan, menuju ke pagar sekolah karena sudah dijemput ibunya yang mengendarai Peugeot 206 berwarna merah. Saat masih dalam langkah Mayang yang hati-hati, Pak Odik berteriak dengan manja dan penuh harap,
“Mayang mau pulang?? Bapak anterin yaa??”
Mayang mempercepat langkahnya. Kami pun hanya tertawa dan Pak Odik kembali meniup peluit.

***

Peluit panjang ditiup. Suara yang dihasilkan peluit tiupannya betul-betul nyaring dan amat mirip atau mungkin sama dengan suara peluit wasit yang biasa kami lihat dan dengar di televisi. Padahal sore itu ia cuma memimpin pertandingan anak didiknya sendiri. Ia memang selalu total.
Pedagang-pedagang makanan dan minuman di luar pagar sekolah satu persatu mulai membereskan dagangannya dan pulang. Anak-anak kampung yang memang setiap sore menggunakan lapangan sekolah kami untuk bermain bola, sudah berdatangan. Baru saja ada dua anak kampung yang dimasukkan Pak Odik ke dalam tong sampah besar di dekat pohon kelapa karena mereka tak sabar ingin bermain dan masuk ke sekitaran lapangan. Selain tak suka dihina, ia tak menyukai ketidakdisiplinan.

***

Senja mulai menguasai hari. Sebelum menyudahi acara ekstrakurikuler hari ini, Pak Odik memberikan masukan dan wejangan atau apa saja, agar semakin hari kemampuan kami bermain semakin mengkilap. Ia duduk di kursi yang terbuat dari beton di pinggir lapangan, sementara kami duduk bersila di tanah. Sambil mengulum satu buah jeruk yang telah dikupas yang dimasukkan langsung satu buah ke dalam mulutnya, Pak Odik terlihat berwibawa di depan anak-anak ekstrakulikuler di bawah cakrawala menyemburat oranye yang menambah syahdu kekhidmatan. Sebuah kharisma yang hanya sanggup dikalahkan oleh Bung Karno.
Belum sempat ia menyudahi wejangannya, ekor matanya melihat sesuatu di ujung koridor dekat lapangan di bawah aula. Dua orang berjalan, bergandengan tangan. Itu Bu Fitri, guru mata pelajaran Al-Quran beserta anak perempuannya yang masih kecil. Ah, suasananya sudah sangat takzim, amat disayangkan jika Pak Odik tiba-tiba kumat karena ada perempuan muncul. Bu Fitri memang cantik.
Tetapi mungkin kali ini Pak Odik berpikiran sama denganku. Ia tak ingin momen penuh wibawa pada senja ini luntur dan pudar hanya karena menggoda wanita. Sekelebat berdesir rasa banggaku pada Pak Odik karena bisa sejenak menahan egonya, yang sebenarnya aku tahu, ia menahannya sekuat tenaga karena sangat hafal dengannya.
Lalu dengan mata yang mengarah ke Bu Fitri dan anaknya itu, Pak Odik berujar dengan suara pelan kepada kami,
“Anaknya lucu, ya.”
“Iya, pak, lucu."
“Apalagi ibunya.”




Bekasi, Jakapermai.
2003